Menghitung Pajak Sendiri
Gunadi ;
Guru Besar Perpajakan UI; Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan
|
KOMPAS, 10 Maret
2016
Fondasi sistem
perpajakan Indonesia, pada 1984, diubah dari official assessment (kantor pajak/Direktorat Jenderal
Pajak-menghitung pajak terutang) ke sistem pajak modern demokratis dan
partisipatif self assessment
(pembayar pajak/wajib pajak-menghitung sendiri pajak terutang).
Self assessment (SA)
mengurangi beban kerja administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari
penerbitan ketetapan semua surat pemberitahuan (SPT) menjadi "random
selektif". Jika official assessment (OA) berdasar kepada kepatuhan
wajib, SA kepada kepatuhan yang bersifat sukarela/kesadaran yang dibangun
berdasarkan asas saling percaya dan menghormati antara wajib pajak (WP) dan
DJP.
Malcolm Gillis (Tax Reform in Developing Countries, 1989)
menyebut empat tujuan dasar reformasi 1984: (i) kenaikan penerimaan; (ii)
distribusi pendapatan guna mengurangi kemiskinan; (iii) stabilisasi dan
efisiensi ekonomi; dan (iv) efektivitas administrasi dan kepatuhan pajak.
Setelah memantau selama empat tahun, Gillis menyebut tiga tujuan tercapai,
selain pemerataan (rasio gini). Direktur Bank Dunia Rodrigo A Chaves
menyatakan bahwa rasio gini Indonesia pada 2000 sekitar 0,31 persen, tetapi
gagal dipertahankan: pada 2011-2014 naik jadi 0,41 persen. Penerimaan pajak
yang stabil, elastis, dan berkelanjutan telah menggeser peranan migas yang
rentan gejolak lifting dan harga. SA berhasil menyederhanakan dan menurunkan
biaya administrasi serta menaikkan kepatuhan. Penurunan tarif pajak
penghasilan (PPh) dan penggantian sistem cascading
PPn dengan PPN (administrasi kompleks dan pengawasan kedodoran sehingga
muncul faktur pajak bodong) telah ikut memperbaiki iklim investasi, bisnis,
stabilisasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Saling percaya dan menghargai
Barry Larking (International Tax Glossary, 2005)
menyebut sistem pajak SA sebagai "as
a system under which the taxpayer is required to declare the basis of
assessment (taxable income), to submit the calculation of tax due and,
usually, to accompany with payment of the tax due. The role of the tax
authorities is to check (in random cases) that the taxpayer has correctly
disclosed his income and has claimed no reliefs or allowance to which he is
not entitled, and otherwise to ensure that he pays the correct of tax."
Prinsip saling percaya
dan menghormati antara WP dan DJP membagi fungsi antarmereka. Sementara WP
menghitung utang pajak, melaporkan dalam SPT dan membayar pajak, DJP
mengawasi benar dan lengkapnya SPT serta pelunasan pajak. Pasal 12 dan 25 UU
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebut beberapa prinsip dasar SA:
(i) pajak terutang berdasar UU (paham utang pajak material); (ii) jumlah
pajak menurut SPT sesuai UU; (iii) jika mendapat bukti ketidakbenaran SPT,
DJP menerbitkan ketetapan pajak semestinya; (iv) selain yang disetujui WP,
keberatan dan banding menunda pembayaran pajak; dan (v) ketetapan mempunyai
kekuatan eksekutorial atas persetujuan WP atau putusan pengadilan. Jika semua
WP mengisi SPT dan membayar pajak sebenarnya, dan DJP efektif mengawasi,
tentunya target penerimaan wajar dapat tercapai.
Mengapa-selain tahun
2005 dan 2008-realisasi penerimaan tidak bersinar? Berdasar mekanisme SA di
atas, jawabnya minimal empat kemungkinan. Pertama, WP berperilaku belum
seperti aturan. Kedua, pengawasan DJP kurang efektif. Ketiga, proyeksi
penerimaan kurang wajar. Keempat, ada sebab lain, seperti struktur ekonomi
belum maju (Alex Radian, 1983). Dalam merealisasikan penerimaan, hakim
Colbert menyatakan bahwa memungut pajak itu seperti seni bagaimana mencabut
bulu angsa tanpa teriakan. Mungkin DJP harus berperilaku seperti seniman
sehingga kinerja penerimaan bersinar.
Akar masalah
Tujuan utama sistem
pajak adalah perolehan penerimaan cukup, elastis, dan berkelanjutan. Kunci
sukses SA adalah kepatuhan. Sesuai teori freedom
of contract, WP bebas mengatur bisnis dan menyikapi kepatuhan.
Kekurangpatuhan memengaruhi penerimaan. Carlos Sylvani (1984) menyebut empat
jenis ketidakpatuhan: (i) tidak terdaftar; (ii) tidak melapor; (iii)
menghindar dan mengelak; dan (iv) ngemplang pajak. Sistem SA dibangun
berdasarkan asumsi informasi asimetri (WP lebih lengkap). Data dan informasi
merupakan kunci efektivitas pengawasan. Tanpa data lengkap, DJP kedodoran,
bahkan tidak mampu mengawasi dan meningkatkan kepatuhan. Agar pengawasan dan
peningkatan kepatuhan efektif dan efisien, administrasi DJP harus berbasis
teknologi informasi data elektronik.
Pengawasan dibangun
dengan memaksimalkan otomasi agar mampu membentuk taxpayer account (akun WP) sebagai data berkas lengkap WP, kontak
sederhana dan biaya murah. Pengawasan masih ikut teori Allingham dan Sandmo
(1972) yang mendalilkan bahwa kepatuhan merupakan produk deteksi dan sanksi.
Karena itu, pemeriksaan dan penegakan hukum diutamakan. Namun, kualitas dan
cakupan audit rendah (0,3 persen). Hasilnya: 50 persen lebih yang keberatan
dan dari jumlah itu 80 persen lebih memilih banding.
Pendekatan tekanan,
ancaman, dan hukuman koersif ini sudah ditinggalkan oleh banyak negara.
Selain tidak efektif dan kontraproduktif, kesadaran dan pengetahuan hukum WP
mendorong perlawanan dan kegaduhan (Matthijs Alink & Victor van Kommer,
2011). Misalnya, di Australia, cakupan audit lebih dari 3 persen, hasilnya 7
persen keberatan dan dari jumlah itu 3 persen banding. Koreksi di sana wajar,
rasional, tanpa anomali dan dapat berterima umum sehingga efektif menambah
penerimaan dan meningkatkan kepatuhan.
Tradisi proyeksi
penerimaan pajak selama ini adalah pendekatan incremental, yakni mendasarkan
kepada realisasi tahun lalu ditambah pertumbuhan basis alamiah (pertumbuhan
dan inflasi) dan extra effort (ekstensifikasi, pemeriksaan, dan penagihan).
Pertumbuhan basis alamiah, bukanlah otomatis, tetapi harus diamankan agar
elastisitasnya satu dengan pengawasan pembayaran PPh Pasal 25/29, PPh
potongan/pungutan, PPN dan PPnBM dan pajak lainnya. Kondisi ekonomi belum
maju, lambat atau stagnan, banyak sektor informal, tanpa pembukuan, cash dan underground economy sehingga
mempersulit mobilisasi penerimaan dan peningkatan kepatuhan.
Penciptaan lingkungan kondusif
Musgrave (disitir Alex
Radian) menyebut theories of tax level
determinants-teori penentu tingkat pajak-yang mendalilkan bahwa kemajuan
ekonomi dapat mengubah struktur pajak, membesarkan, dan mendekatkan basis
pemajakan dalam jangkauan instrumen mobilisasi penerimaan. Kemajuan ekonomi
mengubah sifat basis pemajakan dari sektor informal ke formal, sulit ke mudah
untuk pajak, sehingga dengan cara menangani pajak yang pas dan cocok, semua
potensi dapat direalisasikan.
Beberapa paket
kebijakan diharap mendorong kemajuan ekonomi dan memperbaiki struktur pajak
sehingga mampu mobilisasi pajak dan meningkatkan rasio pajak. Penegakan hukum
harus meyakinkan WP bahwa DJP dapat dipercaya, taat hukum, rasional, adil dan
pasti, proses keberatan dan banding menyelesaikan sengketa. Tanpa bukti
ketidakbenaran, DJP harus percaya kebenaran dan kelengkapan SPT.
Pengawasan dan
peningkatan kepatuhan harus berbasis administrasi pajak yang andal, efektif,
dan efisien dalam arti secara sistemik, mudah dan murah, mampu memaksa WP tidak
punya pilihan selain patuh. Sistem dimaksud misalnya berbasis teknologi
komunikasi dan informasi, data dasar berbasis elektronik, dengan model akun
WP bertahap dari WP berpotensi (LTO, khusus dan madya) maksimisasi otomasi
administrasi pajak daring (mulai dengan otomasi sistem kontrol build-in PPN
dari PM-PK sehingga mengurangi faktur bodong).
Kompleksitas PPN dapat
dikurangi dengan modifikasi menjadi menyatu antara PPN dan PPn. Gantikan
pengawasan manual dengan akun WP, data melalui pendekatan yang cocok atas SPT
(bangun e-SPT mulai dari WP berpotensi). Data yang dibangun melalui
pendekatan audit yang cocok dan pas dapat secara signifikan meningkatkan
deteksi dini ketidakpatuhan, cakupan audit, dan pengawasan sehingga efektif
dan efisien meningkatkan layanan, penerimaan, dan kepatuhan.
Usahakan perluasan
sistem potongan/pungutan pajak, termasuk penghasilan usaha dan jasa
profesional oleh pihak ketiga yang berpotensi. Semua potongan/pungutan pajak
dan transaksi sejumlah nominal tertentu harus ber-NPWP. Untuk menyederhanakan
administrasi, sistem NPWP dapat diganti dengan nomor induk kependudukan (NIK)
atau nomor registrasi badan.
Pembenahan semua kerja
administratif yang tidak produktif dapat mengurangi beban kerja. Sementara
pencantuman NIK pada semua data, sehingga masuk ke akun WP untuk pengawasan
dan data yang sesuai, dapat memaksimalkan deteksi dini pelanggaran. Ini
sekaligus juga efektif meningkatkan pengawasan dan kepatuhan sehingga capaian
penerimaan berdasar proyeksi wajar menjadi optimal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar