Bung Karno dan Bahaya Pemfosilan
Subeno alias Ben Anderson ;
Ilmuwan Politik yang tertarik pada “Studi Indonesia dan Asia Tenggara”;
Penulis buku “Imagined Communities”, “Java in a
Time of Revolution”, “The Idea of Power in Javanese Culture”, dll.;
Meninggal
pada 13 Desember 2015 di Batu, Malang, Jawa Timur.
|
INDOPROGRESS, 08
Maret 2016
TIDAK lama setelah
Bung Karno meninggal, saya terima surat dari seorang teman. Teman ini sangat
marah kepada si Pemimpin Besar Revolusi. Ia ikut aktif dalam penghancuran
terhadap Demokrasi Terpimpin, karena merasa kedua-duanya otoriter, merusak
ekonomi Indonesia, melaratkan orang kecil, dan memberi angin kepada Partai
Komunis Indonesia (PKI). Didalam surat itu dia cerita betapa dia heran,
ketika jenazah Bung Karno dibawa secara khidmat sepanjang jalan-jalan raya di
Jakarta, mendadak dia mulai nangis tersedu-sedan. Dan teman ini tidak bisa
menjelaskan mengapa air mata membasahi pipinya.Tetapi saya sendiri menduga
bahwa sebenarnya dia cinta sama Bung Karno dan sekaligus sangat kecewa dengan
kesalahan-kesalahannya.
Sekarang, setelah
lebih dari 30 tahun, sangat mungkin bahwa tidak ada orang lagi yang marah
pada Bung Karno, karena kemarahan itu sudah terberai di bawah ombak-ombak
raksasa kemarahan-kemarahan yang lebih baru dan lebih sengit. Tetapi cinta
itu tak pernah padam. Cuman kadang-kadang berobah menjadi pemujaan,
seolah-olah Bung Karno adalah semacam dewa atau raja besar, bukan seorang
manusia biasa yang juga luar biasa. Dengan demikian, sebagian dari pikirannya
yang masih segar dan tepat pada situasi ketika dicetuskan, lama-lama memfosil
menjadi “wejangan” yang dikira kebal terhadap Sang Batara Kala.
Dalam hal ini
pikiran-pikiran Bung Karno mengalami nasib yang mirip pemfosilan tertentu
terhadap pikiran-pikiran perintis Islam moderen di Indonesia, Kyai Haji
Dahlan; perintis revolusi Marxis sedunia, Vladimir Lenin; perintis
pengglobalisasian agama Nasrani, Santo Paulus; dan banyak lain. Untuk bangsa
Indonesia yang sedang dalam krisis besar seperti sekarang ini, rasanya segala
macam fosil (pikiran yang sudah membatu) justru berbahaya. Juga cinta yang
bau kemenyan.
Kalau Bung Karno
bukanlah titisan dewa, toh harus diakui bahwa lelakonnya banyak dibentuk oleh
Dewi Sejarah, yang nama jalanannya Si Andai. Seandainya Bung Karno lahir pada
tahun 1881, bukan pada tahun 1901, tak mungkin dia mendapat pendidikan HBS
yang terbaik di Hindia Belanda. Tak mungkin lulus dari ITB cetakan pertama,
dan tipis kemungkinan menjadi Presiden pada tahun 1945, karena sudah berusia
64 tahun, yang untuk orang Indonesia pada masa itu, terhitung tua banget.
Dengan lahir pada
tahun 1901, dia juga beruntung sekali menjadi ahli waris perintis-perintis
besar gerakan-gerakan pembebasan di Asia dan di Timur Tengah: José Rizal,
pahlawan dan martir nasional Filipina lahir pada tahun 1861, dan dieksekusi
penjajah Spanyol 5 tahun sebelum Bung Karno sempat melihat dunia kita. Sun
Yat-sen, tokoh besar nasionalisme Tionghoa, lahir pada tahun 1866, dan
meninggal dua tahun sebelum PNI dibentuk. Mahatma Gandhi lahir pada tahun
1869, dan sudah terkenal di seluruh dunia ketika Bung Karno masih bocah
ingusan. Malahan Kemal Pasha (Ataturk), yang lahir pada tahun 1881, menjadi
Presiden Negara Nasional Turki ketika Bung Karno masih senang-senang di
bangku HBS.
Dan dia baru empat
tahun umurnya ketika Jepang menjadi negara Asia pertama yang bisa mengalahkan
bangsa Eropa (Rusia dalam kasus ini) di medan peperangan. Bung Karno
mengagumi tokoh-tokoh ini, belajar dari perjuangannya, dan dengan demikian
merasa bahwa gerakan kemerdekaan Indonesia harus menjadi satu bagian dari
gerakan emansipasi dari seluruh dunia jajahan. Disitu tertanam suatu
kesadaran global yang belakangan berbunga dalam bentuk Konferensi Bandung dan
gagasan New Emerging Forces (Nefos).
Si Andai masih punya
peranan lain lagi yang perlu disebut. Kebetulan, revolusi Marxis pertama
meletus di St. Petersburg ketika Bung Karno masih sweet sixteen, usia mana
biasanya penuh idealisme, dinamisme, dan romantika. Dan sampai tua, Bung
Karno masih suka bicara tentang romantika revolusi, suatu bahasa yang lain
sekali dari bahasa angkatan Marxis muda bangsanya Aidit, Lukman, Nyoto, dan
Sudisman, yang menjadi dewasa ketika gerakan orang Bolshevik 1917 sudah lama
memfosil di bawah kediktaturan kejam Josef Stalin. Menjadi Marxis pada tahun
1920an belum berarti menjadi anggota aparat tertentu, tetapi hanya bersedia
diilhami uraian jitu Karl Marx dan Vladimir Lenin tentang kapitalisme and
imperialisme global, dan ikut bergerak di lapangan politik yang praktis.
Dalam hal ini, Bung
Karno sama sekali tidak sendirian. Hampir seluruh angkatannya dipengaruhi
visi Marxis dalam batas berbeda-beda. Untuk angkatan ini, sosialisme mirip
mata hari yang sedang naik megah jauh nun di ufuk Alam. Seandainya dia lahir
pada tahun 1881, mungkin sekali tidak demikian. Dan kalau di 1921, yah,
ketika dia dewasa sosialisme bukan lagi impian umum, tetapi menjelang menjadi
monopoli politik kubu-kubu tertentu.
Dan kebetulan lagi
Bung Karno lahir sebagai anak dari seorang priyayi kecil Jawa dan seorang
putri dari Pulau Dewata (yang baru saja ditaklukkan keseluruhannya oleh
imperialis Belanda). Pada masa itu, pribumi campuran macam ini cukup jarang,
apalagi di kalangan terdidik. Tokoh-tokoh lain dari angkatannya hampir
semuanya Padang tulen, Jawa totok, Sunda turun-temurun, dan sebagainya.
Mungkin hanyalah kelompok Tionghoa peranakan sudah bisa menjadi orang
campuran dengan kebudayaan campurnya.
Bisa diduga bahwa
sebagian karena pola keluarganya, Bung Karno bisa cepat melepaskan diri dari
segala sukuisme yang picik, dan memeluk gagasan nasionalisme yang luas.
Tetapi, mungkin juga, asal campurannya membuka matanya kepada perlunya
perkembangan sehat kebudayaan-kebudayaan dan swasembadanya para daerah di
kepulauan raksasa yang namanya Indonesia.
Kebetulan satu lagi
juga penting. Adalah ironis bahwa perkawinan yang melahirkan Bung Karno
sekarang ini, kalau tidak mustahil menurut Undang-Undang Perkawinan, toh
cukup angel. Jadi munculnya Bung Karno di dunia yang fana ini dimungkinkan
oleh keadaan dimana sinkretisme masih biasa di Nusantara dan belum ada
dinding angker-tebal antara kelompok-kelompok. Salah satu tanda sinkretisme
yang mendalam itu ialah bahwa pemberontakan PKI terhadap Belanda pada tahun
1926-27 terjadi di dua daerah, Sumatra Barat dan Banten, yang terkenal kuat
Islamnya.
Jadi, bukan saja
pikiran-pikiran Bung Karno berwarna sinkretis, tetapi untuk sementara warna
itu juga mencerminkan sebagian besar kebudayaan-kebudayaan pribumi. Betapa
pentingnya corak masyarakat Nusantara ketika itu untuk mungkinnya karir
politiknya Bung Karno bisa dilihat kalau dibandingkan dengan nasibnya Mahatma
Gandhi dan nasionalismenya India Raya. Boleh dikatakan, secara gampangan,
bahwa Islam masuk India Raya dengan pedangnya penyerbu-penyerbu dari
Afghanistan, dan dari abad ke-13 sampai pertengahan abad ke-19, raja-raja
penting dan kelas penguasa sebagian besar berasal dari minoritas Islam,
sedangkan mayoritas rakyatnya beragama Hindu. Tetapi imperialis Inggris
akhirnya menghapuskan dinasti Mughal yang Islam, dan berangsur-angsur
mendirikan sistem politik baru berdasarkan hak pungut suara dalam pemilihan.
Dengan sendirinya perobahan-perobahan itu menimbulkan kemarahan di kalangan
mantan-penguasa Islam yang takut akan jatuh menjadi minoritas tanpa
privilese-privilese. Dari situ timbul ketegangan-ketegangan sosial yang makin
menjadi, sehingga akhirnya India Raya terpaksa pecah menjadi dua negara yang
terpisah, India Kecil dan Pakistan, bukan tanpa pembunuhan massal antara kaum
Muslimin dan kaum Hindu. Gandhi sendiri, walaupun Hindu tulen, punya pikiran
luas dan berusaha keras untuk mencegah malapetaka ini; dengan akibat bahwa
dia sendiri dibunuh oleh seorang teroris fanatik yang menganggap tokoh besar
itu sudah mengkhianati umat Hindu.
Di Indonesia,
sebaliknya, Islam masuk berangsur-angsur dan pada umumnya secara damai
melalui para pendakwah partikelir dan pedagang maritim. Berangsur- angsur
juga kerajaan Hindu-Budha hilang atau mengubah diri menjadi Islam; dan
lembaga-lembaga resmi agama lama lenyap. Toh dalam proses yang memakai
beberapa abad ini, sinkretisme sangat menyolok. Kepercayaan-kepercayaan
animis dan Hindu-Budha tetap hidup kuat, seperti dibuktikan oleh popularitas
cerita Mahabharata dan Ramayana, bukan hanya di Jawa, Sunda, dan Madura
tetapi juga di semenanjung Melayu. Dengan demikian, tidak ada dinding agama
antara penguasa dan rakyat. Diponegoro bisa memakai simbol baik Islamiyah
maupun kejawen untuk mendirikan bolonya. Pada abad ke-19, mungkin hanyalah di
Sumatra Barat terjadi peperangan dahsyat (Perang Paderi) berdasarkan afiliasi
agama.
Dengan demikian, Bung
Karno, paling sedikit pada masa mudanya, bisa meneruskan politik
sinkretisnya, yang terbuka untuk semua unsur agama, tanpa menghadapi nasibnya
si Mahatma. Sampai Bung Karno tutup usianya, Republik Indonesia tetap utuh.
Toh lama-lama
Indonesia masa mudanya tak bisa luput dari perobahan-perobahan yang
berangsur-angsur menggerogoti sinkretisme lama itu. Dan pengotakan makin
menjadi-jadi. Misionaris, baik Muslim maupun Nasrani, berusaha untuk menghapuskan
apa saja yang dianggap takhayul sisa zaman purba yang primitif. Pendidikan
negara sekuler yang makin meluas juga makin memojoki pemandangan-pemandangan
lama. Makin melek huruf masyarakat makin terbaca tulisan-tulisan yang
menjunjung patokan standar dan internasional.
Kyai terpaksa mundur
menghadapi jurnalis dan intelektual berhaluan Islam modern yang bersih
takhayul. Orang Marxis condong mau membersihkan diri dari manusia tipenya
Haji Misbach, Semaun dan Tan Malaka, dan mengikuti garis internasional versi
Moskow atawa Peking. Dan pada jamannya Babe (baca: Soeharto) setiap orang
Indonesia harus punya agama yang berkitab (standar), dengan kepercayaan yang
sinkretis terpukul ke luar gelanggang resmi.
Bung Karno berusaha
membendung de-sinkretisasi yang mendasar ini dengan sekuat tenaganya, tetapi
tidak selalu secara bijaksana. Akibat Darul Islamnya Sekarmadji
Kartosoewirjo, Peristiwa Tjikini, macetnya Konstituante, dan juga PRRI, dia
makin curiga kepada sebagian Muslim modernis, tanpa cukup membedakan antara
yang moderat dan yang berkepala batu. Justru NU yang sinkretislah yang
disenanginya. Larangan terhadap Masyumi (sebagai keseluruhan), ternyata
beleid yang gegabah yang sia-sia dan berakibat buruk jangka panjang. Pun
terhadap PKI, dia hati-hati terhadap standardisasi. Tan Malaka, momoknya PKI
Aidit, dijadikan Pahlawan Nasional. Dan pada akhirnya terasa sekali bahwa
Bung Karno paling suka kepada Nyoto, yang dianggapnya tokoh PKI yang paling
luwes dan sinkretis. Menurut kabar angin, Bung Karno ingin supaya Nyoto (yang
ketika itu mengalami banyak masalah intra-partai) mendirikan partai marxis
(sinkretis-nasionalis) di luar PKI-standar. Tapi akhirnya semua usaha ini
gagal, dalam malapetaka 1965-66 yang mengingatkan kita pada malapetaka yang
dialami Gandhi duapuluh tahun sebelumnya.
Bagaimanapun juga
harus diingat bahwa, walaupun Bung Karno menjadi ahli waris sinkretisme lama
dan asli, dia juga seorang politikus moderen, sehingga dalam tangannya
sinkretisme mendapat bentuk baru, yang tidak sesinkretis leluhurnya. Gejala
ini sudah terlihat jelas dalam karangannya yang terkenal dan hebat:
Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Dari judulnya saja, apalagi isinya, nampak
sekali bahwa paling sedikit Islam dan Marxisme dianggap sebagai kotak, atau
mukim yang berdinding. Islam yah Islamlah tanpa variasi lokal, Marxisme yah
Marxismelah, juga tanpa variasi lokal. Sampai batas tertentu, nasionalisme
juga kena, karena baik Islam maupun Marxisme di Indonesia tak terlepas dari
gerakan-gerakan Islam dan Marxis di dunia internasional. Jadi pengkotakan ini
harus diatasi dengan sangat sadar dan berkepala dingin: sinkretisme terencana
daripada sinkretisme alamiah. Dan alat untuk mengatasinya ialah nasionalisme
yang mendalam dan meluas. Marhaenisme, saya menduga, bahwa tidaklah kebetulan
kalau bunyi-mula kata ini sama dengan bunyi-awal Marxisme disebut, yakni
sebagai Marxisme yang diterapkan kepada kondisi khas Indonesia. Ketika
ide-ide ini dicetuskan, waktunya sangat tepat: PKI berantakan akibat
pemberontakannya yang gagal, dan Sarekat Islam yang pernah raksasa sudah
sekarat, dengan diganti oleh macam-macam organisasi Islam yang lebih kecil
dan sering bersaingan.
Dalam usaha yang besar
itu, Bung Karno juga beruntung dari karunianya Si Andai.
Pada tahun 1930an,
Presiden Manuel Quezon mengeluh bahwa pada 150 kilometer ke utara ibukota
Manila, dia memerlukan penerjemah untuk bicara dengan rakyat setempat yang
berbahasa Ilokano. Pada puncak kekuasaannya, pidato-pidatonya Ketua Mao
Tse-tung di radio toh tidak dimengerti oleh mayoritas rakyat RRT, karena dia
memakai bahasa Mandarin (dialek Peking dan sekitarnya) dengan logat Hunan
yang tebal. Hal yang sama berlaku untuk Mahatma Gandhi.
Tapi di Hindia Belanda
situasi bahasa sangat lain. Pada abad ke 17 dan 18 Jan Kumpeni terlalu pelit,
dan pada abad ke-19 Negeri Belanda terlalu miskin, kecil, dan tak penting,
untuk memaksakan bahasa Belanda di Nusantara, seperti bahasa Inggris
dipaksakan ke India Raya dan bahasa Perancis kepada Senegal dan Pantai
Gading. Karena itu, dari dulu kaum penjajah memakai bahasa Melayu blasteran
sebagai bahasa administratif di seluruh daerah kekuasaannya. Dan pada akhir
abad ke-19, bahasa campur aduk ini makin dibikin standar demi keperluan
pendidikan modern untuk pribumi yang mulai didirikan. Sementara itu semacam
Melayu pasaran berkembang dengan pesat di dunia pers, dipelopori oleh kaum
Indo dan kaum Tionghoa peranakan (yang sebenarnya menjadi perintis
kesusasteraan Indonesia modern). Walaupun ada koran dan majalah yang memakai
beberapa bahasa daerah, termasuk bahasa Jawa, pada ketika Bung Karno lulus
HBS, bahasa Melayu sedang mutlak menang baik di aparat administratif maupun
di pasar bebas. Lebih bagus, dan lebih kebetulan lagi, bahasa pemenang ini
bukanlah milik suku besar apapun di Nusantara. Sehingga gampang menjadi bahasa
yang betul-betul nasional (paling sedikit kalau peranan Mbahnya si Jan
Kumpeni dilupakan). Kebetulan juga, di antara bakatnya Bung Karno, tidak ada
yang lebih khas dari bakat berpidatonya. Dengan demikian dia memakai hadiah
Dewi Sejarah dengan sekuat tenaganya untuk menyebarkan bahasa nasional ini ke
seluruh penjuru angin; dan sekaligus, dengan kata-kata yang manis,
merangsang, lucu, dan mengharukan, mengajak para pribumi untuk mengubah diri
dan kesadarannya menjadi anggota bangsa Indonesia yang baru itu. Dengan
suaranya yang merdu-berat itu, Bung Karno menunjukkan cintanya pada sesama
orang Indonesia (bukan sumber alam tanah leluhurnya) dan sekaligus mengajak
mereka untuk mencintainya sebagai pemimpin dan wakil aspirasi mereka. Karena
suara itu bisa didengar pun oleh mayoritas pribumi yang belum melek huruf,
solidaritas nasional makin menjadi luas dan kukuh. Mungkin bisa dikatakan
bahwa Bung Karno adalah pemimpin paling cocok untuk zaman radio.
Pada kedua dasawarsa
antara apa yang biasanya bule sebut sebagai Perang Dunia Pertama dan Kedua,
di Asia Selatan dan Asia Tenggara nampak sekali ada perbedaan penting antara
beleid imperialis berbahasa Inggris dan yang berbahasa Perancis dan Belanda.
Di Filipinanya Paman Sam, sistem demokrasi oligarkis dengan munculnya
pemimpin hasil pemilu terbatas mulai ada sejak tahun 1900an. Sistem ini
berkembang terus, sehingga pada tahun 1930an sudah ada presiden Indo, dan
kemerdekaan dijanjikan untuk tahun 1945.
Di India Raya, yang
sampai pertengahan tahun 1930an masih mencakupi Birma, pemilihan-pemilihan
sudah melembaga, dan unsur-unsur demokrasi sudah tertanam. Setelah Birma
dipisahkan dari India Raya (1937), tiga tokoh pribumi berganti-gantian
menjadi perdana menteri sebelum balatentara Jepang masuk. Walaupun kemerdekaan
tidak dijanjikan London, toh arus ke sana sudah terasa.
Sebaliknya di Hindia
Belanda dan Indocina Perancis, sama sekali tak ada pemilihan yang berarti,
dan kedua-duanya malahan menjadi negara intel-intelan, dimana kemungkinan
kemerdekaan kelak kemudian tidak masuk di akal sang penjajah. Dengan
demikian, kedua kawasan menjadi tanah yang subur untuk ide revolusi dan
aktivitas di luar hukum kolonial, dan juga di bawah tanah.
Seandainya politik
Belanda lain, atau seandainya orang Inggris menjajahi Nusantara, bagaimana
kira-kira karir dan ide-ide Bung Karno? Sulit dibayangkan bahwa dia tak
merasa terpaksa ikut pemilihan-pemilihan umum, menjadi anggota parlemen, dan
mungkin sekali menjadi perdana menteri, mirip U Saw di Birma. Walaupun
sementara di bawah naungannya seorang Gubernur-Jendral. Buktinya, peranannya
pada masa Jepang yang tak terlalu jauh dari peranannya Jose Laurel, Sr. di
Filipina, dan Dr. Ba Maw di Birma. Tapi Belanda yah Belanda, dan mungkin
karena itu seumur hidup Bung Karno secara pribadi tak pernah ikut langsung
pemilihan umum dengan bersaing dengan tokoh-tokoh lain di kalangan pribumi.
Penyerbuan Jepang
memusnahkan imperialisme Belanda dalam waktu hanya beberapa minggu. Tiga
setengah tahun lagi imperialis Jepang dengan mendadak menyerah tanpa syarat
akibat bom atom yang dijatuhkan di kota-kota malang Hiroshima dan Nagasaki.
Belanda, yang barusan bebas dari cengkeraman Nazi Jerman, tak mampu langsung
kembali ke takhtanya di Nusantara, sehingga meletus Revolusi Indonesia yang
historis itu. Dari situ lama-lama timbul kemungkinan Bung Karno menganggap
diri Pemimpin Besar Revolusi: — Berkat perjuangan rakyat Indonesia, tetapi
juga berkat kebetulannya kejadian-kejadian yang menggemparkan pada bulan
Maret 1942, dan awal Agustus 1945.
Yang menarik dalam
perkara ini adalah sikap dan beleid Bung Karno pada masa Revolusi itu.
Diketahui bahwa setiap kabinet antara 1945 sampai 1949 — baik yang didominasi
oleh golongan sosialis marxis maupun yang didominasi oleh golongan Islam
moderen dan PNI mengambil jalan Diplomasi dengan Belanda, walaupun beleid ini
ditentang oleh golongan yang ketika itu masuk blok oposisi. Dan Presiden Bung
Karno? Dia bekerja sama dengan hampir semua golongan dan juga terus-menerus
menyokong jalan diplomasi ini. Kalau membaca pidato-pidatonya di koran-koran
pada masa Revolusi itu, yang pada umumnya tidak dimasukkan ke Di Bawah
Bendera Revolusi, kita bisa melihat bahwa selain mengobarkan nasionalisme
Indonesia, dia berusaha untuk menenangkan pergolakan massa tukang-tukang
permogokan, kelompok-kelompok pro revolusi sosial, badan-badan perjuangan
yang berkepala batu dan lainnya. Malahan pada Peristiwa Madiun, dia mengutuk
PKI baru bikinan Muso, yang jauh lebih kiri dari golongan-golongan kirinya
Amir Sjarifuddin, Setiadjit, Maruto Darusman, cs sebelumnya, dan
sepenuh-penuhnya menyokong beleid kabinet Hatta dan Nasution untuk
menumpasnya.
Setelah penyerahan
kedaulatan pada akhir tahun 1949, sepengetahuan saya, dia tak pernah
mengucapkan penyesalan atas eksekusi perdana menteri R.I. yang kedua dan
kawan-kawannya. Begitulah, padahal Bung Karno terkenal sebagai orang yang
tidak suka pembunuhan dan kekerasan-kekerasan lain.
Dalam tingkah lakunya
Bung Karno selama Revolusi seperti digambarkan di atas, nampak sekali
persetujuannya dengan sikap umum tokoh-tokoh nasionalis moderat. Mereka yakin
bahwa TNI tidak bisa mengalahkan tentara Belanda di medan peperangan. Dan
kalau ini berlaku untuk Jawa dan Sumatera, lebih lagi berlaku untuk Indonesia
Timur. Jadi Indonesia baru akan mencapai kemerdekaan dengan diplomasi
(tentunya dengan TNI dan badan-badan perjuangan sebagai kartu kuat dalam
diplomasi itu). Mereka juga ingin supaya Indonesia Merdeka menjadi ahli waris
sepenuhnya dari Hindia Belanda, dari Sabang sampai ke Merauke, bukan hanya
Jawa-Sumatera-Bali saja.
Dan Indonesia Timur?
Perlu diingat bahwa sedikit sekalilah tokoh-tokoh nasional yang kenal daerah
yang sangat luas ini dengan dekat. Bung Karno sendiri pernah dibuang ke
Flores, tetapi belum pernah ke Kalimantan, Timor, Sulawesi, Maluku, dan Lombok.
Hatta dan Syahrir ditahan di Banda dan Tanah Tinggi, tetapi selain itu
kekuperan mereka sama dengan kekuperan Bung Karno. Mereka tidak tahu sampai
kemana nasionalisme Indonesia berkobar di Indonesia Timur, kecuali di
Sulawesi Selatan dimana orang-orang Bugis dan Makasar melawan pendudukan
Belanda dengan senjata dan banyak mengalami korban di tangan Westerling. Nah,
kalau Belanda tak mungkin diusir dari Indonesia Timur, dan Indonesia Timur
harus masuk Republik Indonesia Merdeka, tak ada jalan lain kecuali jalan
perundingan. Sikap ini menunjukkan realismenya Bung Karno, disamping retorika
yang romantis itu. (Salah satu sebab mengapa setelah 1950 isu Irian
Barat/Papua Barat begitu penting di mata dia, ialah karena merasa beleid
diplomasi itu akhirnya sebagian gagal, akibat akal-akalan Belanda dan grup
tertentu di Washington.).
Perhitungan Bung Karno
dan tokoh-tokoh nasional lain juga berdasarkan fakta bahwa setelah Perang
Dunia ke-II, Amerika Serikat nongol sebagai negara yang paling kuat dan kaya
di atas bumi manusia. Sampai kemenangan Ketua Mao pada tahun 1949, tak ada
kekuatan apa-apa di Asia yang secara serius bisa bertandingan dengannya.
Apalagi untuk negara berkepulauan seperti Indonesia, angkatan laut dan
angkatan udara Amerika sama sekali dominan. Uni Soviet jauh lebih lemah dan
letaknya sangat jauh. Jadi sokongan Washingtonlah yang harus dicari bukan
permusuhannya. Mungkin sekali bahwa perhitungan ini menjadi salah satu faktor
kunci yang membuat Bung Karno menjadi penyokong beleid menghancurkan PKInya
Muso, yang seolah-olah nongol dengan mendadak di Indonesia sebagai utusan
Moskow.
Menarik, dalam perkara
ini, untuk membandingkan Bung Karno dengan seorang tokoh nasionalis besar
lain di Asia Tenggara, yang memproklamirkan kemerdekaan bangsanya hampir pada
waktu yang sama dengan Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56: Ho Chi Minh.
Sebagai seorang revolusioner kawakan dan serius, selain patriot, Paman Ho
mencoba menjalankan sekaligus perang kemerdekaan dan satu revolusi dalam
negeri.
Karena tahu bahwa yang
kedua akan dibenci oleh Amerika, dia akhirnya berafiliasi dengan Uni Sovyet
dan RRT. Revolusi itu toh jalan, tetapi bangsa dan negaranya pecah menjadi
dua, dan baru bisa bersatu lagi 31 tahun belakangan, setelah dia sendiri
sudah wafat, dan setelah pengorbanan orang-orang Vietnam yang mahabesar, dan
sekaligus mengerikan dan mengagumkan.
Pada tahun 1950-51,
Bung Karno sudah berumur 50 tahun. Mungkin masa itu adalah puncak sebenarnya
dari karir politiknya. Dia dihormati dan dicintai sebagai pemimpin yang
bijaksana dan terbuka, dan sebagai seorang pejuang untuk bangsanya sejak masa
mudanya. Tujuh tahun setelah itu dia nyaris dibunuh secara mengerikan dalam
Peristiwa Tjikini, oleh segerombolan kecil bangsanya sendiri. Menyusullah
banyak usaha lain untuk membunuhnya, dan akhirnya dia didongkel dari
jabatannya dan kekuasaannya oleh segerombolan lain bangsa dhewe. Nampaknya
pada akhir tahun 1950an, dia mulai juga dibenci. Apa pasalnya?
Memang, manusia
seolah-olah ditakdirkan akan kekurangan ide baru dan kesegaran/keluwesan
pikiran dalam proses menua. Bung Karno tak terkecuali. Dalam 19 tahun
terakhir kekuasaannya, dia banyak mencipta semboyan baru dan gagasan baru,
tetapi hampir semuanya bisa dikatakan reformulasi dari pikiran-pikiran masa
mudanya. Kutipan-kutipan dari karangan tokoh-tokoh politik dan intelektual
internasional masih menghias pidatonya, tetapi kutipan ini bisa dibaca juga
dalam pidato-pidato dan karangan-karangannya dari masa 20 tahun sebelumnya.
Bung Karno rupanya tak ada waktu lagi (dan mungkin tak ada interest) untuk baca lagi. Dan apakah
dia pernah baca buku-buku Pramoedya Ananta Toer atau puisinya Chairil Anwar?
Sementara dunia dan pikiran manusia selalu berobah terus.
Bisa diduga bahwa
lama-lama dia juga ditelan oleh jabatannya. Dalam album historis yang
berjudul Lukisan Revolusi, terdapat banyak foto Bung Karno yang memilukan.
Setelannya selalu neces tetapi sederhana, dan tidak jauh dari pakaian
menteri-menterinya (walaupun mereka juga kadang-kadang masih memakai celana
pendek). Ketika itu dia benar-benar pemimpin revolusi kemerdekaan. Foto-foto
ini jauh berbeda dari figur publik Bung Karno pada masa Demokrasi Terpimpin.
Di era itu, ia biasanya nampak dalam setelan perlente setengah berbau
jendral, dengan selusin medali di atas dadanya, dan kacamata hitam yang besar
pada mukanya, pun pada senja hari. Sehingga menjadi sasaran mudah untuk
karikaturis-karikaturis jahil di luar negeri yang menyamaratakannya dengan
jendral-jenderal reaksioner pimpinan kup di Amerika Latin. Mirip juga
Marsekal Tito, dan jauh sekali dari Paman Ho. Ketika itu dia sudah menjadi
Pemimpin Besar Revolusi.
Menjadi Presiden —
jabatan yang tanpa preseden dalam sejarah Indonesia, apalagi tradisi kuat
mengenai kewenangannya. Bung Karno sendiri tak ada pengalaman yang betul-betul
mempersiapkannya. Sama sekali tidak ada pengalaman administratif. Tak pernah
berpengalaman sebagai anggota badan legislatif. Dan bersentuhan dengan
kehidupan anggota organisasi politik, seperti partai, serikat buruh, badan
perjuangan, dan lain-lainnya cuman sepintas lalu. Mungkin juga dia tidak
punya bakat atau perhatian untuk aktivitas-aktivitas semacam ini, yang pada
umumnya di dunia modern menjadi latar belakang dan pengalaman seorang
Presiden. Karena ini semua, jabatan Presiden di Indonesia pada semulanya
tidak punya fungsi dan batas yang jelas dan yang diterima semua orang
warganegara.
Apalagi karena
jeleknya Undang-undang Dasar 1945 yang dibikin secara bergegas-gegas di bawah
pengawasan kediktaturan militer Jepang, dan dalam beberapa aspek dipengaruhi
oleh konstitusi Tiongkok masa Sun Yat-sen/Tjiang Kai-sjek. Ini semuanya
membuka kesempatan untuk satu sinkretisme yang lama-lama berbahaya. Fungsi
kepala negara – setaraf dengan Ratu Elisabeth dicampuradukkan secara
gampangan dengan fungsi pemimpin atau tokoh nasional setaraf dengan Winston
Churchill atau Mahathir bin Muhammad. Dengan demikian, kewibawaan sering
dikacaukan dengan kekuasaan, dan lama-lama yang kedua melebihi yang pertama.
Apa yang tidak boleh untuk Kepala Negara boleh saja untuk Bapak Bangsa.
Dan pada bagian
terakhir dari masa jabatannya terasa juga bahwa pengaruh samar-samar dari
tradisi kerajaan-kerajaan Jawa membesar. Bukan hanya dengan makin bertambah
upacara-upacara negara yang megah-megahan. Seorang raja adalah manusia unik
sebagai penerima wahyu dari Tuhan/Dewa. Sama sekali bukan primus inter pares. Dan kalau wahyu
tetap bersamanya, si raja dengan sendirinya akan menjadi raja seumur hidup.
Pada zaman revolusi, Bung Karno masih disayangi sebagai primus inter pares.
Tetapi lama-lama kebanyakan kawan seperjuangan dan seangkatan disisihkannya
atau menyisihkan diri. Dan, malangnya, pada akhirnya dia sampai bersedia
diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup 100 persen di luar UUD 1945. Dengan
demikian mungkin lonceng masa jayanya sudah berbunyi, karena seorang presiden
seumur hidup tidak bisa diganti kecuali oleh Malaikat Jibril atau kekerasan
manusia.
Dua kejadian kecil
tetapi menarik menunjukkan keruwetan yang bisa timbul kalau Kepala Negara,
Pemimpin Bangsa, dan Maharaja saling melebur. Pertama: Karena merasa diri
sebagai bagian dari arus emansipasi manusia, tokoh-tokoh pergerakan
angkatannya Bung Karno pada umumnya menjunjung tinggi (paling sedikit di
depan umum) prinsip monogami, sebagai komitmen untuk meningkatkan martabat dan
hak-hak kaum wanita sebangsa. Prinsip ini juga berlaku untuk sebagian besar
politisi Muslim. Rasanya kalau seorang aktivis tahun 1930an mendengar ramalan
bahwa kemudian hari Bung Karno akan beristeri empat, dia tidak akan percaya,
malahan akan merasa tersinggung. Sebagai Presiden, Bung Karno meninggalkan
norma lama ini, dan menjadi tokoh penting pertama yang berbuat begitu. Memang
beristeri empat boleh menurut tradisi Islam, tetapi Bung Karno bukan seorang
santri, dan di masyarakat umum, perkawinan-perkawinan ini diterapkan kepada
tradisi poligami tanpa batas pada raja-raja. Ada yang mengutuk, ada yang
senyum, ada juga yang masa bodo.
Kedua, dan ini
pengalaman saya sendiri, pada tahun 1963, karena berbagai faktor termasuk
panen yang gagal, kelaparan menjalar sebuas-buasnya di Jawa Tengah. Saya
sendiri sering lihat orang mati atau setengah mati geleparan di trotoar
jalan-jalan kota. Kepada bencana ini, Bung Karno menjawab dalam salah satu
pidatonya, dengan mengajak orang-orang untuk makan tikus sawah — enak koq dan
banyak zat baiknya. Ajakan ini diterima dengan sinis: tidak ada yang yakin
bahwa tikus sawah sering masuk menu makanan di Istana Negara. Ketika itu,
saya teringat pada ucapan Ratu Marie Antoinette di Perancis, sebentar sebelum
Revolusi Perancis meletus. Ketika ada laporan bahwa rakyat sangat menderita
karena harga roti melejit tinggi di atas kemampuan finansialnya, Sang Ratu
menjawab dengan keluguan khas putri pingit bangsawan: Lho, kalau begitu
kenapa mereka tidak makan kue lapis saja? Terasa Bung Karno sudah jauh dari
kehidupan sehari-hari rakyat jelata.
Dan nasionalismenya
Bung Karno? Rasanya tidak ada seorangpun yang akan menyangkal bahwa
nasionalismenya Bung Karno mendalam, kuat, dan berapi-api. Tetapi
nasionalismepun tidak luput dari Batara Kala dan keadaan yang berobah tanpa
berhenti. Pada masa mudanya Bung Karno, sebagian besar manusia di Nusantara
masih hidup dalam permukiman desa/kampung tradisional. Sebagian yang sama
besarnya masih buta huruf, dan dibesarkan oleh kebudayaan lisan yang lokal.
Jarang seorang Kalimantan Timur akan punya teman seorang Aceh, apalagi kawin
dengan saudaranya. Jadi tujuan utama dakwahan nasionalis pada masa itu adalah
untuk menyadarkan orang, dari Sabang sampai ke Merauke, bahwa mereka adalah
orang Indonesia.Tanpa kesadaran itu, dan pergerakan nasional yang timbul
karenanya, penjajahan Belanda tidak bisa dihantam sampai habis. Puluhan
pemberontakan lokal selama periode 1825-1910 semua dihancurkan oleh kekuatan
bersenjata Belanda (dimana cukup banyak orang pribumi punya andil). Tanpa
kesadaran itu, birokrasi kolonial (yang personilnya pada tahun 1930an 90
persen pribumi) akan tetap patuh-utuh. Bung Karno mengerti masalah itu, dan
berjuang sekuat tenaganya untuk menyebarkan kasadaran nasional, yang
landasannya adalah persatuan bangsa. Orang-orang sadar akan bisa mengatasi
semua prasangka dan kepicikan yang diwariskan kepadanya.
Orang Batak yah
Indonesia, orang Hindu Bali yah Indonesia, orang Kaharingan yah Indonesia,
orang Tionghoa yah Indonesia, dan orang Jawa pun harus sama. Perlu
diperhatikan bahwa nasionalisme ini berupa suatu komitmen dalam tindakan,
bukan cuman identitas baru. Umpamanya, justeru karena Batak Protestan dan
Padang Islam jauh berbeda dan secara tradisional malahan kadang-kadang
bermusuhan, sekarang harus ada komitmen oleh seorang nasionalis Padang untuk
memperlakukan orang Batak Protestan sama dengan sesama Padang. Dan, tentu,
sebaliknya.
Perjuangan Bung Karno
dan angkatannya berhasil secara gemilang. Budi Utomo yang terlalu berbau Jawa
lama-lama habis. Jong Java, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond (yang sebenarnya
bisa dijulukkan Jong Minangkabau) hilang atau meleburkan diri dalam Indonesia
Muda. Organisasi politik yang bersifat suku tak pernah hidup subur di bawah
pengawasan Bendera Merah-Putih-Biru.
Tetapi bagaimana
setelah Indonesia menjadi anggota PBB, dan imperialisme Belanda sudah kapok?
Dengan habisnya beban dan ancaman Belanda ini, orang Indonesia bisa membuat
aturan rumah tangga sendiri dan saling menghadapi pada setiap tingkat
masyarakat. Dengan meminjam dari kata-kata Bung Hatta, di samping persatuan
juga ada persatean. Tentu saja masalah ini tak luput dari perhatian Bung
Karno, apalagi karena negara baru ini langsung mengalami beberapa
pemberontakan di daerah yang hampir semuanya dipimpin oleh orang-orang yang
dulu ikut pergerakan nasional atau Revolusi.
Yang menarik adalah
cara-cara yang dipakai Bung Karno untuk mengatasi problem pasca-kemerdekaan
ini, yang menurut hemat saya, lebih berlandaskan pengalaman lama dan
interpretasinya terhadap peranan-ganda diri sendiri, daripada refleksi yang
mendalam terhadap situasi baru. Cara-cara ini bisa secara gampangan dibagi
tiga.
Yang pertama adalah
menekankan perlunya nasionalisme persatuan bangsa gaya lama untuk menghadapi
bahaya dari luar: Belanda, Inggris, Amerika dan, dalam taraf lebih kecil,
Malaysia. Bahwa bahaya macam ini, dalam batas tertentu, dan dalam kasus-kasus
tertentu memang ada, tak tersangkal. Tetapi kalau DI dan RMS dikatakan cuman
boneka Belanda, dan PRRI-Permesta cuman bonekanya Inggris dan Amerika, itu
berarti menutup mata terhadap ketidakpuasan-ketidakpuasan kongkrit
kelompok-kelompok besar dari bangsa Indonesia terhadap beleid pemerintahnya.
Ikut pemberontakan bersenjata bukan suatu keputusan yang enteng, karena
tentunya penuh risiko yang berat. Dan kalau pemberontak-pemberontak tertentu
memang menerima senjata dan latihan dari orang asing, hal yang sama berlaku
untuk pusat. Ribuan perwira angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara,
dan polisi dilatih di luar negeri,
Dan persenjataan dan
alat-alat perang hampir semuanya didatangkan dari AS, US, dan lainnya.
Terlalu cepat mengecap lawan politik sebagai pengkhianat atau boneka bukan
hanya membuat penyelesaian yang baik lebih sulit, tetapi juga, sebenarnya,
mengurangi meluasnya nasionalisme. Tidak lagi semua orang Indonesia menjadi
orang Indonesia. Persatean, memang.
Yang kedua dan ketiga
sebenarnya bertalian secara semu. Pada tahun 1950an, paling sedikit sebelum
Peristiwa Tjikini, Bung Karno rajin mengunjungi daerah-daerah yang sebelum
itu belum dilihatnya dengan mata sendiri. Jadi langsung merasakan majemuknya
dia punya bangsa. Lagipula dia tahu betul bahwa di negaranya tidak ada
mayoritas apapun, dari sudut suku, ideologi, ibu-bahasa, ataupun komitmen
agama. (Hasil pemilu 1955 membuktikan realitas itu). Timbullah masalah
konkrit yang ruwet: Bhinneka dicocokkan dengan Eka bagaimana, tanpa merusak
kedua-duanya?
Logika realistis dan
perkembangan-perkembangan di negara-negara lain yang besar dan sangat majemuk
seharusnya meyakinkan Bung Karno bahwa sebaiknya Indonesia Merdeka menjadi
negara federal. Amerika Serikat dari tanggal kelahirannya, Brasil setelah
penghapusan monarki pada akhir abad ke-19, Nigeria setelah horor perang
Biafra, Jerman pada masa demokrasi Weimar dan setelah hancur di Perang Dunia
ke-II, India Kecil (yang masih raksasa) setelah merdeka, Yugoslavia pada masa
kuasanya si Marsekal yang gendut dan lihai itu. Seandainya Bung Karno hidup
sampai masa kini, dia akan lihat Spanyol menjadi negara federal, Rusia juga
sampai batas tertentu. Sri Lanka mengarah ke situ, malahan Perancis yang
tradisi sentralismenya kuat sekali terpaksa membuka jalan untuk otonominya
pulau Korsika. Hanya di RRT gagasan federal ditolak mutlak, dengan masalah di
Tibet, Sinjiang, dan Taiwan yang sulit diselesaikan dengan baik.
Bentuknya federalisme
ada macam-macam. Komponen-komponennya bisa disadarkan atas dasar tradisi
administratif melulu tanpa menghiraukan masalah suku dan agama. Pola ini
diwakili dengan baik oleh Amerika Serikat. Dalam hal ini Arizona pada
prinsipnya mirip Nusa Tenggara Barat, dan Texas Sumatera Timur. Bisa juga di
atas konsentrasi permukiman-permukiman suku, bahasa dan agama seperti di
Nigeria (mirip Sumatra Barat dan Bali). Bisa juga, seperti di India Kecil
suatu kombinasi antara kedua prinsipnya.
Bagusnya sistem
federal ialah bahwa konflik-konflik dalam negeri, yang kadang-kadang sangat
sengit, tidak dipaksa selesai, pada tingkat pusat/nasional dengan kemenangan
mutlak salah satu blok. Sistem federal dus membantu meredakan ketegangan-ketegangan,
kecemasan-kecemasan, dan suasana pejah gesang. India, yang sejak Partition
yang berlumuran darah itu di 1947-48, cukup stabil, tak pernah mengalami kup
atau pemberontakan yang sangat serius. Bertahun-tahun orang Komunis
memerintah negara bagian Kerala dan Bengal; orang-orang setengah fasis lama
dominan di Bombay; setiap sukubangsa yang besar punya negara bagian sendiri
dengan otonomi yang berarti untuk mengurus rumah tangga sendiri. Sistem ini
menjadi berakar di bawah pimpinan berkaliber internasional Jawaharlal Nehru,
yang juga aktif memimpin Partai Kongres yang besar dan mencakupi banyak
kepentingan. Birokrasi nasional yang kuat, warisan imperialisme Inggris, juga
menjadi faktor kestabilan.
Dan Bung Karno? Dia
menolak segala macam federalisme dan aktif ikut menghancurkan Negara
Indonesia Serikat yang didirikan setelah Konperensi Meja Bundar. Tentunya
tidak tanpa alasan (jangka pendek). Selama periode 1946-49, Belanda
mendirikan banyak negera-negara federal (yang sering diketuai oleh pemimpin
feodal setempat, atau orang yang kolaborator) untuk mengimbangi Republik
Yogya, dan, kalau bisa, menghancurkannya. Karena itu, kata federalisme
bernuansa jelek di kuping banyak orang Indonesia, dan sebagian besar pemimpin
nasional alergi terhadapnya. Sayang sebenarnya.
Seperti dikatakan di
atas, sebagian besar pemberontakan pasca-1950 dipimpin oleh tokoh-tokoh yang
dulu ikut pergerakan nasional dan Revolusi. Diantaranya hanya Republik Maluku
Selatanlah yang bersifat separatis. Seandainya suatu sistem federal yang
masuk akal sehat diterapkan secara sungguh-sungguh, mungkin sekali kebanyakan
pemberontakan ini tak perlu jadi. Bukan itu saja, kita bisa membayangkan PKI
memerintah di negara bagian Jawa Tengah, Masyumi di Sumatera Barat, Parkindo
di Tapanuli Utara, NU di Jawa Timur, Partai Katolik di Flores, PNI di Bali,
dan Partai Aceh di Aceh – dengan kesempatan untuk belajar bertanggungjawab
dan juga menunjukkan ke negara bagian lain di Indonesia kira-kira bagaimana
masyarakat akan maju di bawah naungannya. Tapi supaya sistem federal macam
ini berhasil, harus ada pungutan suara yang bebas setiap tiga atau empat
tahun; dan otonomi negara bagian harus dijamin sepenuhnya di Undang-Undang
Dasar. Juga supaya Si Eka sama kuat dengan Si Bhinneka, — sebaiknya diusahakan
pembentukan partai besar dan majemuk (a la Partai Konggres) yang langsung
dipimpin sehari-hari oleh si Bapa Bangsa.
Seandainya Bung Karno
bersedia memimpin PNI secara langsung dan turba berpartisipasi dalam
pemilihan umum 1955, bisa diduga dia akan menarik mayoritas suara. (Putrinya
saja bisa mendapat sepertiga koq). Tetapi Bung Karno memutuskan lain.
Walaupun dibelakang layar dia menyokong dan memakai PNI pada tahun 1950an,
dia tidak mau terikat ketat oleh organisasi atau lembaga apapun juga. Dia ingin
menjadi pemimpin besar seluruh rakyat Indonesia bukan hanya mayoritasnya.
Padahal ini satu impian saja. Dan Dewi Sejarah cukup membuktikannya pada
kemudian hari. Dari sudut tertentu boleh dikatakan bahwa dengan demikian Bung
Karno mengelak sebagian tanggung-jawab seorang pemimpin besar.
Tetapi dan ini cara
ketiga – di lain pihak Bung Karno berusaha dengan caranya sendiri supaya
beberapa fungsi federalisme berjalan, khususnya dalam hal keamanan
minoritas-minoritas yang relatif kecil. Tanpa prasangka rasial, dia mencoba
memberi tempat yang sewajarnya kepada orang-orang Tionghoa dalam
lembaga-lembaga politik sampai tingkat menteri; dia merestui dan membela
Baperki yang ingin supaya orang Tionghoa diterima sebagai sukubangsa biasa di
antara sekian sukubangsa di Indonesia. Minoritas Hindu-Bali, Protestan,
Katolik dan Kepercayaan juga dilindungi dan dikasih angin. Tetapi justeru itu
masalahnya: Mereka harus dilindungi, tidak punya hak langgeng sendiri. Mereka
harus bergantung kepada Yang Paduka Mulia. Artinya dilindungi bukan oleh
hukum atau UUD, tetapi oleh pribadinya Bung Karno yang bagaimanapun pada
suatu hari akan dipanggil oleh Penciptanya. Lantas akan dilindungi apa dan
siapa selanjutnya?
Mengapa begitu? Tentu
saja banyak faktor main peranan termasuk alergi terhadap federalisme akibat
beleid Belanda, dan pengaburan fungsi-fungsi kepala negara-pemimpin
besar-maharaja. Tapi mungkin yang paling dasar ialah bahwa dia telah menjadi
korban dari masa lalunya yang gemilang itu. Setelah merdeka Indonesia memerlukan
kepemimpinan baru dan nasionalisme gaya baru. Mungkin justru suksesnya pada
zaman lalu menjadikan Bung Karno melupakan hal itu.
Pola yang sama bisa
dilihat dari sikapnya Bung Karno terhadap revolusi. Dalam kondisi penjajahan
Belanda, dan dengan konsep-konsep Lenin yang dipegangnya yaitu bahwa
negara-negara jajahan justru menjadi anak rantai yang lemah dalam sistem
imperialisme global, konsep revolusi bisa diartikan sebagai: rakyat bersatu
untuk menghancurkan penjajahan Belanda dalam kerangka emansipasi bangsa
Asia-Afrika malahan dunia seluruhnya. Yang disebut Revolusi Indonesia ada
keberhasilan besar dalam kerangka ini. Karena itu, pada tahun 1950 Bung Hatta
mengatakan bahwa revolusi [nasional] sudah selesai. Tetapi Bung Karno tidak
demikian. Dia sangat bangga atas Revolusi Indonesia dan tak ingin revolusi
masuk kotak sejarah di Indonesia.
Lantas apa? Warisan
Lenin dari masa kecilnya mendorongnya untuk bergerak menyumbang kepada
pergerakan emansipasi di seluruh dunia. Tapi tanpa pedoman yang kukuh dan konsisten.
Untuk suatu waktu dia menjadi tokoh terkenal dari grup netral-bebas di antara
blok Amerika dan blok US-RRT. Dus di tengah negara-negara kontrarevolusioner
dan revolusioner. Kawannya memang pada zaman penjajahan menjadi orang berani.
Tetapi selanjutnya? Nasser dan Nkrumah membikin kediktaturan berkultus
individu yang gila-gilaan, menteror lawannya dan akhirnya masing-masing mati
putus asa dan jatuh untuk selamanya. U Nu juga bikin kultus individu,
memporandakan ekonomi dan sistem politik di Birma dan akhirnya digulingkan
tentara. Kegagalan Marsekal Tito sudah bisa diduga sebelum dia wafat, padahal
dia satu-satunya tokoh yang pernah revolusioner dalam arti sepenuhnya.
Setelah itu Bung Karno
mengeluarkan konsep Nefos melawan Oldefos dan poros Pyong Yang-Peking-Hanoi-Pnomh
Penh-Jakarta. Yang pertama menjadi cucu Lenin, tetapi karena dunia sudah
lain, tak banyak digubris. Yang kedua tak ada hubungan dengan Lenin dan
menunjukkan bahwa dunia global masa muda Bung Karno sudah menciut ke batas
Asia Timur dan Tenggara. Juga tanpa hasil yang nyata: Asia Timur Raya tanpa
Jepang? Merasa sudah menjadi seorang tokoh internasional (benar), Bung Karno
meyakinkan diri bahwa Indonesia bisa menjadi pemain revolusioner pada tingkat
internasional juga (salah). Menghadapi raksasa Jepang, RRT, Eropa, Amerika,
dan Uni Soviet — daripada Belanda yang cilik itu ternyata bangsa Indonesia
yang miskin dan Negara Indonesia yang kekuatan bersenjatanya bergantungan
kepada negara-negara asing tidak bisa banyak berkutik. Sementara itu, Jose
Ramos Horta dan kawan-kawannya di Timor Timur, yang menaruh banyak harapan
atas bantuan Bung Karno untuk mendirikan negara merdeka lepas dari
cengkeraman kedikaturan setengah fasis Antonio Salazar tak diperhatikan.
Revolusi dalam negeri?
Untuk Bung Karno ide ini pada dasarnya rada sulit. Revolusi macam itu tak
pernah terjadi tanpa pertumpahan darah antara sesama bangsa, karena berarti
dijatuhkan kelas penguasa oleh orang bawah, dan usaha-usaha kearah itu akan
selalu menghadapi perlawanan sengit. Revolusi Besar Inggris pada abad ke17,
Revolusi Besar Perancis pada abad ke-18, Revolusi Besar di Rusia Lama dan di
Tiongkok pada abad ke-20: korban-korban di kedua belah pihak sulit terhitung
jumlahnya. Perang saudara macam ini, rasanya, justru bertentangan dengan
nasionalisme sinkretis Bung Karno, apalagi keperi-kemanusiaannya.
Tidak bisa dikatakan
bahwa Bung Karno tidak berbuat apa-apa untuk merombak struktur sosial-ekonomi
masyarakat. Tetapi pada umumnya usaha ini gagal, diantaranya karena kurang
bijaksananya presiden sendiri, dan akhirnya justru menjadi bumerang.
Menasionalisasikan semua perusahaan Belanda pada akhir tahun 1957, ketika
Indonesia sudah berada di bawah SOB, selain dilaksanakan dengan gegabah dan
tanpa perencanaan yang memadai, berakibat bahwa sektor ekonomi yang paling
maju mau tidak mau jatuh ke tangan angkatan darat. Kemudian sarekat-sarekat
buruh di sektor ini dilumpuhkan oleh majikan-majikan baru;
perusahaan-perusahaan nasional biasanya salah urus sehingga produktivitasnya
jatuh seperti batu yang dilemparkan ke dalam air, belum terhitung penjarahan
diam-diam terhadap aset-asetnya oleh banyak perwira yang tidak beres. Bencana
ekonomi Indonesia tahun 1960an, sebenarnya mulai pada Desember 1957. Tapi
seandainya program nasionalisasi dikerjakan berangsur-angsur dan terencana
pada jaman demokrasi liberal, apakah efeknya akan begituan?
Undang-undang Agraria
dan Bagi Hasil cetakan tahun 1960-61 punya target yang baik: menghapuskan
tuan-tuan tanah, membagi-bagi tanah lebih kepada buruh tani, dan memaksakan
pembagian hasil panen yang fair antara pemilik dan penyewa tanah. Tetapi
tanah-tanah lungguh, sisa zaman feodal, yang sangat luas dikecualikan; juga
tanah-tanah milik lembaga agama. Cukup banyak orang yang punya tanah lebih
memindahkannya ke lembaga waqaf ini (sering mereka sendiri menjadi anggota
pengurusnya), dan di tengah krisis agraria yang berat sekali, identifikasi
tanah luas dengan lembaga agama (baik Islam maupun Kristen dan Hindu-Bali)
menjadi-jadi secara berbahaya. Waktu penetapan undang-undang ini juga kurang
diperhatikan.
Ketika itu inflasi
melejit di luar kontrol pemerintah, dan harga uang rupiah menurun dari minggu
ke minggu; orang-orang tak percaya lagi kepadanya dan melarikan diri ke
barang, diantaranya tanah. Gejala ini sangat menonjol di kalangan atas
birokrasi, khsusnya di Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria, Kejaksaan,
Polisi, dan Tentara. Pada akhirnya timbul kampanye aksi sepihak PKI yang
gagal, dan suasana tegang yang mencekam di dunia perdesaan. Pembantaian
massal tahun 1965-66, dimana puluhan ribu orang sipil ikut menjadi algojo
tidak bisa dijelaskan tanpa memikirkan akibat sosial, ekonomi, dan psikologis
dari suatu reforma agraria yang dilaksanakan dalam keadaan dimana inflasi tak
terkontrol lagi, dan SOB masih berlaku. Tetapi seandainya dicoba pada zaman
parlementer yang relatif stabil, bagaimana?
Perlu juga
digarisbawahi bahwa berkumandangnya retorika revolusioner yang berkobar-kobar
tanpa beleid yang praktis, kongkrit dan berpandangan jauh untuk
melaksanakannya, mirip tancap gas tanpa masuk persneling. Mesinnya jadi
panas, mobil tidak jalan. Pada masa akhir Demokrasi Terpimpin, suasana makin
panas di Indonesia, tetapi roda sedan merk Kemajuan apalagi merk Revolusi
justru macet. Dan kontras yang menyolok ini berangsur-angsur menggerogoti
kewibawaan Bung Karno. Untuk golongan yang prorevolusi timbul banyak
frustrasi, dan di kalangan yang anti, momok revolusi itu makin menimbulkan
kecemasan dan kemarahan. Apakah Bung Karno betul-betul mengerti situasi yang
demikian? Pertanyaan yang sulit dijawab. Sulit juga untuk menghindari
kesimpulan bahwa kalau Bung Karno menjadi seorang pemimpin besar pada masa
Revolusi Kemerdekaan yang meletus dari bawah secara spontan di luar
perhitungan elite Pergerakan, dia tidak bisa dikatakan seorang Pemimpan Besar
Revolusi.
Dalam uraian yang
kelewat panjang ini, diusahakan untuk mencoba mengerti Bung Karno sebagai
makhluk masanya, sesuatu masa yang sudah lama lewat. Bukan untuk
memuji-mujinya ataupun untuk memaki-makinya. Bapak Bangsa Indonesia sekarang
kebal terhadap pujian dan makian manusia. Dia dibentuk oleh kelahirannya, pendidikannya,
sejarah Hindia Belanda, dan sejarah dunia modern. Juga oleh
pengalaman-pengalamannya di masa mudanya, baik yang menggembirakan maupun
yang menyakitkan. Tetapi semua faktor-faktor ini pada akhirnya tidak bisa
menjelaskan mengapa si lulusan HBS dan ITB kolonial memutuskan menjadi
pejuang bangsa (pada ketika negara kolonial Belanda begitu kuat dan
seolah-olah langgeng) daripada jadi seorang arsitek profesional yang tenang
dan berada.
Setelah horor-horornya
Orde Babibuta, mungkin terlalu
mudah dikatakan bahwa bagaimanapun juga Bung Karno tak pernah disiksa,
isterinya tak diperkosa, dan anak-anaknya tak diisolasikan dari masyarakat
sebagai anak-anak haram politik. Barang miliknya juga tak dirampas. Toh dia
dipantau, diancam, difitnah, ditertawakan, diadili di depan semacam Mahmilub
kolonial, dan kehilangan kebebasannya selama hampir sepuluh tahun. Seandainya
Jepang tidak mengalahkan Belanda, masa tahanan itu mungkin berlangsung sampai
masa tuanya. Dia cinta pada bangsanya yang sangat majemuk yang dia sendiri
ikut bentuk. Lebih dari setiap orang lain dari angkatannya, dia mampu
menyebarluaskan kesadaran nasional dan cita-cita kemerdekaan sampai kepada
rakyat gembel. Hubungan yang begitu erat dengan bangsanya, ditambah sekian
bakat lainnya, berakibat bahwa, pada masa Proklamasi, tidak ada lain pribumi
yang masuk di akal sebagai kepala negara yang pertama. Dia memang dicintai.
Sebagai pemimpin
gerakan untuk mencapai kemerdekaan, dia berhasil secara gemilang. Tetapi
sebagai pemimpin negara pasca-kemerdekaan, harus diakui, bahwa dalam banyak
hal dia gagal. Demokrasi Terpimpinnya runtuh menjadi puing-puing dan dia
sendiri mengakhiri usianya di tahanan. Dalam hal ini dia tidaklah unik.
Banyak sekali pahlawan pergerakan kemerdekaan juga gagal ketika menjadi presiden
atau perdana menteri setelah kemerdekaan tercapai: U Nu, Nasser, Sekou Toure,
Nkrumah, Bandaranaike, Mugabe, Arafat, Kim Il Sung, Kaunda, dan sebagainya.
Sun Yat-sen pun gagal. Kalau Gandhi tak dibunuh dan sempat menjadi Kepala
Negara, apakah dia akan sukses? Belum tentu. Apakah Ho Chi Minh bisa
membayangkan bahwa 33 tahun setelah matinya, Vietnam akan dinilai nomor satu
atau nomor dua di dunia dalam korupsi yang menjalar kayak kanker? Tantangan
periode ini lain lagi dari periode heroik sebelumnya. Dan dunia juga berobah
dengan kecepatan yang membingungkan.
Dalam semua ini apakah
ada pelajaran-pelajaran yang berguna untuk masa kini? Mungkin ada dua.
Pertama: bahaya pemfosilan. Kalau ada yang benar dalam analisa di atas, bisa
disimpulkan bahwa proses pemfosilan dalam kasus pikiran dan sikap Bung Karno
sebenarnya mulai pada dirinya sendiri setelah Indonesia menjadi Merdeka dan
dia menjadi presiden. Berangsur-angsur tentunya. Setelah wafatnya, pemfosilan
ini malahan menjadi-jadi dalam suasana penuh bau kemenyan. Kesimpulan ini
sama sekali tidak berarti bahwa secara total pandangan-pandangan dan
nilai-nilai Bung Karno sudah usang; cuman berarti bahwa pikiran-pikiran itu
perlu direnungkan dengan sikap yang kritis (bukan anti), dan berkesadaran
historis atas jarak jauh antara masa kini dan masa Bung Karno. Borobudur,
candi/stupa Budha yang terbesar dan mungkin terindah di dunia, kini menjadi
kebanggaan bangsa Indonesia. Tapi masyarakat Indonesia sekarang bukan
masyarakat yang beragama Budha. Agama Borobudur, yang mendorong
pencipta-penciptanya, tak banyak digubris lagi, tetapi kemegahan,
kecantikannya, serta suasana khidmatnya masih merangsang.
Menilai
karangan-karangannya Bung Karno sebagai Kitab Suci atau Wejangan Leluhur yang
Keramat akan memustahilkan pikiran yang jitu dan mendalam terhadap
masalah-masalah Indonesia sekarang ini: seperti keadilan sosial pada zaman
globalisasi dan komputerisasi; federalisasi yang sehat supaya si Bhinneka dan
Si Eka tak saling menerkam; alternatif kepada kebrutalan neoliberalisme,
cengkeraman konglomerat-konglomerat transnasional dan nihilisme Hollywood;
penghancuran terhadap alam; keamanan minoritas-minoritas; hak-hak manusia dan
lebih lagi hak-hak warga negara Indonesia; pengeroposan total di bidang
hukum, dan banyak lain. Terhadap sebagian besar masalah ini, tidak tertemu
jawaban apa-apa dalam Wejangan Bung Karno. Masanya begitu lain.
Kedua: dari Bung Karno
dan zamannya kita bisa menggali kembali bibit gagasan penting tentang
nasionalisme, bukan sebagai warisan nenek moyang tetapi sebagai komitmen
untuk masa sekarang dan masa depan. Memang dia sering bicara secara gampangan
tentang 350 tahun penjajahan Belanda, walaupun sadar betul bahwa Aceh dan
Bali Selatan dan sebagian Sulawesi Selatan belum ditaklukkan ketika dia
lahir. Mungkin dengan kata-kata demikian dia ingin membuat
pendengar-pendengar merasa malu, dan karena malunya itu lalu berbangkit. Dia
juga mengetahui bahwa pun Kartini belum sempat merasa diri seorang manusia
Indonesia ketika dia mati terlalu muda. Angkatan Bung Karnolah yang pertama
yang membayangkan diri sebagai orang Indonesia.
Dus, menjadi orang
Indonesia bukan suatu yang alamiah, tetapi sesuatu yang modern, yang
memerlukan tekad, solidaritas, kerelaan berkorban, dan harapan. Khususnya
harapan. Manusia Indonesia yang dibayangkan oleh orang-orang Pergerakan
adalah manusia yang berdiri tegak, tidak bongkok dan tidak menginjak,
terbuka, dinamis, inklusif, bernyali, dan berperikemanusiaan. Manusia macam
ini bukan suatu makhluk alamiah, tetapi harus digemblengkan, saban haripun,
oleh dia sendiri dan sesamanya. Itulah kiranya pelajaran dari Bung Karno yang
paling penting yang masih tinggal segar untuk bangsanya. Dan optimisme yang
tak terpatahkan, pun ditengah puing-puing.
Requiescat in pace, Bung Karno. ●
|
Catatan Redaksi:
Tulisan ini nongol secara bergerilya di internet pada tahun 2003. Pengarangnya
adalah Ben Anderson, yang menulis langsung dalam bahasa Indonesia gaya tahun
1950an. Dia menyoroti pribadi yang sangat dikenal dan dikaguminya: Bung Karno.
Ketika tulisan ini ditulis, Indonesia dipimpin oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri. Tulisan ini menjadi catatan kritis Ben Anderson agar orang
Indonesia tidak ‘memfosilkan ajaran-ajaran Bung Karno.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar