Festival Belok Kiri dan Kedegilan
Elvan De Porres ;
Mahasiswa Sekolah Tinggi
Filsafat Katolik Ledalero,
Maumere, Flores, Nusa Tenggara
Timur
|
INDOPROGRESS, 03
Maret 2016
PADA bagian awal Dunia
Sophie. Sebuah Novel Filsafat (1996), Jostein Gaarder menampilkan sosok
Sophie kecil yang penasaran akan surat-surat salah kaprah nan misterius yang
hinggap di rumahnya. Ternyata, surat-surat itu adalah ilmu sejarah filsafat
yang terelaborasikan secara naratif. Filsafat rupanya dibikin jadi semacam cerita.
Dan, semakin surat-surat (ilmu) itu berdatangan, Sophie semakin keranjingan
mempelajarinya. Gadis bernama lengkap Sophie Amundsend itu larut dalam
penasaran. Rasa ingin tahunya sungguh menggebu-gebu.
Sebagai seorang anak
kecil, rasa penasaran Sophie adalah sesuatu yang wajar. Apalagi bila objek
penasaran itu adalah suatu novam lectionem yang menggelitikkan, mencerahkan,
dan tentunya punya juntrung kecerdasan. Pada titik ini, Sophie boleh jadi
merupakan representasi generasi muda saat ini yang haus akan injeksi
pengetahuan. Pelbagai pengetahuan dan informasi baru disantapnya untuk
senantiasa berpikir terbuka dan kritis. Bertanya dan terus bertanya, mencari
dan terus mencari tahu. Di dalamnya, ada pilahan, disermen, bisa juga
kalkulasi, verifikasi, serta kesiapan diri untuk terbuka dan berpikir lagi.
Idealnya tentu seperti itu. Sebab, ihwal hidup manusia adalah berpikir.
Manusia adalah binatang yang berpikir, ujar Aristoteles.
Setiap pengetahuan
sudah barang tentu berangkat dari kebenaran faktual. Ia tidak boleh
dipropaganda dan diagitasi untuk kepentingan tertentu. Pengetahuan sebagai
anak rohani dari rasa penasaran itu dituntut untuk transparan serentak
terbuka. Di sini, transparan barangkali berbeda dengan terbuka. Transparan
berarti sesuatu yang in se membiarkan dirinya terlihat, terteropong.
Sementara terbuka lebih dalam merujuk pada ketersediaan ruang untuk dimasuki,
tak hanya sekadar terlihat, lalu diberi batasan dan landasan kritis. Sehingga
dalam aspek tertentu, pengetahuan semestinya dialektis. Apabila ada item yang
keliru dari pengetahuan itu sendiri, ia sebaiknya mendapat perbaikan dan
dirumuskan secara baru.
Dalam etalase nasion,
pengetahuan terhadap sejarah adalah salah satu substrat perwujudan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang baik dan benar, terutama bagi kaum muda. Ini
karena pengetahuan yang keblinger terhadap sejarah akan menimbulkan pemahaman
yang dangkal. Dan, karena makna term ‘pemahaman’ jauh lebih dalam daripada
‘pengetahuan’ itu sendiri, manusia muda Indonesia sepatutnya mendapatkan aras
pendidikan (sejarah) yang objektif dan lurus. Bila dangkal, itu sama saja
dengan menghancurkan peradaban manusia yang katanya punya budi dan pekerti
itu. Atau dengan kata lain, sebut saja ini sebagai pembodohan. Konyol memang
jika manusia, binatang yang berpikir itu, dikibuli dalam dogmatisme,
dikencingi oleh tipu muslihat, dan dicuci otaknya untuk hidup dalam sebuah
bangsa yang besar. Tentunya, bangsa besar yang dijalani oleh manusia dengan
kapabilitas propaganda pengetahuan bobrok tidak lebih dari kisah hinaan
seorang perompak terhadap Alexander Agung dalam tulisan Noam Chomsky yang
dikutipnya dari Agustinus Hippo. Artinya, kita menjalani biduk bangsa ini
tanpa punya refleksi terhadap diri sendiri, tanpa berpaling ke kedalaman
diri. Sebab, pentingnya kesadaran, ingatan, dan refleksi itu berfaedah pada
gerakan maju. Ada aspek wawasan yang membantu kita untuk mengambil langkah
dengan belajar dari masa lalu itu sendiri.
Baru-baru ini Festival
Belok Kiri yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang gerakan kaum
kiri di Indonesia sekaligus meluruskan propaganda rezim Orde Baru, dibatalkan
perhelatannya yang direncanakan terjadi pada Sabtu, 27 Februari 2016 di Taman
Izmail Marzuki, Jakarta. Alasannya klise. Tak jelasnya aspek prosedur perizinan
dari pihak kepolisian yang secara tak langsung telah mendapat intimidasi dari
berbagai ormas fasis dengan dalil membangkitkan komunisme gaya baru. Padahal,
kegiatan seperti itu merupakan karya dan kerja kreatif kebudayaan. Ada
pelurusan sejarah beserta wedaran cerdas tentang pergerakan kaum kiri di
Indonesia. Toh, itu adalah bagian dari pengetahuan itu sendiri. Bukannya
semakin banyak kita tahu dengan nalar kritis, semakin terbentuk pula
pemahaman akan suatu hal atau peristiwa.
Di samping itu,
Festival Belok Kiri adalah representasi dari peradaban bangsa yang mau maju
tanpa lupa dan mau berbenah dengan belajar dari peristiwa masa lalunya. Ada
hal yang hendak dikoreksi, ada paradigma pengetahuan baru yang ditawarkan
dalam konsep kegiatan itu dengan peluncuran buku tentang sejarah gerakan
kiri. Sehingga anggapan-anggapan minor seputar kegiatan semacam ini pastinya
datang dari manusia Indonesia yang tumpul intelektualitasnya. Syukur saja
kegiatan ini tetap berlangsung meskipun harus pindah lokasi.
Pada pranala ini,
terdapat sebuah pertanyaan; sampai kapan kita tetap mau hidup dalam ajaran
sejarah yang sesat? Kaum muda sepatutnya paham bahwa sebagai generasi
penerus, mengetahui sejarah bangsa secara cerdas dan bernas adalah
kepantasan. Dan bukannya hidup ikut arus mencari kenyamanan dan terlibat
dalam fundamentalisme pemikiran sempit. Generasi muda harusnya seperti Sophie
kecil yang senantiasa menggemari pengetahuan-pengetahuan baru sembari
berpikir kritis tentang realitas di sekitarnya. Sebab, mempelajari sejarah
bangsa secara holistik itu sama dengan berfilsafat itu sendiri. Menyitir Karl
Marx, hal yang terpenting dari seorang filsuf ialah mengubah dunia
sekitarnya. Termasuk mengubah sejarah yang salah.
Tentu kita boleh
berdiskusi dan berdebat jauh tentang tulisan ini. Namun, saya sepakat sama
John Steinbeck, peraih Nobel Sastra 1962, bahwasanya tugas seorang penulis
adalah meyakini apapun yang ditulisnya. Nah, sekarang di depan kita ada dua
pilihan: menjadi seperti Sophie atau tetap terkerangkeng dalam propaganda
Orde Baru (baca: Soehartophobia). Dan, bila pilih yang kedua, Anda akan tetap
hidup dalam satu kata. Kedegilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar