Selasa, 08 Maret 2016

Ribut

Ribut

Putu Setia ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                 KORAN TEMPO, 05 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SAAT musim hujan seperti sekarang, Romo Imam lebih banyak di rumahnya. "Malas ke luar rumah, banyak genangan di jalan," katanya. Genangan apa banjir? "Genangan artinya air meluap ke jalan karena got mampet. Kalau banjir, berarti air melimpah dari kali dan masuk ke rumah-rumah selain ke jalanan. Itu bedanya," kata Romo.

Saya baru tahu ada istilah seperti ini. "Terus, apakah ada beda genangan akibat got yang tersumbat sampah dengan genangan yang diakibatkan got tersumbat pembungkus kabel?" tanya saya. Masih dengan amat tenangnya, Romo menjawab: "Jelas beda. Got yang tersumbat sampah itu karena petugas kebersihan kurang kontrol. Tapi kalau got tersumbat pembungkus kabel, itu namanya sabotase, perlu dilaporkan ke polisi."

Saya sulit menebak Romo serius atau bercanda. Untunglah Romo meneruskan: "Ahok itu benar, ada pembungkus kabel dalam got sebagai bentuk sabotase. Ada orang yang ingin ring satu, yakni Monumen Nasional dan kompleks Istana, tergenang air. Jika itu terjadi, Ahok tak berbuat apa-apa untuk mengatasi banjir Jakarta. Ahok gagal. Kalau bukan sabotase, kenapa pembungkus kabelnya sampai belasan truk? Dari mana mengumpulkan pembungkus kabel sebanyak itu? Apalagi pembungkus kabel itu bisa dijual dan didaur ulang."

"Ah, Romo pendukung Ahok, sih," saya memotong. "Jangan-jangan kabel itu sudah ada tahun lalu atau dua tahun lalu. Gubernur sebelumnya saja yang tak perhatian. Jangan dipolitisasi, Romo, bikin ribut saja. Ada yang sudah mau buat sinetron Hantu Kabel Silang Monas."

Romo tersenyum, dan saya senang. Saya melanjutkan: "Tak usah kabel diributkan, apakah sabotase atau warisan lama. Yang pasti, Ahok yang menuntaskannya. Ahok bekerja keras, selain suaranya juga keras. Kalijodo saja bisa dirobohkan tanpa ada perlawanan. Hebat, kan? 

Sekarang setiap ada kejanggalan di daerah yang tak berhasil dituntaskan, orang-orang berkelakar: perlu didatangkan Ahok jadi gubernur di sini. Artinya, Ahok itu bukan Gubernur Jakarta lagi, dia itu Gubernur Indonesia. Saat Ahok menghardik lurah di Jakarta, lurah-lurah di Bali juga ketakutan."

Romo tertawa. "Terbukti sampean yang pendukung Ahok," katanya. "Tapi itu sah saja. Kita membutuhkan pemimpin yang bekerja, boleh bicara keras tapi fokus pada perbaikan. Yang memalukan adalah para menteri yang ribut melulu, tak mengerti etika, bertengkar lewat media sosial, berkali-kali diminta jaga keharmonisan, jangan gaduh, jaga kekompakan, tetap saja nasihat presiden dan wakil presiden tak digubris. Ribut melulu."

"Tapi Romo," saya memotong. "Berarti presiden yang tak berwibawa, karena tak berhasil menertibkan pembantunya. Mungkin presiden kehilangan wibawanya di depan menteri-menteri itu. Bisa jadi pula menteri itu tak mempan dengan teguran langgam Jawa. Ada baiknya Ahok diangkat menjadi Menteri Utama dengan tugas khusus mendamprat menteri-menteri yang kekanak-kanakan itu."

Lagi Romo tertawa: "Sampean muter-muter. Yang paling bagus, presiden berani mengganti menteri itu. Ribut-ribut ini sudah masalah karakter, mereka sudah dewasa. Ya ganti saja. Kalau dibiarkan begini, presiden sendiri yang akhirnya kena getah. Janganlah setitik nila membuat kabinet ternoda."

Saya menjawab: "Sayangnya nila itu semakin bertambah. Ada menteri yang menyuruh PSSI berbenah. Bagaimana berbenah kalau tetap dibekukan? Ada menteri ketinggalan pesawat, marah-marah minta direktur maskapai itu dicopot. Lho kok tak menyalahkan diri sendiri?"

Romo terbahak-bahak: "Sudahlah, menteri yang kurang gaul itu dicopot. Titik." ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar