Jumat, 11 Maret 2016

Agar Kasus Inses Tak Terulang

Agar Kasus Inses Tak Terulang

Bagong Suyanto ;  Dosen Masalah Sosial Anak
di Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga Surabaya
                                                      JAWA POS, 07 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TIDAK ada harimau yang tega memakan anaknya sendiri. Pepatah itu, tampaknya, tak berlaku bagi DL, 51, seorang laki-laki bejat yang tinggal di Kenjeran, Surabaya, yang tega mencabuli anak kandungnya sendiri hingga lima tahun lebih.

Alih-alih memberikan kasih sayang dan perlindungan, bapak tiga anak tersebut malah kerap mencabuli anak sendiri sejak berusia empat tahun. Bahkan tega memerkosa AN, anak perempuannya itu, sejak kelas IV sekolah dasar (Jawa Pos, 4-5 Maret 2016).

Tindakan bejat DL dilakukan nyaris setiap hari. Dan, yang memprihatinkan, ibu korban sendiri yang mengetahui peristiwa pemerkosaan yang dilakukan suaminya tersebut ternyata mendiamkan saja.

Kasus inses (incest) yang dialami AN baru terbongkar ketika para guru korban di sekolah mengamati perilaku sehari-hari korban yang cenderung menarik diri, murung, pendiam, dan menyendiri. Bisa dipastikan, banyak warga masyarakat yang akan mengutuk tindakan keji pelaku.

Persoalannya: apa yang bisa kita lakukan selain bersimpati kepada korban dan mengutuk tindakan pelaku pemerkosaan inses?

Dampak Inses

Berbeda dengan kasus pemerkosaan umum lainnya, tindakan paksa inses biasanya memang jarang dapat seketika terbongkar. Bahkan, kerap kali inses selalu terjadi dalam kurun waktu yang lama: bertahun-tahun. Ketakutan, ketidakberdayaan, dan ketergantungan korban adalah tiga hal yang acap kali membuat tindak pemerkosaan inses cenderung lebih sulit terbongkar.

Bagi anak yang menjadi korban inses, tindakan pemerkosaan yang dilakukan ayah kandung, kakek, kakak, paman, atau kerabat sedarah yang lain menimbulkan trauma dan penderitaan yang dalam. Sebab, selain pemerkosaan terjadi berkali-kali, korban dipaksa setiap hari masih tetap harus bertemu dengan pelaku.

Anak yang menjadi korban inses, selain mengalami trauma post-sexual abuse, yang tak kalah mencemaskan, biasanya akan tumbuh menjadi pribadi yang berpotensi mengalami mental disorder.

Banyak studi telah membuktikan bahwa anak yang menjadi korban inses cenderung mengalami depresi yang parah, memiliki self-esteem (harga diri) yang rendah, tidak mudah percaya kepada orang lain, dan menarik diri. Hingga pada saat mereka menginjak dewasa, tidak sedikit yang kemudian terjerumus dalam perilaku minum minuman keras, memakai obat terlarang, dan bahkan menjadi pelaku child abuse. Tanpa sadar mengulang apa yang dialaminya.

Dilema tidak mudah yang dialami anak-anak korban inses adalah: di satu sisi mereka terpaksa hidup dalam lingkungan sosial yang menjejas dengan ancaman dan pemerkosaan. Di sisi lain, mereka menyadari sepenuhnya bahwa inses adalah aib yang memalukan keluarga dan dirinya sendiri. Sehingga dalam situasi yang mengambang seperti ini, bisa dipahami jika mereka kemudian mengembangkan kepribadian yang ambivalen.

Upaya Penanganan

Di luar kasus yang terjadi di Kenjeran, Surabaya, itu, niscaya masih banyak kasus inses lain yang terjadi di berbagai kelompok masyarakat. Terutama kelompok masyarakat yang secara sosial-ekonomi kurang berpendidikan dan miskin.

Banyak studi telah membuktikan bahwa kasus inses umumnya memang lebih berpotensi terjadi pada keluarga dari golongan masyarakat menengah ke bawah. Itu dipicu kondisi rumah yang sempit dan sosialisasi lingkungan yang kurang kondusif.

Pemerhati masalah anak dari Malaysia Fatimah (1992) mengungkapkan bahwa selain karakteristik orang tua - dalam hal ini ayah kandung - yang terlibat alkohol dan obat-obatan, berkepribadian menyimpang, serta kurang berpendidikan, kasus inses umumnya lebih berpotensi terjadi di keluarga yang rumahnya sempit. Rumah yang tidak memungkinkan anak memiliki kamar privat tersendiri untuk berlindung, misalnya pada saat berganti pakaian.

Mencegah agar kasus inses tidak terjadi di masyarakat harus diakui bukan hal yang mudah. Bukan sekadar karena kebanyakan korban dan ibu korban biasanya tidak berdaya dan serba tergantung kepada pelaku. Tapi juga karena kepekaan masyarakat untuk memahami ancaman inses umumnya lemah.

Di kebanyakan masyarakat, mereka sebagian besar masih terjebak pada mitos yang menempatkan sosok orang tua, khususnya ayah, sebagai orang baik yang selalu menyayangi anak kandungnya. Dan dianggap tidak mungkin ada ayah yang tega memakan anak sendiri karena hewan buas pun tidak akan melakukan hal itu. Mitos yang menempatkan ayah sebagai sosok yang selalu melindungi anak-anaknya inilah yang acap kali membuat masyarakat terlena dan kurang peka pada indikasi-indikasi terjadinya inses.

Dalam kasus AN, beruntung pihak sekolah dan guru memiliki kepekaan untuk membongkar kasus yang memilukan itu. Untuk membantu dan mencegah agar kasus inses tidak terus berkepanjangan, kepekaan seperti yang diperlihatkan guru-guru di sekolah AN tentu akan lebih baik jika terus dikembangkan. Sehingga semua pihak bisa berperan sebagai watchdog yang selalu aktif melindungi anak-anak dari kemungkinan menjadi korban child abuse.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar