Suka Bunga Negatif
Muhamad Chatib Basri ;
Visiting Fellow, University of
California, San Diego
|
KOMPAS, 01 Maret
2016
”Kita tak perlu
peramal cuaca untuk menebak ke mana arah angin”. Begitu lirik lagu Bob Dylan,
”Subterranean Homesick Blues”, 51 tahun lalu. Pesannya sederhana: kita tak
butuh ahli untuk mengatakan apa yang kita sudah tahu. Namun, lirik Dylan ini
tampaknya tak sepenuhnya cocok untuk membaca arah perubahan ekonomi global,
karena bahkan para peramal ekonomi pun—seperti biasa—kesulitan untuk membaca
arah angin.
Sejak tahun 2013,
banyak negara emerging economies
(EM/perekonomian-perekonomian bertumbuh)—termasuk Indonesia—yang berbicara
mengenai kekhawatiran dampak normalisasi kenaikan bunga di Amerika Serikat
(AS). Alasannya, akan terjadi pembalikan arus modal ke AS, dan ini akan
mengganggu situasi ekonomi di emerging
economies. Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia pun
mengingatkan hal yang sama.
Di sisi lain, Larry
Summers dari Harvard Kennedy School
bicara mengenai bahaya dari the secular
stagnation atau kemandekan ekonomi yang panjang. Summers mengingatkan,
walau tingkat bunga sangat rendah, inflasi tak terjadi, ekonomi tetap tak
bergerak. Karena itu, Summers berkali-kali mengingatkan The Fed agar tak
menaikkan bunga. Toh, The Fed tetap menaikkan bunga 25 basis point Desember
2015. Namun, karena kebijakan ini sudah diantisipasi pasar, dampaknya
terhadap emerging economies relatif
kecil, bahkan memberikan kepastian bagi negara-negara emerging economies.
Meski demikian,
setelah itu angin berubah. Situasi di Tiongkok semakin memburuk. Angka
pertumbuhan ekonomi di AS terkesan rapuh. Jepang terancam deflasi. Menghadapi
kondisi ini, Bank Sentral Jepang mengikuti langkah beberapa negara Eropa:
menerapkan kebijakan suku bunga negatif. Janet Yellen, Ketua Federal Reserve
Bank AS, dalam pertemuan tengah tahunan dengan Kongres menyatakan, The Fed
tidak menutup kemungkinan suku bunga negatif di AS walaupun ia belum melihat
perlunya langkah itu.
Pernyataan Yellen ini
kemudian diterjemahkan oleh pasar bahwa The Fed akan menunda kenaikan bunga.
Lalu, modal mulai kembali mengalir ke emerging
economies. Ringgit menguat, rupiah menguat, apalagi setelah Jepang
menerapkan tingkat bunga negatif.
Bagaimana dampak
perkembangan terakhir ini bagi perekonomian emerging economies, khususnya Indonesia?
Sebelum menjawab
pertanyaan itu, mungkin baik jika kita memahami secara sederhana tentang
tingkat bunga negatif itu. Dalam situasi ekonomi yang baik, tanpa didorong
atau ”dihukum” pun, perbankan akan mengalirkan kreditnya. Namun, dalam
situasi ekonomi yang tak pasti, perbankan cenderung untuk menahan kreditnya,
akibatnya akan banyak kelebihan uang tunai (excess reserve) di perbankan. Alasannya, risiko kredit macet
besar, selain itu toh karena bunga rendah, biaya memegang uang tunai (opportunity cost) relatif rendah.
Akibatnya, walau bunga
rendah, kredit tidak mengalir, ekonomi mandek. Karena itu, bank sentral
kemudian menerapkan tingkat bunga negatif. Dengan kebijakan ini, bank
komersial bukan hanya tidak mendapatkan bunga dari bank sentral jika memegang
excess reserve, tetapi ia harus
membayar bunga kepada bank sentral.
Semakin banyak excess reserve yang dipegang bank,
semakin besar bunga yang harus ditanggungnya. Beban ini tentu akan dibebankan
kepada penabung. Akibatnya, jika penabung menempatkan uang di Bank, mereka
harus membayar bunga kepada perbankan. Bisa dibayangkan, penabung akan
terdorong untuk menarik uangnya dari perbankan dan memegang uang tunai. Ini
bisa berakibat berkurangnya dana pihak ketiga di perbankan.
Suku bunga dan arus modal
Menarik melihat
pengalaman negara Eropa yang menerapkan kebijakan ini. Di sana, perbankan
ternyata tidak menarik bunga dari penabungnya karena khawatir nasabahnya akan
lari. Perbankanlah yang menanggung beban nasabah. Langkah ini membuat
keuntungan perbankan menjadi semakin kecil, dan mereka justru enggan untuk
menyalurkan kredit.
Selain itu, kebijakan
bunga negatif membawa implikasi yang besar, misalnya terhadap alokasi di
pasar uang, asuransi, dan dana pensiun dan juga imbal (yield) obligasi. Dengan bunga negatif, imbal obligasi pun menjadi
negatif. Bisa dibayangkan bahwa para investor di Jepang dan Eropa
berduyun-duyun akan mengalihkan investasinya ke negara yang memberikan imbal
hasil yang tinggi.
Dengan kondisi ekonomi
AS yang masih rapuh, dan kemungkinan ditundanya kenaikan bunga The Fed, serta
penerapan kebijakan bunga negatif di Jepang dan Eropa, maka mungkin arus
modal akan mengalir ke emerging economies, termasuk Indonesia. Alasannya,
imbal dari sektor keuangan Indonesia relatif tinggi saat ini. Selain itu,
walau ekonomi Indonesia 2015 hanya tumbuh 4,8 persen, ini relatif lebih
tinggi dibandingkan negara lain.
Oleh karena itu, saya
tidak akan terlalu terkejut apabila rupiah akan terus menguat ke depan,
begitu pula pasar modal dan obligasi di Indonesia. Artinya, Indonesia
memiliki ruang untuk menjadi surga aman (safe
heaven). Bukan karena kita sangat baik, tetapi situasi global jauh lebih
buruk (one of the least unattractive
countries in the world). Dorongan eksternal ini tiba-tiba akan membuat
pemulihan ekonomi seperti terjadi tiba-tiba.
Meski demikian, kita
harus tetap hati-hati, terutama terhadap perkembangan ekonomi Tiongkok. Bukan
tak mungkin satu hari Tiongkok melakukan devaluasi renminbi yang akan
mengguncangkan pasar. Lepas dari ancaman itu, jika situasi di Tiongkok lebih
pasti, aliran modal akan datang ke sini, investasi dapat meningkat,
pertumbuhan ekonomi bisa didorong. Ini kesempatan bagi Indonesia.
Namun, ada baiknya
kita belajar dari berbagai pengalaman pada masa lalu dan juga pengalaman
negara lain. Situasi ini akan mirip dengan situasi ketika AS memberlakukan
kebijakan Quantitative Easing,
yakni likuiditas membanjiri Indonesia. Investasi meningkat dan nilai tukar
menguat. Sejarah bisa berulang. Jika arus modal mengalir deras, defisit
anggaran terus ditingkatkan—apalagi jika ini terjadi akibat kurangnya
penerimaan pajak—dan impor barang modal untuk infrastruktur meningkat
drastis, maka defisit transaksi berjalan akan melonjak.
Di sisi lain,
penguatan rupiah, dan terus melemahnya ekonomi Tiongkok, akan membuat ekspor
kita terpukul. Maka, jangan terkejut jika dalam dua tahun defisit transaksi
berjalan akan kembali meningkat. Dan jika hal itu terjadi, bersamaan dengan
kenaikan bunga The Fed (satu hari The Fed harus menaikkan bunganya juga),
arus modal akan berbalik ke AS. Perekonomian Indonesia akan kembali dalam
tekanan. Kita harus mengantisipasinya.
Saya melihat ada ruang
bagi Bank Indonesia untuk secara alami menurunkan bunga jika inflasi bisa
dijaga cukup rendah. Bunga yang rendah ini sedikit banyak akan meredam arus
modal jangka pendek. Namun, di sisi lain, mungkin defisit anggaran harus
dijaga. Defisit anggaran yang terlalu besar akan meningkatkan defisit
transaksi berjalan.
Memanfaatkan peluang
Lalu apa yang
sebaiknya kita lakukan? Jawabannya adalah mengalirkan arus modal ini ke dalam
bentuk investasi langsung yang berorientasi ekspor. Di sini saya kira langkah
pemerintah dengan merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI) adalah langkah yang
tepat. Begitu juga dengan deregulasi ekonomi. Dengan ini, ruang bagi pasar
dibuka lebih luas sehingga kalaupun defisit transaksi berjalan pada akhirnya
meningkat, modal tak mudah meninggalkan Indonesia lagi. Apalagi, jika modal
itu masuk ke sektor ekspor, defisit transaksi berjalan dapat dijaga, begitu
juga tekanan pada nilai tukar rupiah.
Namun, jika arus modal
yang masuk terfokus kepada investasi portofolio atau pasar domestik, risiko
pembalikan arus modal sangat besar. Modifikasi dari penerapan Tobin tax juga
bisa dipikirkan, misalnya fee untuk
transaksi modal jangka pendek dikenakan jauh lebih tinggi dibandingkan modal
jangka panjang. Dengan ini, arus modal jangka pendek (hot money) dapat lebih diseleksi.
Sejarah sedang
berulang. Kita harus memanfaatkan peluang ini sebaik-baiknya. Saya jadi
teringat obrolan ringan di kedai kecil di Harvard Square dengan Carmen
Reinhart beberapa bulan lalu. Ekonom dari Harvard
Kennedy School itu mengingatkan: masalah utama dari pembuat kebijakan
adalah mereka terlalu percaya kepada empat kata: kali ini situasi berbeda (this time is different).
Setiap kali utang
meningkat dan arus modal masuk, pembuat kebijakan cenderung untuk mengatakan
bahwa kali ini risiko krisis amat kecil. Alasannya: ekonomi baik dan
situasinya berbeda. Reinhart mengingatkan, krisis keuangan kerap kali—walau
tak selalu—bermula dari arus modal masuk yang masif, lalu penguatan nilai
tukar, meningkatnya defisit transaksi berjalan dan akhirnya pembalikan arus
modal.
Reinhart mungkin benar,
situasi kali ini memang tak berbeda. Namun, dengan membuka ruang untuk arus
modal langsung yang lebih luas ke sektor ekspor, Tobin tax, kesempatan bisa
diraih, risiko pembalikan modal dapat diantisipasi. Ini perlu dilakukan
sebelum angin kembali berubah arah. Bob Dylan mungkin benar, kita tidak
membutuhkan peramal cuaca untuk menebak arah angin. Namun, itu bukan karena
kita sudah tahu, tetapi karena angin begitu cepat berubah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar