Kulit Kabel
Arswendo Atmowiloto ;
Budayawan
|
KORAN JAKARTA, 05
Maret 2016
Saya bisa membayangkan
kulit durian, tapi tetap susah membayangkan kalau jumlahnya mencapi 17 truk,
atau sekitar 60 meter kubik. Saya bisa membayangkan jumlah yang sama untuk
kulit kacang, tapi tetap tak bisa membayangkan jumlah sebesar itu—untuk apa
atau dari proses apa. Apalagi kalau benda itui adalah kulit kabel, yang tak
berhubungan langsung dengan kehidupan kita sehari-hari, dibandingkan kulit
durian atau kulit kacang, atau krupuk kulit sekalipun.
Kulit kabel kini
dipersoalkan. Benda ini berbentuk seperti pita, spiral, dengan lebar 2-5
sentimeter. Terbuat dari logam yang dilapisi plastik atau karet. Ketika
ditemukan karet kabel ini sudah bercampur lumpur, dan berada dalam
gorong-gorong, atau got yang di jalan Medan Merdeka.
Kulit kabel inilah
yang menyumbat gorong-gorong dan dari sinilah diperkirakan terjadinya banjir
Istana. Atau dalam bahasa dramatis : Istana Negara, dan Istana Merdeka, akan
tenggelam.
Ini memang dramatis,
gawat dan menakutkan. Karena yang muncul adalah pertanyaan : siapa gerangan
yang melakukan sabotase ini? Siapa yang demikian jahat, dan terencana, dan
mampu melumpuhkan simbol politis dan kekuasaan negeri ini?
Saya bisa membayangkan
ada kejahatan, tapi yang ini—kalau sengaja, agaknya demikian—sungguh sangat
jahat. Menyumbat gorong-gorong, untuk menimbulkan banjir, dan memperoleh
keuntungan harta atau politis dari aksinya ini.
Saya membandingkan,
dengan skala yang berbeda tapi kadar yang sama pekat jahatnya, pada mereka
yang menaruh paku di jalanan, dengan harapan pengendara motor akan mengalami
pecah ban, dan meminta jasanya sebagai tukang tambal ban.
Sedemikian jahat
sehingga apapun dilakukan, hanya untuk memperoleh rejeki dengan pengorbanan
orang lain yang besar. Seperti mala petaka banjir yang merugikan banyak
sekali keperluan, hanya untuk keuntungan pribadi. Seperti juga penambal ban
yang berharap dapat pekerjaan dengan menyebar paku—yang bisa saja menimbulkan
kecelakaan yang fatal. Seperti juga, dalam perbandingan yang lain, mereka
yang tega menipu dengan kedok penyelenggara tour – dalam kaitan agama. Dan
atau kekejian lain, yang menjadi tega luar biasa, dan merendahkan kemanusian.
Saya suka bertanya
dalam diri : kenapa ada orang yang bisa begitu tega menyebar paku di jalan
raya? Apakah justru karena kita manusia kita dimungkinkan berbuat demikian
jahat? Ataukah ini sisa-sisa naluri dan sifat kebinatangan yang kita miliki
di masa purba dulu? Saya tak tahu jawabannya. Tapi saya ingin mengetahui
sebab bagaimana mungkin kulit kabel sebanyak itu bisa ada di tempat itu.
Siapa, atau siapa saja, yang melakukan itu.
Penyelidikan yang
rumit tapi juga jelas sasaran akan memungkinkan mengungkapkan tabir. Karena
jenis komponen kabel, jenis siapa yang menjadi pemilik, pekerja dari mana,
bisa ditelusuri.
Hanya dengan
penjelasan yang masuk akal, dan bukan sikap “masuk angin” yang menjadikan
masalah itu menjadi terang, dan kita semua belajar dari kulit kabel ini.
Kalau tidak bisa terungkap dan hanya menguap, barang kali kita masih dalam
posisi kejahatan yang tak pernah kita sadari sejak kita masih purba.
Saya berusaha sabar,
menunggu kabar penyelesaian kulit kabel. Saya membayangkan ini akan ada
penjelasan yang masuk akal, dan bukan terhenti pada gorong gorong gelap. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar