RI dan Rekonsiliasi Palestina
Ibnu Burdah ;
Koordinator Kajian Timur Tengah
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogykarta
|
SUARA MERDEKA, 10
Maret 2016
DALAM perhelatan
penting KTT LB OKI di Jakarta 6-7 Maret lalu, Presiden RI Joko Widodo menyatakan
siap membantu terwujudnya rekonsiliasi internal Palestina. Pernyataan itu
menunjukkan arah yang riil dan tepat sebagai tindak lanjut secara nyata dari
konferensi itu.
Dikatakan tepat, sebab
persatuan Palestina adalah modal terpenting bagi perjuangan Palestina. Tanpa
persatuan, perjuangan Palestina untuk merdeka bisa semakin lemah. Peran
mediasi Hamas-Fatah adalah yang paling masuk akal dilakukan RI sebab kedua
faksi itu memiliki hubungan sangat baik dengan Indonesia.
Mendorong persatuan
Palestina adalah salah satu agenda terpenting dalam perjuangan Palestina saat
ini. Keterpecahan Palestina adalah faktor signifikan bagi kegagalan
perjuangan Palestina sejauh ini baik melalui jalur diplomasi, politik
unilateral di PBB maupun perlawanan di lapangan.
Sebagaimana diketahui
perselisihan politik pada tahun 2007 menghasilkan keterpecahan Palestina.
Situasi itu bertahan hingga saat ini dan belum tercapai rekonsiliasi ”tuntas”
yang menyatukan keduanya.
Fatah memerintah Tepi
Barat dan Hamas memerintah Gaza. Kedua faksi itu juga memiliki sayap
”militer” yang sudah saling berhadapan sejak tahun 2007. Setiap kali,
perselisihan politik terjadi setiap kali itu pula kekhawatiran akan pecahnya
kontak senjata antara kedua pihak meningkat.
Menyatukan mereka
bukan perkara mudah dan faktanya hingga kini persatuan itu belum tercapai.
Pada tanggal 6-7 Maret lalu, KTT Luar Biasa Ke-5 OKI digelar di Jakarta.
Tujuan penyelenggaraan
itu adalah menggemakan kembali dukungan terhadap perjuangan Palestina di
tengahtengah semakin kecilnya perhatian negara- negara Arab terhadap isu itu
seiring dengan pergolakan hebat di Timur Tengah.
Tidak Mudah
Dan, benar upaya
menyatukan faksifaksi Palestina menjadi salah satu pembahasan dalam KTT itu.
Dukungan internasional yang sangat besar sekali pun tak akan pernah cukup
tanpa adanya penyatuan dan kesepahaman antara faksi-faksi utama di Palestina.
Celakanya,
penyelesaian perselisihan itu tidak akan mudah. Beberapa perbedaan yang
kemudian menjadi perselisihan kedua faksi antara lain: Pertama, sikap
terhadap upaya perdamaian dengan Israel melalui meja perundingan.
Fatah didirikan oleh
para pejuang Palestina. Mereka menghadapi Israel dengan gerilya dan
berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Fatah tak berhasil
menundukkan Israel melalui jalan senjata murni.
Berbekal pengalaman
perjuangan panjang yang pahit itulah, mereka sejak tahun 1990-an mengubah
strategi perjuangan. Mereka memilih meletakkan senjata dan mulai berjuang
melalui negosiasi. Palestina merdeka sebagaimana yang dicita-citakan hingga
sekarang belum terwujud meskipun era negosiasi Israel-Palestina telah berumur
27 tahun.
Hamas, barisan muda
yang penuh semangat, sejak awal tidak setuju dengan jalan negosiasi. Mereka
menyebut pilihan Fatah itu sebagai pilihan orang tua yang frustasi karena
gagal dalam perjuangan.
Oleh karena itu,
mereka hingga sekarang memilih jalan senjata dalam menghadapi Israel. Akan
tetapi, apa yang mereka hasilkan dari perlawanan senjata itu yang merenggut
nyawa anak-anak belia itu? Tak ada juga kecuali kebanggaan saat
prosesi-prosesi pemakaman para syuhada dan penderitaan panjang warga Gaza.
Sementara jalan
negosiasi Fatah masih lumayan membawa hasil antara lain Otoritas Palestina
yang memiliki kekuasaan cukup luas di sejumlah kota Palestina, atau
pemerintahan Palestina saat ini. Otoritas Palestina memang bukan negara
Palestina, tetapi ia adalah cikal bakal yang penting untuk secara perlahan
menuju ke sana. Akan tetapi, capaian negosiasi itu seperti tak bergerak maju
sejak Oslo II 1995 hingga sekarang.
Kedua, mengenai
sejumlah perjanjian internasional Palestina-Israel yang telah diratifikasi.
Hamas memandang, itu semua tak mengikat mereka. Mereka memiliki hak yang sah
dan legal untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap Israel. Sementara
Fatah melihat sikap Hamas itu sebagai penghalang bagi upaya mereka untuk
mewujudkan Palestina Merdeka melalui meja perundingan.
Perbedaan dalam
masalah ini adalah yang paling menonjol selama dua dasawarsa terakhir
termasuk dalam pemerintahan persatuan yang akan dibentuk itu. Ketiga,
mengenai cetak biru negara Palestina yang diinginkan, batas-batas wilayahnya,
dan juga hubungan dengan Israel kemudian.
Kendati tak banyak
muncul dalam perdebatan, perbedaan paling serius Hamas-Fatah sesungguhnya
terletak pada ideologi negara Palestina ke depan, apakah nasionalis atau
Islam?
Apakah perbatasan
wilayah Palestina mencakup wilayah pra-1967 (sebelum dianeksasi Israel) atau
tidak? Apakah negara Palestina kemudian akan hidup berdampingan dengan Israel
atau tetap tidak mengakui hak hidup dan eksistensi negara Yahudi itu? Hal-hal
dasar ini sepertinya sulit untuk dinegosiasikan dalam waktu dekat.
Namun, sekali lagi
upaya rekonsiliasi dua faksi Palestina itu harus segera didorong kembali jika
kita menginginkan kemajuan dalam perjuangan Palestina untuk merdeka.
Pemerintah RI tak boleh pesimistis kendati sudah berkali-kali usaha
rekonsiliasi ini gagal.
Setidaknya Indonesia
telah melakukan ikhtiar secara sungguh-sungguh dan nyata dengan bersikap
aktif menciptakan perdamaian dunia dan melepaskan dunia dari belenggu
penjajahan sesuai dengan amanat konstitusi kita. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar