Sabangau
Goenawan Mohamad ;
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi
Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 14 Maret
2016
Saya bosan Kahlil Gibran, tapi sejenak
kata-katanya melintas di kepala:
Pohon-pohon adalah
sajak yang ditulis bumi
ke atas langit.
Kaki saya mencari injakan akar di hutan gambut
itu, sambil berjalan setapak demi setapak di air kemerahan yang menggenang di
antara pokok-pokok jelutung dan ramin. Dahan batang-batang muda itu masih
lebat merintangi jalan, tapi segera tampak: "sajak yang ditulis
bumi" telah hampir terhapus di Sungai Sabangau.
Jutaan pohon telah ditebang. Hutan tropis
Kalimantan Tengah seluas 568.700 hektare punah. Keserakahan manusia—merampas
kayu meranti tak henti-hentinya untuk memperkaya diri—telah melukai
lingkungan ini sampai ke intinya.
Lima belas tahun lamanya, sejak 1980,
penjarahan itu berlangsung.
Manusia adalah "super-predator",
kata orang. Tapi saya kira bukan, sebelum datang pasar besar, modal besar,
kuasa politik besar, dan kerakusan besar. Dan di Indonesia, 1980-1995,
keempat anasir itu bergabung: klimaks zaman yang bernama "Orde
Baru". Negeri dibangun dengan ke-tak-sabar-an yang destruktif.
Tahun 1995: Presiden Soeharto memutuskan 1,5
juta hektare hutan gambut Kalimantan Tengah dimusnahkan untuk membuat sawah.
Rakyat setempat tak bisa menolak. Para pakar tahu proyek itu sebuah kesalahan
(padi tak tumbuh di bekas lahan gambut, yang tingkat keasamannya tinggi),
tapi mereka tak bisa berbicara. Dalam novel Sarongge Tosca Santoso
digambarkan bagaimana niat untuk menyiapkan lahan pangan itu berakhir dengan
malapetaka.
Dalam sepucuk surat kepada kekasihnya, Husin,
Karen yang mengunjungi tempat itu bercerita: cadangan air dikeringkan, diubah
jadi saluran irigasi yang berpuluh-puluh meter panjangnya. Parit-parit baru
membuat gambut tak mampu lagi menyerap air bila musim hujan tiba. Kemarau
jadi bencana: air kurang, hutan di sekitar selalu terbakar. Penduduk hidup
terjepit. Tulis Karen: "...hasil hutan pun tak bisa didapat lagi."
Di bawah "Orde Baru", kemerdekaan
bersuara tak mati sendirian. Hutan ikut mati. Ketika politik jadi panglima
dan ilmu ditaklukkan, tak perlu lagi hasil penelitian. Ketika segala
sesuatunya dipaksakan, akal sehat tak berfungsi.
Novel Sarongge bercerita: ketika Presiden
Soeharto datang untuk melihat sendiri "Proyek Lahan Gambut" itu,
para bawahan bergerak cekatan. "Pohon-pohon pisang yang sedang berbuah
dipindahkan... ke kebun bekas gambut. Padi-padi yang hampir panen dari
sawah-sawah Kalimantan Selatan dicabuti, untuk [juga] dipindahkan.... Seolah
lahan gambut itu memang sudah siap berproduksi. Memenuhi mimpi sang
presiden...."
Dilihat dari atas, yang di bawah sering
menipu. Raja-raja lama dan dunia modern melakukan kesalahan yang sama.
"Manusia modern merasa bisa menguasai alam, dan mengubah semaunya,"
tulis Karen pula. "Padahal, banyak hal yang tak kita ketahui...."
"Manusia modern" jenis itu tak cuma
bagian yang tragis sejarah Indonesia. Pada akhir 1980-an, James Scott menulis
telaah yang memaparkan melesetnya ideologi "modernis tinggi" ketika
penguasa dan birokrasi Negara melihat ke kehidupan sehari-hari di
"bawah". Seeing Like a State
memaparkan pelbagai contoh state-optics
yang tajam fokusnya tapi luput menangkap kenyataan yang rumit. Contoh yang
menarik berkembang di Prusia dan Saxony di abad ke-18.
Di kerajaan Jerman itu, tatapan
"ilmu" merumuskan hutan sebagai "arus komoditas yang bisa
dijual". Semua diringkus bagi pendapatan Kerajaan. Maka hilanglah
pepohonan, semak belukar, dan tanaman yang tak laku. Bahkan juga disisihkan
tetumbuhan yang bisa dibuat obat, pohon yang bisa diraut jadi permainan dan
dibuat jadi benda keindahan.
Akhirnya, ukuran pohon dibakukan, dan ditetapkanlah
pohon yang dianggap normal, Normalbäume.
Hutan pun jadi "mesin komoditas tunggal" yang gampang serentak
terserang hama atau rusak oleh badai.
State-optics: Negara memandang hutan,
menyederhanakannya—dan tak sanggup menyelamatkannya. Hutan terbakar,
berkali-kali, tapi api selalu dilihat dari atas: dari keputusan Presiden,
dari meja birokrasi, dari pesawat penyiram air yang tak pernah sanggup
memadamkan bara.
Agak di luar Kota Palangkaraya saya bertemu
dengan Januminro Bunsal. Laki-laki 56 tahun ini dengan tenaga sendiri
merestorasi hutan gambut, sepetak demi sepetak. Ia adalah antitesis bagi state-optics: orang Dayak yang tak
menatap hutan dari jendela perpustakaan. Ia merawat pepohonan dengan
pengetahuan yang rinci, pengalaman yang tak sebentar, dan dengan akrab dan
telaten. Maka ia tahu bahwa cara memadamkan kebakaran hutan bukanlah menyewa
pesawat penyemprot air yang mahal. Januminro membangun puluhan sumur bor
dengan pompa penyemprot dan mematikan api yang memusnahkan pohon-pohon dari
dekat.
Ia tak mengutip Gibran. Tapi ia tahu pohonku
bukanlah pohonku, melainkan hidup yang melindungi bumi anak-anakku,
anak-anakmu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar