Cerdas Mengelola Sumber Inflasi
Enny Sri Hartati ;
Direktur Institute for
Development of Economics and Finance
|
KOMPAS, 29
Februari 2016
Inflasi yang tinggi
sering kali dianggap momok perekonomian karena menggerus daya beli dan
menurunkan tingkat konsumsi masyarakat. Akibatnya, berpotensi mengganggu
target pertumbuhan ekonomi.
Namun, di tengah
pelambatan perekonomian global, beberapa negara justru menginginkan terjadi
inflasi. Uni Eropa dan Jepang, misalnya, sengaja menetapkan suku bunga minus
karena berharap masyarakat lebih senang berkonsumsi daripada menyimpan uang
di bank. Kebijakan moneter ini sengaja didesain untuk mendorong peningkatan
permintaan masyarakat. Dengan kata lain, inflasi justru diharapkan mendorong
kinerja sektor riil.
Artinya, tidak
selamanya inflasi harus dihindari. Ketika perekonomian sedang menghadapi
pelambatan akibat penurunan aktivitas permintaan, kebijakan yang diperlukan
justru yang ekspansif, yaitu menambah ”gas” dan melepas ”rem”. Bauran
kebijakan fiskal ataupun moneter yang ekspansif akan kembali meningkatkan
permintaan. Peningkatan belanja pemerintah akan menjadi stimulus atau ”gas”
terhadap pemulihan kinerja sektor riil. Di sisi lain, otoritas moneter juga
harus segera mengendurkan ”rem” agar roda perekonomian segera menggelinding
dan berlari kencang.
Sejauh ini, ekspansi
fiskal sudah dilakukan, terutama melalui peningkatan belanja infrastruktur
dan paket stimulus pendorong investasi, meskipun implikasinya harus menambah
defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan menambah utang baru.
Otoritas moneter juga sudah menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) meski
penyesuaian penurunan suku bunga kredit berlangsung kaku dan memerlukan waktu
cukup lama.
Persoalan menjadi
semakin tidak sederhana ketika terjadi kompleksitas dalam sumber dan
implikasi inflasi. Selama 2015, inflasi hanya 3,35 persen, jauh di bawah
target APBN-P 2015 yang sebesar 5,0 persen. Akan tetapi, inflasi yang cukup
rendah tidak mampu mendongkrak daya beli masyarakat. Inflasi sangat terkendali,
tetapi konsumsi rumah tangga tidak mampu tumbuh di atas 5 persen. Akibatnya
pertumbuhan ekonomi hanya 4,7 persen. Artinya, inflasi yang rendah sebenarnya
tidak selalu menjadi berita baik. Pasalnya, inflasi yang rendah lebih
disebabkan penurunan permintaan, bukan karena peningkatan pasokan atau
penurunan biaya produksi.
Penurunan konsumsi
masyarakat disebabkan daya beli yang anjlok akibat tekanan inflasi harga
pangan (volatile food) yang sangat tinggi. Inflasi bahan makanan mencapai
4,93 persen dan makanan 6,42 persen. Berbagai harga bahan pangan, seperti
beras, jagung, gula, cabai, daging, dan telur, mengalami fluktuasi terburuk
selama satu dekade terakhir. Sayangnya, kenaikan harga pangan tidak dinikmati
petani.
Sekalipun pemerintah
setiap tahun menaikkan harga pokok pembelian, harga gabah kering panen
ataupun gabah kering giling di tingkat petani hampir stagnan. Padahal, harga
beras di tangan konsumen mengalami fluktuasi yang sangat tinggi. Sementara
petani sebagai penghasil padi, setelah panen, juga menjadi net consumer atau
konsumen.
Persoalannya adalah
sekitar 70 persen penghasilan masyarakat menengah ke bawah dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan. Kondisi ini yang menyebabkan fluktuasi harga
pangan menjadi persoalan yang semakin krusial. Tidak hanya berdampak besar
terhadap penurunan daya beli masyarakat, fluktuasi pangan juga berkontribusi
sangat signifikan terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Dengan potret
tersebut, kuncinya adalah menjaga stabilitas harga pangan. Dengan harga
pangan terkendali, inflasi hampir dapat dipastikan juga teratasi dan tidak
akan mengganggu daya beli masyarakat. Pada gilirannya konsumsi rumah tangga
kembali tumbuh di atas 5 persen. Dengan sendirinya, pertumbuhan ekonomi juga
berpotensi melampaui 5 persen. Karena itu, upaya menstabilkan harga pangan
harus menjadi prioritas nasional dan tanggung jawab bersama antar-kementerian
terkait.
Ke depan, harus ada
koordinasi dan sinergi untuk menstabilkan harga pangan tanpa mengakibatkan
penurunan kesejahteraan petani. Setiap pemangku kepentingan harus
bersama-sama melakukan tanggung jawab dan peran masing-masing. Tugas
Kementerian Pertanian tentu lebih fokus meningkatkan produktivitas di level
on farm. Dibutuhkan kreativitas meningkatkan indeks tanam melalui perbaikan
kualitas bibit/benih, ketersediaan pupuk, pestisida, sarana irigasi, dan
perbaikan teknologi. Juga meningkatkan peran tenaga penyuluh pertanian
sehingga tidak terpaku pada keterbatasan program pencetakan sawah baru.
Kementerian
Perdagangan harus mampu mengefisienkan tata niaga dan jalur distribusi
pangan. Berbagai praktik usaha yang tidak sehat dan berpeluang menumbuhkan
praktik kartel dan pemburu rente harus diberantas Komisi Pengawas Persaingan
Usaha. Juga didukung perbaikan infrastruktur sektor pertanian dari
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kementerian
Perhubungan.
Tak kalah penting
upaya memperkuat kelembagaan Badan Ketahanan Pangan dan lembaga yang
berfungsi sebagai penyangga stok (buffer stock) yang dapat menjalankan fungsi
secara efisien sebagai lembaga stabilitas harga. Jika antarpemangku
kepentingan tersebut bekerja sama dan bersinergi, kedaulatan pangan dan
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas akan sangat mudah diwujudkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar