Independen
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior
Tempo
|
KORAN TEMPO, 11 Maret
2016
AKHIRNYA Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok berbulat tekad maju sebagai calon gubernur lewat jalur
independen. Ia pun sudah menunjuk calon wakil gubernur, yakni Heru Budi
Hartono yang kini Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD)
DKI. Ahok memuji Heru sebagai pegawai negeri sipil yang bersih.
Berita dan ulasan tentang Ahok yang nekat ini
mengalahkan berbagai isu. Kasus Labora Sitorus yang digerebek ratusan polisi
dengan kendaraan barakuda, yang ternyata juga gagal menangkapnya, kalah oleh
"Ahok yang independen". Gerhana matahari total yang langka itu pun
beritanya hanya bertahan beberapa jam, dan malah candaan gerhana menyerempet
ke politik, seolah-olah politik sudah jadi candaan yang sah di negeri ini.
Lalu, apa lagi yang ditulis soal Ahok? Semua
sisi sudah dikupas habis. Maka, inilah cerita tentang seorang bakal calon
bupati yang mendapat dukungan besar dari rakyat tapi gagal menjadi calon.
Ia seorang pegawai negeri sipil, istilah yang
dipakai masyarakat "kader bukan partai". Karena antusiasnya
masyarakat menginginkan dia menjadi bupati, maka digadanglah dia untuk maju
dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Partai mana yang mengusung? Tidak
ada. Maka, jalan yang terbuka hanya jalur independen.
Para relawan pun mengumpulkan kartu tanda
penduduk (KTP). Spanduk dan baliho bertebaran di jalan-jalan. Tiba-tiba
pimpinan cabang partai besar mendekati bakal calon bupati independen ini dan
menawarinya untuk diusung partai. Bahkan siap memasangkan "kader
partai" sebagai calon wakil bupati, pertanda serius. Pengumpulan KTP pun
berhenti. Hanya bikin capek, toh partai besar sudah mendukungnya.
Pilkada semakin dekat. Partai sebelah sudah
punya calon yang pasti, tinggal mendaftar. Tapi sang mantan calon independen
belum mendapat rekomendasi, yang ternyata harus diteken ketua umum partai di
Jakarta. Pimpinan cabang partai yakin rekomendasi akan turun, tapi
"semuanya tergantung Ibu Ketua Umum". (Kalau menyebut Ibu Ketua
Umum, sudah ketebak partai apa ini, biarlah).
Apa yang terjadi? Dua hari menjelang
berakhirnya pendaftaran peserta pilkada, rekomendasi dari ketua umum partai
ternyata jatuh kepada pasangan lain yang disebut "murni kader partai".
Sempat heboh sesaat.
Namun jawaban pimpinan cabang partai enteng saja:
"Keputusan memang hanya ada di tangan Ibu Ketua Umum." Kalaupun ada
kata-kata tambahan, seperti ini: "Politik itu dinamis, apa pun bisa
terjadi" atau "Kita harus amankan keputusan partai" atau ini
lagi "Mekanisme pengajuan dari bawah sudah benar, tapi keputusan memang
dari Jakarta". Begitulah nasib "kader bukan partai" yang sial,
meskipun "masyarakat akar rumput" sudah mendukungnya. Kembali menjadi
calon lewat jalur independen tak mungkin lagi, selain kekurangan KTP
dukungan, juga tak memenuhi syarat karena tahapan verifikasi dari Komisi
Pemilihan Umum sudah lewat.
Sudah pasti orang sehebat Ahok tahu kisah
seperti ini, setidaknya bisa mencium baunya. Ahok meminta PDI Perjuangan tegas
apakah tetap akan mendukung Djarot Saiful Hidayat sebagai Wakil Gubernur
Jakarta pada pilkada 2017, yang berarti juga mendukung dirinya. Jawaban tak
kunjung datang, dan Ahok pun tak mau "dijatuhkan" menjelang
pendaftaran.
Sederhana sekali sesungguhnya, Ahok hanya
membutuhkan kepastian dengan maju sebagai calon independen. Warga Jakarta pun
membutuhkan kepastian apakah Ahok betul-betul maju. Adapun soal deparpolisasi
dan "hal-hal yang bikin gaduh", itu hanya bumbu pilkada. Maklum,
Jakarta milik Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar