Agar Kasus Inses Tak Terulang
Bagong Suyanto ;
Dosen Masalah Sosial Anak
di Departemen Sosiologi FISIP
Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 07 Maret
2016
|
TIDAK ada harimau yang tega memakan anaknya sendiri. Pepatah itu,
tampaknya, tak berlaku bagi DL, 51, seorang laki-laki bejat yang tinggal di
Kenjeran, Surabaya, yang tega mencabuli anak kandungnya sendiri hingga lima
tahun lebih.
Alih-alih
memberikan kasih sayang dan perlindungan, bapak tiga anak tersebut malah
kerap mencabuli anak sendiri sejak berusia empat tahun. Bahkan tega memerkosa
AN, anak perempuannya itu, sejak kelas IV sekolah dasar (Jawa Pos, 4-5 Maret
2016).
Tindakan
bejat DL dilakukan nyaris setiap hari. Dan, yang memprihatinkan, ibu korban
sendiri yang mengetahui peristiwa pemerkosaan yang dilakukan suaminya
tersebut ternyata mendiamkan saja.
Kasus inses
(incest) yang dialami AN baru terbongkar ketika para guru korban di sekolah
mengamati perilaku sehari-hari korban yang cenderung menarik diri, murung,
pendiam, dan menyendiri. Bisa dipastikan, banyak warga masyarakat yang akan
mengutuk tindakan keji pelaku.
Persoalannya:
apa yang bisa kita lakukan selain bersimpati kepada korban dan mengutuk
tindakan pelaku pemerkosaan inses?
Dampak
Inses
Berbeda
dengan kasus pemerkosaan umum lainnya, tindakan paksa inses biasanya memang
jarang dapat seketika terbongkar. Bahkan, kerap kali inses selalu terjadi
dalam kurun waktu yang lama: bertahun-tahun. Ketakutan, ketidakberdayaan, dan
ketergantungan korban adalah tiga hal yang acap kali membuat tindak
pemerkosaan inses cenderung lebih sulit terbongkar.
Bagi anak
yang menjadi korban inses, tindakan pemerkosaan yang dilakukan ayah kandung,
kakek, kakak, paman, atau kerabat sedarah yang lain menimbulkan trauma dan
penderitaan yang dalam. Sebab, selain pemerkosaan terjadi berkali-kali,
korban dipaksa setiap hari masih tetap harus bertemu dengan pelaku.
Anak yang
menjadi korban inses, selain mengalami trauma post-sexual abuse, yang tak kalah mencemaskan, biasanya akan
tumbuh menjadi pribadi yang berpotensi mengalami mental disorder.
Banyak studi
telah membuktikan bahwa anak yang menjadi korban inses cenderung mengalami
depresi yang parah, memiliki self-esteem (harga diri) yang rendah, tidak
mudah percaya kepada orang lain, dan menarik diri. Hingga pada saat mereka
menginjak dewasa, tidak sedikit yang kemudian terjerumus dalam perilaku minum
minuman keras, memakai obat terlarang, dan bahkan menjadi pelaku child abuse. Tanpa sadar mengulang apa
yang dialaminya.
Dilema tidak
mudah yang dialami anak-anak korban inses adalah: di satu sisi mereka
terpaksa hidup dalam lingkungan sosial yang menjejas dengan ancaman dan
pemerkosaan. Di sisi lain, mereka menyadari sepenuhnya bahwa inses adalah aib
yang memalukan keluarga dan dirinya sendiri. Sehingga dalam situasi yang
mengambang seperti ini, bisa dipahami jika mereka kemudian mengembangkan
kepribadian yang ambivalen.
Upaya
Penanganan
Di luar
kasus yang terjadi di Kenjeran, Surabaya, itu, niscaya masih banyak kasus
inses lain yang terjadi di berbagai kelompok masyarakat. Terutama kelompok
masyarakat yang secara sosial-ekonomi kurang berpendidikan dan miskin.
Banyak studi
telah membuktikan bahwa kasus inses umumnya memang lebih berpotensi terjadi
pada keluarga dari golongan masyarakat menengah ke bawah. Itu dipicu kondisi
rumah yang sempit dan sosialisasi lingkungan yang kurang kondusif.
Pemerhati
masalah anak dari Malaysia Fatimah (1992) mengungkapkan bahwa selain
karakteristik orang tua - dalam hal ini ayah kandung - yang terlibat alkohol
dan obat-obatan, berkepribadian menyimpang, serta kurang berpendidikan, kasus
inses umumnya lebih berpotensi terjadi di keluarga yang rumahnya sempit.
Rumah yang tidak memungkinkan anak memiliki kamar privat tersendiri untuk
berlindung, misalnya pada saat berganti pakaian.
Mencegah
agar kasus inses tidak terjadi di masyarakat harus diakui bukan hal yang
mudah. Bukan sekadar karena kebanyakan korban dan ibu korban biasanya tidak
berdaya dan serba tergantung kepada pelaku. Tapi juga karena kepekaan
masyarakat untuk memahami ancaman inses umumnya lemah.
Di
kebanyakan masyarakat, mereka sebagian besar masih terjebak pada mitos yang
menempatkan sosok orang tua, khususnya ayah, sebagai orang baik yang selalu
menyayangi anak kandungnya. Dan dianggap tidak mungkin ada ayah yang tega memakan
anak sendiri karena hewan buas pun tidak akan melakukan hal itu. Mitos yang
menempatkan ayah sebagai sosok yang selalu melindungi anak-anaknya inilah
yang acap kali membuat masyarakat terlena dan kurang peka pada
indikasi-indikasi terjadinya inses.
Dalam kasus
AN, beruntung pihak sekolah dan guru memiliki kepekaan untuk membongkar kasus
yang memilukan itu. Untuk membantu dan mencegah agar kasus inses tidak terus
berkepanjangan, kepekaan seperti yang diperlihatkan guru-guru di sekolah AN
tentu akan lebih baik jika terus dikembangkan. Sehingga semua pihak bisa
berperan sebagai watchdog yang selalu aktif melindungi anak-anak dari
kemungkinan menjadi korban child abuse. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar