Ribut
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior
Tempo
|
KORAN TEMPO, 05 Maret
2016
SAAT musim hujan seperti sekarang, Romo Imam
lebih banyak di rumahnya. "Malas ke luar rumah, banyak genangan di
jalan," katanya. Genangan apa banjir? "Genangan artinya air meluap
ke jalan karena got mampet. Kalau banjir, berarti air melimpah dari kali dan
masuk ke rumah-rumah selain ke jalanan. Itu bedanya," kata Romo.
Saya baru tahu ada istilah seperti ini.
"Terus, apakah ada beda genangan akibat got yang tersumbat sampah dengan
genangan yang diakibatkan got tersumbat pembungkus kabel?" tanya saya.
Masih dengan amat tenangnya, Romo menjawab: "Jelas beda. Got yang
tersumbat sampah itu karena petugas kebersihan kurang kontrol. Tapi kalau got
tersumbat pembungkus kabel, itu namanya sabotase, perlu dilaporkan ke
polisi."
Saya sulit menebak Romo serius atau bercanda.
Untunglah Romo meneruskan: "Ahok itu benar, ada pembungkus kabel dalam
got sebagai bentuk sabotase. Ada orang yang ingin ring satu, yakni Monumen
Nasional dan kompleks Istana, tergenang air. Jika itu terjadi, Ahok tak
berbuat apa-apa untuk mengatasi banjir Jakarta. Ahok gagal. Kalau bukan
sabotase, kenapa pembungkus kabelnya sampai belasan truk? Dari mana
mengumpulkan pembungkus kabel sebanyak itu? Apalagi pembungkus kabel itu bisa
dijual dan didaur ulang."
"Ah, Romo pendukung Ahok, sih," saya
memotong. "Jangan-jangan kabel itu sudah ada tahun lalu atau dua tahun
lalu. Gubernur sebelumnya saja yang tak perhatian. Jangan dipolitisasi, Romo,
bikin ribut saja. Ada yang sudah mau buat sinetron Hantu Kabel Silang
Monas."
Romo tersenyum, dan saya senang. Saya
melanjutkan: "Tak usah kabel diributkan, apakah sabotase atau warisan
lama. Yang pasti, Ahok yang menuntaskannya. Ahok bekerja keras, selain
suaranya juga keras. Kalijodo saja bisa dirobohkan tanpa ada perlawanan.
Hebat, kan?
Sekarang setiap ada kejanggalan di daerah yang tak berhasil
dituntaskan, orang-orang berkelakar: perlu didatangkan Ahok jadi gubernur di
sini. Artinya, Ahok itu bukan Gubernur Jakarta lagi, dia itu Gubernur
Indonesia. Saat Ahok menghardik lurah di Jakarta, lurah-lurah di Bali juga
ketakutan."
Romo tertawa. "Terbukti sampean yang
pendukung Ahok," katanya. "Tapi itu sah saja. Kita membutuhkan
pemimpin yang bekerja, boleh bicara keras tapi fokus pada perbaikan. Yang
memalukan adalah para menteri yang ribut melulu, tak mengerti etika,
bertengkar lewat media sosial, berkali-kali diminta jaga keharmonisan, jangan
gaduh, jaga kekompakan, tetap saja nasihat presiden dan wakil presiden tak
digubris. Ribut melulu."
"Tapi Romo," saya memotong.
"Berarti presiden yang tak berwibawa, karena tak berhasil menertibkan
pembantunya. Mungkin presiden kehilangan wibawanya di depan menteri-menteri
itu. Bisa jadi pula menteri itu tak mempan dengan teguran langgam Jawa. Ada
baiknya Ahok diangkat menjadi Menteri Utama dengan tugas khusus mendamprat
menteri-menteri yang kekanak-kanakan itu."
Lagi Romo tertawa: "Sampean muter-muter.
Yang paling bagus, presiden berani mengganti menteri itu. Ribut-ribut ini
sudah masalah karakter, mereka sudah dewasa. Ya ganti saja. Kalau dibiarkan
begini, presiden sendiri yang akhirnya kena getah. Janganlah setitik nila
membuat kabinet ternoda."
Saya menjawab: "Sayangnya nila itu
semakin bertambah. Ada menteri yang menyuruh PSSI berbenah. Bagaimana
berbenah kalau tetap dibekukan? Ada menteri ketinggalan pesawat, marah-marah
minta direktur maskapai itu dicopot. Lho kok tak menyalahkan diri
sendiri?"
Romo terbahak-bahak: "Sudahlah, menteri
yang kurang gaul itu dicopot. Titik." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar