Tubuh (LGBT) dalam Politik Identitas
Seno Gumira Ajidarma ;
panajournal.com
|
KORAN TEMPO, 01 Maret
2016
Dunia modern
menghadirkan gejala yang berakibat fatal, yakni bahwa ilmu pengetahuan
terbebani mitos bernama kebenaran. Disebutkan, misalnya oleh Pakde Foucault,
bagaimana wacana-wacana ilmu pengetahuan melakukan produksi kebenaran yang
kemudian berfungsi sebagai norma. Ilmu pengetahuan menentukan apa itu berat
dan tinggi badan, tekanan darah, serta berapa pasangan seksual untuk kelompok
usia dan jenis kelamin tertentu yang dianggap normal.
Subyektivikasi atawa
penafsiran subyektif beroperasi melalui internalisasi norma-norma. Manusia
modern melakukan modifikasi dalam usaha tanpa akhir untuk memperkirakan yang
normal, dan dalam proses ini menjadi jenis-jenis subyek tertentu. Norma-norma
menjauhkan obyektivikasi dengan mereduksi individualitas menjadi suatu ukuran
umum. Manusia tersusutkan menjadi titik atau kurva.
Gejala ini terbentuk
oleh hubungan antara kuasa dan pengetahuan terhadap ilmu-ilmu humaniora,
tempat subyek didudukkan sebagai obyek kemungkinan pengetahuan. Meski latar
kepercayaan, yang terbentuk secara sosial, tak terhindarkan dalam membentuk
praktek ilmiah sampai tahap tertentu, dalam wilayah ilmu-ilmu humaniora
pengaruhnya kuat dan berbahaya. Pemahaman tak terucapkan tentang gender, ras,
dan kelas malah kurang berbahaya dibanding usaha menafsir perilaku Homo
sapiens sebagai partikel sub-atomik, ketimbang sebagai manusia berjiwa.
Inilah peringatan agar
tidak mengadopsi suatu latar kepercayaan secara terpisah, seperti berasumsi
bahwa terdapat universalitas kemanusiaan, yakni adanya kebenaran soal manusia
yang bisa dipercaya dalam kebudayaan mana pun pada zaman kapan pun. Ketika
khalayak memastikan bahwa ada yang selalu benar bagi seluruh umat manusia,
terciptalah norma yang berlawanan dengan perilaku manusia yang bisa diukur
dan dipertimbangkan. Dengan memapankan suatu sudut pandang ilmiah atas
seksualitas manusia dan memandangnya sebagai alamiah bin universal untuk
beranak-pinak, misalnya, secara efektif terpinggirkanlah sejumlah besar
perilaku seksual.
Keyakinan atas
terdapatnya universalitas kemanusiaan membuat manusia percaya bahwa tubuh
mematuhi hukum-hukum eksklusif fisiologis, sehingga terlepas dari pengaruh
sejarah. Padahal-masih menurut Pakde Foucault-itu tidak betul. Tubuh manusia
hanya eksis di dalam khalayak. Tubuh manusia, misalnya saja, dibentuk oleh
norma-norma kesehatan, gender, dan keindahan. Tubuh secara konkret dibentuk
oleh diet, olahraga, dan intervensi medis. Dengan kata lain, tubuh juga
memiliki sejarahnya sendiri. Asal-usul tubuh adalah sejarah tubuh: secara
tipikal mempertanyakan segenap penjelasan biologis murni dari suatu wilayah
kompleks, seperti seksualitas, kegilaan, dan kriminalitas [Oksala, 2008 (2007):
52, 59].
Demikianlah
universalitas kemanusiaan yang ditanamkan secara konstan tidak ditolak pada
awalnya, tapi menjadi bulan-bulanan interogasi dengan pertanyaan radikal yang
kritis ataupun historis. Namun, sebaliknya, mengingat hubungan-hubungan kuasa
yang betapa pun telah membentuk suatu tipologi kelompok-kelompok sosial
dengan kepentingan ideologisnya masing-masing, universalitas kemanusiaan yang
sebagai logika tidak tahan uji itu terbukti tetap bertahan dengan tetap
digunakannya tolok ukur ala kadarnya dalam usaha membangun wacana pengetahuan
monolitik demi kesahihan hegemonik kelompok mana pun yang berjuang meraihnya.
Dengan begitu, baik
kelompok dominan maupun kelompok-kelompok terbawahkan akan selalu mencari dan
menjalankan suatu proyek yang memenuhi politik identitasnya. Apabila proyek
identitas ini terasalkan dari ideologi yang bersesuaian dengan
penanda-penanda universalitas kemanusiaan, maka bersamanya segala kelompok
ini akan beroposisi, dalam suatu gradasi dari moderat sampai radikal, terhadap
kelompok-kelompok terpinggirkan. Supaya identitasnya menjadi jelas,
penanda-penanda yang ada dipertajam dengan mencari efek kontras dalam
penghadapan kepada kelompok terpinggirkan, yang penanda-penanda dalam politik
identitasnya tidak bersesuaian atau bahkan bertentangan dengan
penanda-penanda universalitas kemanusiaan.
Namun, karena
universalitas kemanusiaan sebenarnyalah tidak universal, segenap konflik
sosial-politis dalam sejarah ataupun pada masa mendatang, yang bersumber dari
masalah itu, adalah produk kedangkalan yang disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan. Ini membuat "kemenangan" kelompok-kelompok yang
berjuang memunahkan penanda-penanda dalam politik identitas kelompok
terpinggirkan, seperti kaum LGBT, menjadi kemenangan semu sahaja karena
berangkat dan berpijak dari asumsi keliru. Kesemuanya itu jadi berganda
karena politik identitas sendiri secara teoretis adalah pengingkaran terhadap
fakta bahwa dalam situasi pasca-modern, identitas selalu sekaligus adalah
kebergandaan identitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar