Tarian Tango Basuki Tjahaja Purnama
J Kristiadi ;
Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 08 Maret
2016
Tango, tarian eksotik
berpasangan, adalah tarian rakyat yang berasal dari salah satu negara di
Amerika Latin. Dansa rakyat yang kini populer di seantero dunia tersebut
mengombinasikan kelincahan, kegesitan, serta kegemulaian penarinya. Oleh
sebab itu, tarian tersebut dianggap sempurna kalau dua orang yang berpasangan
itu tidak hanya saling mengenal, tetapi juga mempunyai senyawa intimitas
sehingga tarian itu tidak hanya membuat terpesona, tetapi juga mampu menyihir
penonton karena kejujuran ekspresi kegairahan eksotis para penarinya.
Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama alias Basuki, akhir-akhir ini, dan mungkin beberapa
hari yang akan datang, sibuk mencari partai politik yang bersedia menyediakan
kadernya sebagai calon wakil gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada Serentak
Februari 2017. Dinamika politik lokal di Jakarta dewasa ini menghadapkan
Basuki pada dua pilihan. Pertama, ”menari tango” bersama Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) atau, kedua, berdansa dengan kumpulan ”Teman
Ahok”. Pilihan tersebut tidak hanya harus diperhitungkan dengan cermat,
melainkan juga memerlukan intuisi tajam agar tidak meleset, yang
ujung-ujungnya mengecewakan pendukung dan konstituennya.
Pilihan pertama
sebenarnya cukup baik, selain karena Basuki mempunyai hubungan pribadi yang
lumayan erat dengan Megawati Soekarnoputri, Djarot Saiful Hidayat yang
mungkin akan diajukan sebagai kandidat wakil gubernur DKI Jakarta, juga bukan
orang asing bagi Basuki. Keduanya sudah bersama-sama memimpin Jakarta. Namun,
tampaknya jalan tidak semulus itu mengingat beberapa kader PDI-P telah
memanaskan hubungan Basuki dengan PDI-P dengan melancarkan ungkapan Basuki
harus diuji loyalitasnya, Basuki jangan coba-coba mengatur PDI-P, dan
ungkapan sejenis yang tidak mendekatkan, tetapi justru merenggangkan hubungan
keduanya.
Sementara itu, bagi
Basuki, yang mungkin sedang menimbang-nimbang parpol apa yang akan menjadi
pengusungnya, mendengarkan narasi semacam itu harus berpikir dua kali.
Apalagi, kalau untuk memperoleh kandidat wakil gubernur dari parpol harus
sowan dan sungkem serta memohon-mohon; dia khawatir hanya akan selalu didikte
dan dianggap sekadar petugas partai. Ujung-ujungnya membanjirnya tagihan
politik yang hanya akan menyandera dirinya. Terlebih kalau mengaca pengalaman
ironis Presiden Joko Widodo, parpol pengusung tidak jarang dengan garang
menjadi pementung atau pemukul. Karena itu, opsi ini kecil kemungkinannya menjadi
pilihan Basuki.
Pilihan kedua,
bersandar kepada ”Teman Ahok”. Opsi ini bagi Basuki lebih leluasa dalam
mewujudkan impiannya. Selain itu, perkumpulan ini juga keberatan Basuki
diusung parpol. Tanpa dukungan parpol, elektabilitas Basuki amat sulit dikejar
para pesaingnya. Hasil survei Populi Center pada Februari 2016, elektabilitas
Basuki hampir 50 persen, jauh melampaui kandidat lainnya, seperti Ridwan
Kamil, Yusril Ihza Mahendra, Nachrowi Ramli, dan Adhyaksa Dault. Basuki lebih
mujur karena para calon pesaing yang lebih adekuat kompetensinya, seperti
Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung), Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), dan
Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), membatalkan diri sebagai
kompetitornya.
Meski demikian,
sebaiknya pendekatan terhadap parpol, khususnya PDI-P, tetap harus dilakukan
agar mereka bersedia menjadi pendukung, bukan pengusung, sebagaimana
dilakukan Partai Nasdem, Hanura, dan mungkin akan diikuti parpol lain.
Dukungan tersebut sangat penting dalam mengelola kelancaran pemerintahan.
Kandidat gubernur DKI
Jakarta lainnya tidak perlu surut melihat elektabilitas Basuki. Mengalahkan
Basuki tidak terlalu sulit, syaratnya mampu membuktikan dan meyakinkan kepada
masyarakat Ibu Kota dengan memberikan bukti nyata hasil kerja kerasnya,
transparan, serta akuntabel yang dapat diukur dan dirasakan. Bukan retorika
dan citra. Keunggulan Basuki membangun citra berbanding terbalik dengan para
politisi pada umumnya. Basuki terbangun citranya akibat keberhasilan membuat
kebijakan yang konkret dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sehingga
hasilnya mulai dirasakan baik oleh masyarakat.
Padahal, apa yang
dicapai Basuki, bagi pemerintahan masa lalu, adalah kemustahilan. Misalnya,
menggerakkan mesin birokrasi Provinsi DKI Jakarta, menegakkan peraturan, berani
mulai melaksanakan tahap pembangunan MRT (transportasi massal cepat),
sungguh-sungguh mengatasi problem banjir, dan membenahi jalur hijau atau
bantaran sungai yang ditempati penduduk liar.
Karena itu, meski
kadang menuai protes, tingkat preferensi masyarakat DKI terhadap Basuki tetap
tinggi. Intinya, Basuki berhasil mengelola Pemerintahan DKI Jakarta pararel
dengan kualitas jiwa dan komitmennya membangun Jakarta. Kalau para pesaing
hanya membangun citra dengan jurus tunggal blusukan tanpa disertai bukti
nyata, hanya akan membuat masyarakat terpingkal-pingkal sampai keluar air
mata saking gelinya.
Mencermati dinamika
politik DKI Jakarta menjelang Pilkada Serentak 2017, Basuki tidak mempunyai
pasangan tari tango yang ideal yang chemistry-nya cocok untuk mengelola
pemerintahan DKI Jakarta. Mungkin sudah takdir politik, Basuki harus menari
sendirian agar lebih leluasa dan lebih terlihat gagah dalam mewujudkan impian
rakyat Jakarta. Ia akan melakukan Tari Topeng Klana asal Cirebon, joget yang
diilhami oleh adegan raja yang suka mengelana, mempunyai cita-cita tinggi,
serta memanifestasikan kegagahan dan kejujuran dalam mengemban tugasnya. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar