Kamis, 10 Maret 2016

Menghitung Pajak Sendiri

Menghitung Pajak Sendiri

Gunadi ;  Guru Besar Perpajakan UI; Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan
                                                       KOMPAS, 10 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Fondasi sistem perpajakan Indonesia, pada 1984, diubah dari official assessment (kantor pajak/Direktorat Jenderal Pajak-menghitung pajak terutang) ke sistem pajak modern demokratis dan partisipatif self assessment (pembayar pajak/wajib pajak-menghitung sendiri pajak terutang).

Self assessment (SA) mengurangi beban kerja administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari penerbitan ketetapan semua surat pemberitahuan (SPT) menjadi "random selektif". Jika official assessment (OA) berdasar kepada kepatuhan wajib, SA kepada kepatuhan yang bersifat sukarela/kesadaran yang dibangun berdasarkan asas saling percaya dan menghormati antara wajib pajak (WP) dan DJP.

Malcolm Gillis (Tax Reform in Developing Countries, 1989) menyebut empat tujuan dasar reformasi 1984: (i) kenaikan penerimaan; (ii) distribusi pendapatan guna mengurangi kemiskinan; (iii) stabilisasi dan efisiensi ekonomi; dan (iv) efektivitas administrasi dan kepatuhan pajak. Setelah memantau selama empat tahun, Gillis menyebut tiga tujuan tercapai, selain pemerataan (rasio gini). Direktur Bank Dunia Rodrigo A Chaves menyatakan bahwa rasio gini Indonesia pada 2000 sekitar 0,31 persen, tetapi gagal dipertahankan: pada 2011-2014 naik jadi 0,41 persen. Penerimaan pajak yang stabil, elastis, dan berkelanjutan telah menggeser peranan migas yang rentan gejolak lifting dan harga. SA berhasil menyederhanakan dan menurunkan biaya administrasi serta menaikkan kepatuhan. Penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) dan penggantian sistem cascading PPn dengan PPN (administrasi kompleks dan pengawasan kedodoran sehingga muncul faktur pajak bodong) telah ikut memperbaiki iklim investasi, bisnis, stabilisasi, dan pertumbuhan ekonomi.

Saling percaya dan menghargai

Barry Larking (International Tax Glossary, 2005) menyebut sistem pajak SA sebagai "as a system under which the taxpayer is required to declare the basis of assessment (taxable income), to submit the calculation of tax due and, usually, to accompany with payment of the tax due. The role of the tax authorities is to check (in random cases) that the taxpayer has correctly disclosed his income and has claimed no reliefs or allowance to which he is not entitled, and otherwise to ensure that he pays the correct of tax."

Prinsip saling percaya dan menghormati antara WP dan DJP membagi fungsi antarmereka. Sementara WP menghitung utang pajak, melaporkan dalam SPT dan membayar pajak, DJP mengawasi benar dan lengkapnya SPT serta pelunasan pajak. Pasal 12 dan 25 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebut beberapa prinsip dasar SA: (i) pajak terutang berdasar UU (paham utang pajak material); (ii) jumlah pajak menurut SPT sesuai UU; (iii) jika mendapat bukti ketidakbenaran SPT, DJP menerbitkan ketetapan pajak semestinya; (iv) selain yang disetujui WP, keberatan dan banding menunda pembayaran pajak; dan (v) ketetapan mempunyai kekuatan eksekutorial atas persetujuan WP atau putusan pengadilan. Jika semua WP mengisi SPT dan membayar pajak sebenarnya, dan DJP efektif mengawasi, tentunya target penerimaan wajar dapat tercapai.

Mengapa-selain tahun 2005 dan 2008-realisasi penerimaan tidak bersinar? Berdasar mekanisme SA di atas, jawabnya minimal empat kemungkinan. Pertama, WP berperilaku belum seperti aturan. Kedua, pengawasan DJP kurang efektif. Ketiga, proyeksi penerimaan kurang wajar. Keempat, ada sebab lain, seperti struktur ekonomi belum maju (Alex Radian, 1983). Dalam merealisasikan penerimaan, hakim Colbert menyatakan bahwa memungut pajak itu seperti seni bagaimana mencabut bulu angsa tanpa teriakan. Mungkin DJP harus berperilaku seperti seniman sehingga kinerja penerimaan bersinar.

Akar masalah

Tujuan utama sistem pajak adalah perolehan penerimaan cukup, elastis, dan berkelanjutan. Kunci sukses SA adalah kepatuhan. Sesuai teori freedom of contract, WP bebas mengatur bisnis dan menyikapi kepatuhan. Kekurangpatuhan memengaruhi penerimaan. Carlos Sylvani (1984) menyebut empat jenis ketidakpatuhan: (i) tidak terdaftar; (ii) tidak melapor; (iii) menghindar dan mengelak; dan (iv) ngemplang pajak. Sistem SA dibangun berdasarkan asumsi informasi asimetri (WP lebih lengkap). Data dan informasi merupakan kunci efektivitas pengawasan. Tanpa data lengkap, DJP kedodoran, bahkan tidak mampu mengawasi dan meningkatkan kepatuhan. Agar pengawasan dan peningkatan kepatuhan efektif dan efisien, administrasi DJP harus berbasis teknologi informasi data elektronik.

Pengawasan dibangun dengan memaksimalkan otomasi agar mampu membentuk taxpayer account (akun WP) sebagai data berkas lengkap WP, kontak sederhana dan biaya murah. Pengawasan masih ikut teori Allingham dan Sandmo (1972) yang mendalilkan bahwa kepatuhan merupakan produk deteksi dan sanksi. Karena itu, pemeriksaan dan penegakan hukum diutamakan. Namun, kualitas dan cakupan audit rendah (0,3 persen). Hasilnya: 50 persen lebih yang keberatan dan dari jumlah itu 80 persen lebih memilih banding.

Pendekatan tekanan, ancaman, dan hukuman koersif ini sudah ditinggalkan oleh banyak negara. Selain tidak efektif dan kontraproduktif, kesadaran dan pengetahuan hukum WP mendorong perlawanan dan kegaduhan (Matthijs Alink & Victor van Kommer, 2011). Misalnya, di Australia, cakupan audit lebih dari 3 persen, hasilnya 7 persen keberatan dan dari jumlah itu 3 persen banding. Koreksi di sana wajar, rasional, tanpa anomali dan dapat berterima umum sehingga efektif menambah penerimaan dan meningkatkan kepatuhan.

Tradisi proyeksi penerimaan pajak selama ini adalah pendekatan incremental, yakni mendasarkan kepada realisasi tahun lalu ditambah pertumbuhan basis alamiah (pertumbuhan dan inflasi) dan extra effort (ekstensifikasi, pemeriksaan, dan penagihan). Pertumbuhan basis alamiah, bukanlah otomatis, tetapi harus diamankan agar elastisitasnya satu dengan pengawasan pembayaran PPh Pasal 25/29, PPh potongan/pungutan, PPN dan PPnBM dan pajak lainnya. Kondisi ekonomi belum maju, lambat atau stagnan, banyak sektor informal, tanpa pembukuan, cash dan underground economy sehingga mempersulit mobilisasi penerimaan dan peningkatan kepatuhan.

Penciptaan lingkungan kondusif

Musgrave (disitir Alex Radian) menyebut theories of tax level determinants-teori penentu tingkat pajak-yang mendalilkan bahwa kemajuan ekonomi dapat mengubah struktur pajak, membesarkan, dan mendekatkan basis pemajakan dalam jangkauan instrumen mobilisasi penerimaan. Kemajuan ekonomi mengubah sifat basis pemajakan dari sektor informal ke formal, sulit ke mudah untuk pajak, sehingga dengan cara menangani pajak yang pas dan cocok, semua potensi dapat direalisasikan.

Beberapa paket kebijakan diharap mendorong kemajuan ekonomi dan memperbaiki struktur pajak sehingga mampu mobilisasi pajak dan meningkatkan rasio pajak. Penegakan hukum harus meyakinkan WP bahwa DJP dapat dipercaya, taat hukum, rasional, adil dan pasti, proses keberatan dan banding menyelesaikan sengketa. Tanpa bukti ketidakbenaran, DJP harus percaya kebenaran dan kelengkapan SPT.

Pengawasan dan peningkatan kepatuhan harus berbasis administrasi pajak yang andal, efektif, dan efisien dalam arti secara sistemik, mudah dan murah, mampu memaksa WP tidak punya pilihan selain patuh. Sistem dimaksud misalnya berbasis teknologi komunikasi dan informasi, data dasar berbasis elektronik, dengan model akun WP bertahap dari WP berpotensi (LTO, khusus dan madya) maksimisasi otomasi administrasi pajak daring (mulai dengan otomasi sistem kontrol build-in PPN dari PM-PK sehingga mengurangi faktur bodong).

Kompleksitas PPN dapat dikurangi dengan modifikasi menjadi menyatu antara PPN dan PPn. Gantikan pengawasan manual dengan akun WP, data melalui pendekatan yang cocok atas SPT (bangun e-SPT mulai dari WP berpotensi). Data yang dibangun melalui pendekatan audit yang cocok dan pas dapat secara signifikan meningkatkan deteksi dini ketidakpatuhan, cakupan audit, dan pengawasan sehingga efektif dan efisien meningkatkan layanan, penerimaan, dan kepatuhan.

Usahakan perluasan sistem potongan/pungutan pajak, termasuk penghasilan usaha dan jasa profesional oleh pihak ketiga yang berpotensi. Semua potongan/pungutan pajak dan transaksi sejumlah nominal tertentu harus ber-NPWP. Untuk menyederhanakan administrasi, sistem NPWP dapat diganti dengan nomor induk kependudukan (NIK) atau nomor registrasi badan.

Pembenahan semua kerja administratif yang tidak produktif dapat mengurangi beban kerja. Sementara pencantuman NIK pada semua data, sehingga masuk ke akun WP untuk pengawasan dan data yang sesuai, dapat memaksimalkan deteksi dini pelanggaran. Ini sekaligus juga efektif meningkatkan pengawasan dan kepatuhan sehingga capaian penerimaan berdasar proyeksi wajar menjadi optimal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar