Sukarno Itu Kiri Marxis
Bonnie Setiawan ;
Direktur Eksekutif
Resistance and Alternatives to
Globalization (RAG) di Jakarta
|
INDOPROGRESS, 07
Maret 2016
SEPEKAN belakangan ini
ramai pemberitaan mengenai pelarangan BelokKiri.Fest, sebuah festival untuk
merayakan gerakan kiri di Indonesia. Sebabnya, tentu saja, karena penggunaan
nama “Kiri” dalam acara tersebut telah membuat banyak pihak kepanasan.
Warisan rezim bengis Orde Baru bahwa Kiri adalah haram rupanya hendak terus
dilestarikan. Padahal, kalau orang sadar, Indonesia sejatinya adalah Kiri.
Dua proklamatornya: Sukarno-Hatta, adalah kiri. Sebagian besar bapak (dan
ibu) bangsa juga berpaham kiri. Konstitusinya UUD 45 adalah sosialistis,
khususnya pasal 33. Pancasila dasar Negara juga nilai-nilainya kiri.
Untuk itu,
representasi paling kuat dari seorang figur kiri Indonesia yang tidak bisa
dihapus atau dihilangkan adalah Sukarno. Indonesia beruntung memiliki
Sukarno, seorang pejuang konsisten yang sekaligus proklamator kemerdekaan
Republik Indonesia dan Presiden Indonesia pertama. Di dalam diri Sukarno,
kita jumpai seorang aktivis yang komplit, yang mampu berpikir komprehensif,
bertindak strategis dan merangkul semua orang sehingga terbentuk satu nasion
Indonesia yang besar wilayahnya. Tanpa Sukarno, mungkin tidak ada Negara
Indonesia dari Sabang sampai Merauke, melainkan terpecah-belah dan sudah
sejak awal menjadi beberapa negara sebagaimana kehendak Belanda.
Sukarno atau Bung
Karno, demikian ia ingin dipanggil rakyatnya. Bung menjadi panggilan
pengganti kamerad, comrade, panggilan untuk kesetaraan, panggilan egaliter.
Bung Karno ingin disebut di nisannya sebagai “penyambung lidah rakyat
Indonesia”, bukan “pemimpin besar revolusi” atau “paduka yang mulia”, sebutan
ketika ia masih menjabat sebagai presiden. Penyambung lidah adalah istilah
yang mirip diungkapkan oleh Mao Zedong, “rumuskanlah secara sistematis dari
rakyat apa-apa yang mereka ucapkan secara bahasa awam”. Penyambung lidah
menunjukkan bahwa ia hanyalah instrumen rakyat, penyambung dari kata dan hati
rakyat yang sebenarnya, dan tidak boleh diplintir atau ditunggangi oleh
kepentingan pribadi.
Bung Karno seringkali
dipahami secara sempit oleh banyak orang, dan ini adalah kesalahan mendasar.
Misalnya, Bung Karno dipahami sebagai seorang nasionalis saja, atau sebagai
nasionalis kiri. Itu salah. Bung Karno, sebagaimana katanya sendiri, adalah
seorang revolusioner. Katanya, kalau menjadi nasionalis maka jadilah
nasionalis yang revolusioner; kalau menjadi agamis jadilah agamis yang revolusioner;
dan kalau menjadi seorang komunis, dengan sendirinya harus revolusioner.
Revolusioner, artinya seseorang yang setia pada ideologi dan pelaksanaan
revolusi, yaitu Revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia, sebagaimana yang
dipahaminya, adalah perjuangan mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur dari
sejak revolusi nasional sampai kepada revolusi sosialis. Kemerdekaan,
dekolonisasi, barulah jembatan saja, bukan tujuan. Kalau orang nasionalis,
maka hanya berhenti di kemerdekaan saja. Bung Karno tidak. Bung Karno ingin
terus maju sampai mencapai tujuan Sosialisme Indonesia. Jadi Bung Karno
seorang revolusioner Sosialis.
Apa paham atau teori
dasar Sosialisme: itulah Marxisme. Bung Karno adalah seorang Marxis
plus-plus, yaitu ditambah dengan Nasionalis dan Agamis, yang disebutnya
sebagai Nasakom. Bahkan di masa kekuasaannya mulai redup, pada tanggal 28
Februari 1966, Bung Karno terang-terangan mengakui dirinya sebagai Marxis.
“Aku tegaskan dengan tanpa tedeng aling-aling, ya, aku Marxis,” kata Bung
Karno. Menurut pengakuannya, sejak tahun 1928 Ia sudah menjadi marxis,
sekaligus nasionalis dan agamais. Kita tahu bahwa menjadi nasionalis dan
agamis (Islam) adalah askribsi (diturunkan atau diterima begitu saja, given).
Tetapi menjadi Marxis adalah pilihan individu. Karena itu pula, Bung Karno
mencoba mencari padanan istilah yang bisa diterima rakyat kecil dari Marxisme
ini, yang ia sebut sebagai Marhaenisme. Marhaenisme, sebagaimana kita tahu,
adalah Marxisme yang disesuaikan dengan konteks Indonesia. Jadi, Bung Karno
jelas seorang Marxis. Itu yang pertama.
Yang kedua, sebagai
revolusioner Sosialis a’la Indonesia, maka apakah alat-alatnya? Di sini Bung
Karno memperkenalkan apa yang disebut sebagai Panca Azimat Revolusi, lima
ajimat revolusi Indonesia, yaitu: Nasakom, Pancasila, Manipol-Usdek, Trisakti
dan Berdikari. Alat pertama, adalah persatuan kaum nasionalis, agamis dan
komunis, dalam mencapai tujuan Sosialisme Indonesia. Kedua, Pancasila sebagai
dasar Negara Indonesia, sebagai fondasi sebuah nasion yang akan mencapai
Sosialisme Indonesia. Ketiga-keempat dan kelima, adalah instrumen-instrumen
implementatifnya, dari sejak manifesto politik (manipol) dan lima kunci
pelaksanaannya: UUD 45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, dan Kepribadian Nasional. Trisakti juga sama penekanannya:
Berdikari di bidang ekonomi, Berdaulat di bidang politik, dan Berkepribadian
nasional di bidang budaya. Dan Berdikari adalah pikiran dasar pembangunan:
berdiri di atas kaki sendiri.
Yang ketiga, di masa
pemerintahannya yang sejati, yaitu sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga
kejatuhannya di tahun 1966, maka ia terus menerus konsisten untuk berjuang
bersama kaum Komunis. Karena baginya, kaum komunis adalah yang paling
konsisten menjalankan revolusi Indonesia. Sukarno dan DN Aidit punya kesamaan
pemahaman, yaitu revolusi harus diperjuangkan untuk mewujudkan masyarakat
tanpa Kapitalisme dan Imperialisme. Bung Karno dan PKI sama-sama konsisten
anti imperialisme. Deklarasi manipol, menetapkan revolusi Indonesia memakai
teori revolusi dua tahap, sama seperti teori dua tahap PKI, yaitu tahap
revolusi nasional-demokratis dan kemudian baru tahap pengkonstruksian
sosialis. Dan hingga akhir hayatnya, Bung Karno tidak pernah mau melarang
PKI, meski itu berarti dia kehilangan kekuasaannya.
Karenanya bagi pihak
Nekolim, Bung Karno lebih berbahaya ketimbang PKI. Kenapa? Karena
sesungguhnya master-mind dari pemikiran revolusi Indonesia dan pembangunan
Sosialisme Indonesia adalah Bung Karno. Justru PKI yang kemudian mengikuti teori-teori
dan pemikiran Bung Karno. Justru PKI dan Aidit yang kemudian berkompromi
dengan Bung Karno dan menjadi tidak sesuai lagi dengan jalan komunisme
ortodoks, karena menjalankan: parlementarisme dan legalisme, mengadopsi
persatuan Indonesia lewat front nasional dan kerjasama nasakom, serta
mengadopsi jalan damai menuju Sosialisme. Karena itu peristiwa G30S 1965
pertama-tama tujuannya justru adalah penyingkiran Bung Karno, dengan terlebih
dulu memotong dan menghabisi kekuatan pendukung utamanya, yaitu PKI.
Bung Karno lebih
berhasil menerapkan Marxisme ketimbang PKI, yaitu kemampuannya merangkul
semua pihak yang sangat berbeda-beda agar semua pihak bisa bersepakat dan
bersama-sama berjuang mencapai tujuan yang ditetapkannya, yaitu Sosialisme
Indonesia. Jadi kisah atau episode Bung Karno adalah kisah perjuangan
menegakkan Sosialisme, bukan terbatas hanya pada kemerdekaan Indonesia atau
nasionalisme. Bung Karno bukanlah nasionalis saja. Kita tahu, seorang
sosialis pada dasarnya adalah juga seorang nasionalis, tidak bisa dipisahkan.
Berkali-kali, hal inilah yang ditekankan Bung Karno, “nasionalisme saya
adalah peri-kemanusiaan”. Jadi beyond nationalism, lebih tinggi dari sekedar
nasionalisme.
Jadi kalau ada yang
masih berpikiran bahwa Sukarno atau Bung Karno itu nasionalis, maka itu
salah! Partai-partai politik atau siapapun yang menganggap dirinya penerus
Bung Karno atau menjalankan perjuangan beliau, harus ingat ini: Bung Karno
itu bukan sekedar nasionalis, tapi juga seorang Sosialis dan Marxis. Apakah PDIP
atau partai-partai lain yang menyanjung dan memakai pikiran-pikiran politik
Bung Karno sudah paham ini, atau sadar mengenai hal ini? Kalau mereka
konsisten hendak mewarisi ajaran-ajaran Bung Karno, maka dengan sendirinya
mereka juga harus menjadi Marxis dan Sosialis. Atau justru kebalikannya yang
terjadi, mereka secara sengaja hanya memanfaatkan nama besar Bung Karno dan
meminjam saja slogan-slogannya untuk kepentingan kekuasaan. Pseudo Bung Karno
atau Sukarnois palsu ini yang banyak berkeliaran. Seperti kata Bung Karno
sendiri, memakai nama Bung Karno untuk membunuh Bung Karno.
Bung Karno terlalu
besar untuk ditaruh dalam kurungan nasionalis. Sukarno terlalu hebat untuk
hanya disederhanakan sebagai seorang nasionalis. Bung Karno, sebagaimana
kata-katanya sendiri, “Aku tegaskan dengan tanpa tedeng aling-aling, ya, aku
Marxis.” Inilah yang seharusnya menjadi pemaknaan ulang atau pemahaman ulang
terhadap Sukarno. Sukarnois adalah sebuah ideologi Marxis yang
di-Indonesiakan, atau meng-Indonesiakan Marxisme, dengan tujuan utama adanya
Sosialisme a’la Indonesia atau Sosialisme Indonesia untuk terwujudnya
masyarakat adil dan makmur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar