Selasa, 08 Maret 2016

Kulit Kabel

Kulit Kabel

Arswendo Atmowiloto ;   Budayawan
                                               KORAN JAKARTA, 05 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya bisa membayangkan kulit durian, tapi tetap susah membayangkan kalau jumlahnya mencapi 17 truk, atau sekitar 60 meter kubik. Saya bisa membayangkan jumlah yang sama untuk kulit kacang, tapi tetap tak bisa membayangkan jumlah sebesar itu—untuk apa atau dari proses apa. Apalagi kalau benda itui adalah kulit kabel, yang tak berhubungan langsung dengan kehidupan kita sehari-hari, dibandingkan kulit durian atau kulit kacang, atau krupuk kulit sekalipun.

Kulit kabel kini dipersoalkan. Benda ini berbentuk seperti pita, spiral, dengan lebar 2-5 sentimeter. Terbuat dari logam yang dilapisi plastik atau karet. Ketika ditemukan karet kabel ini sudah bercampur lumpur, dan berada dalam gorong-gorong, atau got yang di jalan Medan Merdeka.

Kulit kabel inilah yang menyumbat gorong-gorong dan dari sinilah diperkirakan terjadinya banjir Istana. Atau dalam bahasa dramatis : Istana Negara, dan Istana Merdeka, akan tenggelam.

Ini memang dramatis, gawat dan menakutkan. Karena yang muncul adalah pertanyaan : siapa gerangan yang melakukan sabotase ini? Siapa yang demikian jahat, dan terencana, dan mampu melumpuhkan simbol politis dan kekuasaan negeri ini?

Saya bisa membayangkan ada kejahatan, tapi yang ini—kalau sengaja, agaknya demikian—sungguh sangat jahat. Menyumbat gorong-gorong, untuk menimbulkan banjir, dan memperoleh keuntungan harta atau politis dari aksinya ini.

Saya membandingkan, dengan skala yang berbeda tapi kadar yang sama pekat jahatnya, pada mereka yang menaruh paku di jalanan, dengan harapan pengendara motor akan mengalami pecah ban, dan meminta jasanya sebagai tukang tambal ban.

Sedemikian jahat sehingga apapun dilakukan, hanya untuk memperoleh rejeki dengan pengorbanan orang lain yang besar. Seperti mala petaka banjir yang merugikan banyak sekali keperluan, hanya untuk keuntungan pribadi. Seperti juga penambal ban yang berharap dapat pekerjaan dengan menyebar paku—yang bisa saja menimbulkan kecelakaan yang fatal. Seperti juga, dalam perbandingan yang lain, mereka yang tega menipu dengan kedok penyelenggara tour – dalam kaitan agama. Dan atau kekejian lain, yang menjadi tega luar biasa, dan merendahkan kemanusian.

Saya suka bertanya dalam diri : kenapa ada orang yang bisa begitu tega menyebar paku di jalan raya? Apakah justru karena kita manusia kita dimungkinkan berbuat demikian jahat? Ataukah ini sisa-sisa naluri dan sifat kebinatangan yang kita miliki di masa purba dulu? Saya tak tahu jawabannya. Tapi saya ingin mengetahui sebab bagaimana mungkin kulit kabel sebanyak itu bisa ada di tempat itu. Siapa, atau siapa saja, yang melakukan itu.

Penyelidikan yang rumit tapi juga jelas sasaran akan memungkinkan mengungkapkan tabir. Karena jenis komponen kabel, jenis siapa yang menjadi pemilik, pekerja dari mana, bisa ditelusuri.

Hanya dengan penjelasan yang masuk akal, dan bukan sikap “masuk angin” yang menjadikan masalah itu menjadi terang, dan kita semua belajar dari kulit kabel ini. Kalau tidak bisa terungkap dan hanya menguap, barang kali kita masih dalam posisi kejahatan yang tak pernah kita sadari sejak kita masih purba.

Saya berusaha sabar, menunggu kabar penyelesaian kulit kabel. Saya membayangkan ini akan ada penjelasan yang masuk akal, dan bukan terhenti pada gorong gorong gelap. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar