Setelah Emas Hitam Tinggal Hitamnya
Dahlan Iskan ;
Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA POS, 07 Maret
2016
Siapakah yang terpukul atas turunnya harga minyak mentah yang
begitu drastis?
Pertama, pengusaha batu bara. Harga emas hitam ini hilang
emasnya, tinggal hitamnya.
Tapi, ini hanya soal roda yang memang harus berputar saja. Kali
ini lagi di bawah. Setelah sangat lama berada di atas.
Kedua, green energy.
Ketika harga minyak sangat tinggi, green
energy dapat angin.
Didorong, digairahkan, dipermudah, diberi insentif, dan bahkan
diberi subsidi. Green energy ibarat
tanaman yang baru disemai langsung terkena gerhana.
Nasib bisnis energi terbarukan berada di bibir jurang. Ketika
harga minyak mentah mencapai USD 100 per barel, pun harga listrik dari renewable energy masih lebih mahal.
Sedikit.
Khususnya tenaga matahari atau tenaga angin atau biogas atau
biodiesel atau biomass. Termasuk proyek tanaman kaliandra merah saya.
Bayangkan dengan harga baru minyak mentah yang tinggal USD 30
per barel. Betapa green energy itu jauh, jauh, jauh lebih mahalnya.
Pabrik-pabrik solar cell di Tiongkok terpukul habis. Sudah
berteriak minta diselamatkan. Atau bangkrut. Sudah tidak kuat lagi.
Begitu tiba di Beijing kemarin saya langsung mendapat suguhan
berita sedih itu. Padahal, Tiongkok-lah pembuat solar cell terbesar di dunia.
Juga menguasai pasar global.
Dengan harga murahnya. Sampai-sampai tiga perusahaan solar cell
terbesar di Amerika mengakhiri hidupnya.
Dukungan riset di solar cell memang belum memuaskan. Efisiensi
penyerapan energi mataharinya tidak kunjung membaik.
Lima belas tahun terakhir tidak ada kemajuan. Efisiensinya masih
mentok di angka 18 persen.
Demikian juga kemajuan teknologi baterai. Masih mentok di
capaian baterai litium. Belum ada temuan yang lebih hebat dari itu di
pasaran.
Semua harapan baru masih di skala lab. Padahal, baterai menjadi
andalan untuk mendukung tenaga matahari maupun angin.
Padahal, kita punya target menurunkan emisi. Yang sudah
dijanjikan ke seluruh dunia. Mau tidak mau pemakaian batu bara akan menjadi
primadona lagi.
Meski bisa mengotori lingkungan kita. Batu bara menjadi begitu
menariknya. Secara bisnis. Begitu murahnya.
Kenyataan itulah yang saya ajukan jadi topik bahasan di depan
forum Ikatan Mahasiswa Teknik Kimia Universitas Indonesia (UI) di Jakarta
Sabtu lalu (5/3). Beberapa jam sebelum keberangkatan saya ke Beijing.
Hari itu tidak hanya dari UI yang hadir. Juga mahasiswa teknik
kimia dari ITB, UGM, ITS, Unsri, dan sebagainya. Mereka adalah finalis lomba
kimia terapan.
Tiap tahun UI mengadakan lomba seperti itu. Ada yang menemukan
ramuan permen karet penghilang bau badan. Dengan bahan baku daun kemangi. Ada
yang menemukan susu dari singkong.
Saya minta ditemukan bahan yang bisa mengatasi
kelemahan-kelemahan batu bara. Baik sulfurnya dan terutama kandungan debunya.
Lebih-lebih untuk batu bara kalori rendah.
Perlu ada temuan peningkatan kalorinya. Negara sangat menunggu temuan itu. Ini
menyangkut masa depan kecukupan energi Indonesia. Untuk mengejar
ketertinggalan kita.
Memang akan ada terobosan baru. Misalnya penggunaan torium. Yang
memiliki daya energi 200 kali dari uranium. Satu gram torium bisa
menggantikan 3.000 ton batu bara. Satu gram.
Apalagi, torium lebih aman. Torium tidak akan bisa membuat
reaktor meleleh dan meledak. Tidak seperti uranium.
Biarpun suplai listrik pendingin reaktornya terhenti/mati
reaktornya, tidak akan meleleh kepanasan. Seperti di Fukushima itu. Torium
akan membuat reaktornya mendingin sendiri.
Tapi, itu memerlukan terobosan keberanian. Dalam mengambil
risiko. Mungkin juga akan ada penemuan lain: H2O menjadi HH2O. Lewat proses
fission.
Tapi, batu bara yang sangat murah ini ada di depan hidung. Kita
menyandarkan masa depan kita pada teknik kimia. Ayolah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar