Selasa, 08 Maret 2016

SO dan Kebenaran Sejarah

SO dan Kebenaran Sejarah

Endang Suryadinata ;   Salah satu kontributor buku “Warisan daripada Soeharto”, Lulusan  Universitas Erasmus
                                               KORAN JAKARTA, 01 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejarah hasil konstruksi fakta masa lalu. Kesimpulan atau hasil konstruksi penulisan sejarah ibarat  mengumpulkan berbagai materi terserak, lalu dikumpulkan. Sejarah semestinya ditulis dengan  metode ilmiah tertentu berupa heuristik (pengumpulan data) dan kritik atas data-interpretasi-historiografi.Tentu saja motif di balik penulisan amat menentukan, untuk apa sebenarnya sejarah ditulis.

Sejarah Serangan “Oemoem” (SO) 1 Maret 1949, misalnya, juga pernah ditulis demi melebih-lebihkan peran Soeharto sehingga terus mengundang polemik, khususnya dari para pelaku atau saksi SO 1 Maret lain. Polemik juga terjadi di antara sejarawan dan peminat. Juga antara para pemuja dan penghujat Soeharto.

Pertama-tama harus diungkapkan bahwa SO dilakukan TNI didukung rakyat sungguh terjadi. Jadi, ada fakta.  SO 1 Maret  1949 bukan rekayasa. Di dalam peristiwa itu ada beberapa pelaku seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Soehrto.

SO atas Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III. Dia lebih dulu mendapat persetujuan Sri Sultan, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Serangan dilakukan kurang lebih pukul 06.00.

Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang SO, pasukan merayap mendekati kota dan menyusup  ke kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro.

Sisi barat dipimpin Ventje Sumual. Sektor selatan dan timur di bawah Mayor Sardjono. Bagian  utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan, TNI mengundurkan diri.

Jadi SO memang bermakna besar bagi keberadaan Indonesia,  yang baru merdeka pada 17 Agustus 1945. Lewat SO, eksistensi Indonesia bisa ditunjukkan ke masyarakat internasional. Sebagai sebuah peristiwa sejarah, SO merupakan titik balik revolusi fisik. Masyarakat  tak bisa mengelak untuk mengakui peran dan kontribusi Soeharto. Sejarawan dan dokumen militer Belanda pun  mengakui kehebatan strategi militer pimpinan Komandan Wehrkreise III Letkol Soeharto saat itu.

Memanipulasi 

Masalahnya, kemudian mengundang kontroversi terus-menerus pada masa Soeharto menjabaat presiden. Dia  tergoda untuk melebih-lebihkan perannya sembari mengurangi peran saksi sejarah lain dalam SO. Soeharto menganggap diri sebagai penggagas awal SO. Lewat film  Janur Kuning (1979) Soeharto mencoba memperlihatkan kelebihannya. 

Film itu punya pesan utama, dialah tokoh sentral dan  penggagas awal serangan. Film ini menjadi tontonan wajib bagi pelajar dan rutin disiarkan TVRI setiap 1 Maret pada 1980-1997.

Padahal banyak sumber menyebut penggagas awal dan utama SO adalah Sri Sultan. Soeharto justru mengurangi peran Sultan dan menyangkal dia pernah bertemu Sri Sultan pada 14 Februari 1949. Saat ITU Sultan membeberkan gagasan SO kepada Soeharto. Selain itu,  ada saksi mata pertemuan Sultan dan Pak Harto. Inilah sumber kontroversi. Andai Pak Harto tidak mengklaim sebagai penggagas awal SO, tidak pernah akan ada polemik.

Dengan demikian Pak Harto telah memanipulasi sejarah yang seharusnya ditulis objektif. Dengan sengaja memanipulasi, Pak Harto dan sejarawan istana yang mendukungnya  telah mengabaikan  kearifan sejarah (wisdom of history) untuk melihat suatu peristiwa secara proporsional.

Para rezim  memang selalu berusaha menguasai tafsir sejarah untuk melegitimasi tahta, termauk kalau  kalau  manipulasi. Sejarah dijadikan alat  propaganda  melayani kekuasaan dan melupakan misi suci sebagai  ilmu objektif yang mengungkapkan kebenaran.

Tidak heran jika kemudian istilah sejarah dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan history (cerita-nya), bukan our story (cerita kita) atau their story (cerita mereka) dan bahkan her story (cerita-nya/perempuan).

Manipulasi sejarah tidak hanya dalam SO. Hampir semua buku sejarah era Soeharto (1965-1998) ditulis tidak lurus.

Tulisan ini tidak bermaksud anti-Soeharto, lalu menghapus semua jasa dan kontribusinya. Sisi positif dan negatif  sama besarnya.  Robert Edward Elson, Profesor di Griffith University dan penulis buku “Soeharto, Political Biography (2001) mengungkapkan, penguasan Orba itu  telah membangun Indonesia sama sekali baru.

Namun demikian, juga ada sisi negatif yang tidak sedikit. Menurut Adnan Buyung Nasution yang pernah menyingkir di Belanda pada dasawarsa 80-an, Presiden kedua tersebut  harus bertanggung jawab terhadap kehancuran  cita-cita negara hukum yang demokratis dengan segala sikap, ucapan, dan tindakan-tindakannya selama berkuasa.

Dia bukan hanya sewenang-wenang (abuse of power), melanggar hukum dan konstitusi, tapi secara perlahan-lahan selama 30 tahun merusak nilai-nilai kehidupan yang etis dan bermoral. Korupsi dibiarkan  merajalela.

Pada eranya, politik hanya berorientasi  dan  upaya  mempertahankan kekuasaan lewat berbagai cara, termasuk melanggar HAM, kalau perlu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar