SO dan Kebenaran Sejarah
Endang Suryadinata ;
Salah satu kontributor buku “Warisan
daripada Soeharto”, Lulusan
Universitas Erasmus
|
KORAN JAKARTA, 01
Maret 2016
Sejarah hasil
konstruksi fakta masa lalu. Kesimpulan atau hasil konstruksi penulisan
sejarah ibarat mengumpulkan berbagai
materi terserak, lalu dikumpulkan. Sejarah semestinya ditulis dengan metode ilmiah tertentu berupa heuristik
(pengumpulan data) dan kritik atas data-interpretasi-historiografi.Tentu saja
motif di balik penulisan amat menentukan, untuk apa sebenarnya sejarah
ditulis.
Sejarah Serangan
“Oemoem” (SO) 1 Maret 1949, misalnya, juga pernah ditulis demi
melebih-lebihkan peran Soeharto sehingga terus mengundang polemik, khususnya
dari para pelaku atau saksi SO 1 Maret lain. Polemik juga terjadi di antara
sejarawan dan peminat. Juga antara para pemuja dan penghujat Soeharto.
Pertama-tama harus
diungkapkan bahwa SO dilakukan TNI didukung rakyat sungguh terjadi. Jadi, ada
fakta. SO 1 Maret 1949 bukan rekayasa. Di dalam peristiwa itu
ada beberapa pelaku seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Soehrto.
SO atas Yogyakarta
(ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, di bawah pimpinan Letnan Kolonel
Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III. Dia lebih dulu mendapat
persetujuan Sri Sultan, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Serangan dilakukan
kurang lebih pukul 06.00.
Pos komando
ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang SO, pasukan merayap
mendekati kota dan menyusup ke kota.
Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera
dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto
langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro.
Sisi barat dipimpin
Ventje Sumual. Sektor selatan dan timur di bawah Mayor Sardjono. Bagian utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan sektor
kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai
pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul
12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan, TNI mengundurkan diri.
Jadi SO memang
bermakna besar bagi keberadaan Indonesia,
yang baru merdeka pada 17 Agustus 1945. Lewat SO, eksistensi Indonesia
bisa ditunjukkan ke masyarakat internasional. Sebagai sebuah peristiwa
sejarah, SO merupakan titik balik revolusi fisik. Masyarakat tak bisa mengelak untuk mengakui peran dan
kontribusi Soeharto. Sejarawan dan dokumen militer Belanda pun mengakui kehebatan strategi militer
pimpinan Komandan Wehrkreise III Letkol Soeharto saat itu.
Memanipulasi
Masalahnya, kemudian
mengundang kontroversi terus-menerus pada masa Soeharto menjabaat presiden.
Dia tergoda untuk melebih-lebihkan
perannya sembari mengurangi peran saksi sejarah lain dalam SO. Soeharto
menganggap diri sebagai penggagas awal SO. Lewat film Janur Kuning (1979) Soeharto mencoba
memperlihatkan kelebihannya.
Film itu punya pesan
utama, dialah tokoh sentral dan
penggagas awal serangan. Film ini menjadi tontonan wajib bagi pelajar
dan rutin disiarkan TVRI setiap 1 Maret pada 1980-1997.
Padahal banyak sumber
menyebut penggagas awal dan utama SO adalah Sri Sultan. Soeharto justru
mengurangi peran Sultan dan menyangkal dia pernah bertemu Sri Sultan pada 14
Februari 1949. Saat ITU Sultan membeberkan gagasan SO kepada Soeharto. Selain
itu, ada saksi mata pertemuan Sultan
dan Pak Harto. Inilah sumber kontroversi. Andai Pak Harto tidak mengklaim
sebagai penggagas awal SO, tidak pernah akan ada polemik.
Dengan demikian Pak
Harto telah memanipulasi sejarah yang seharusnya ditulis objektif. Dengan
sengaja memanipulasi, Pak Harto dan sejarawan istana yang mendukungnya telah mengabaikan kearifan sejarah (wisdom of history) untuk melihat suatu peristiwa secara
proporsional.
Para rezim memang selalu berusaha menguasai tafsir
sejarah untuk melegitimasi tahta, termauk kalau kalau
manipulasi. Sejarah dijadikan alat
propaganda melayani kekuasaan
dan melupakan misi suci sebagai ilmu
objektif yang mengungkapkan kebenaran.
Tidak heran jika
kemudian istilah sejarah dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan history (cerita-nya), bukan our story (cerita kita) atau their story (cerita mereka) dan bahkan
her story (cerita-nya/perempuan).
Manipulasi sejarah
tidak hanya dalam SO. Hampir semua buku sejarah era Soeharto (1965-1998)
ditulis tidak lurus.
Tulisan ini tidak
bermaksud anti-Soeharto, lalu menghapus semua jasa dan kontribusinya. Sisi
positif dan negatif sama
besarnya. Robert Edward Elson,
Profesor di Griffith University dan penulis buku “Soeharto, Political Biography (2001) mengungkapkan, penguasan
Orba itu telah membangun Indonesia
sama sekali baru.
Namun demikian, juga
ada sisi negatif yang tidak sedikit. Menurut Adnan Buyung Nasution yang
pernah menyingkir di Belanda pada dasawarsa 80-an, Presiden kedua
tersebut harus bertanggung jawab
terhadap kehancuran cita-cita negara
hukum yang demokratis dengan segala sikap, ucapan, dan tindakan-tindakannya
selama berkuasa.
Dia bukan hanya
sewenang-wenang (abuse of power),
melanggar hukum dan konstitusi, tapi secara perlahan-lahan selama 30 tahun
merusak nilai-nilai kehidupan yang etis dan bermoral. Korupsi dibiarkan merajalela.
Pada eranya, politik
hanya berorientasi dan upaya
mempertahankan kekuasaan lewat berbagai cara, termasuk melanggar HAM,
kalau perlu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar