Amangkurat
Goenawan Mohamad ;
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi
Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 07 Maret
2016
Amangkurat adalah kesendirian: raja yang tak
berteman di sebuah pulau.
Ketika mulai Januari 1648 penguasa Mataram itu
memindahkan keratonnya dari Karta ke Plered, di lokasi di Bantul itu Sungai
Winongo sudah dibendung. Danau-danau buatan sudah mulai dibangun di sekitar
istana.
Pekerjaan itu seperti tak pernah berhenti.
Tiga belas tahun kemudian, pada 1661, sebuah
laporan orang Belanda masih menyebutkan bahwa Raja tetap sibuk
"menjadikan tempat kediamannya sebuah pulau". Dua tahun berikutnya
Amangkurat memerintahkan agar dibuat "sebuah kolam besar di sekeliling
istananya".
Pada 5 September tahun itu juga Baginda menyiapkan lagi
pembuatan sebuah batang air di belakang keraton. Sebulan setelah itu
penggalian "laut" Segarayasa dimulai.
Mataram dimobilisasi. Tiga ratus ribu orang
bekerja, bahkan penduduk daerah Karawang dipanggil—tak peduli sawah mereka
terbengkalai, dan kekurangan pangan terjadi.
Sebab kehendak sang Raja harus jadi. Dan
memang jadi. Pada 1668, seperti disebut dalam buku De Graaf, Disintegrasi
Mataram di Bawah Mangkurat I, seorang pejabat VOC berkunjung. Ia berjalan
melalui "jembatan di atas parit yang mengelilingi istana".
Parit dan benteng: Amangkurat tak pernah
percaya kepada siapa pun di luar dirinya. Ia dirikan keraton baru dengan batu
bata, bukan lagi kayu seperti istana ayahnya, Sultan Agung. Ia langsung mengawasi
sendiri pembangunannya. Beberapa pejabat tinggi yang tak mau ikut bekerja
diperintahkannya untuk diikat, dibaringkan di paseban, dijemur. Sedangkan
penduduk, seperti ditulis dalam Serat Kandha, harus "membakar banyak
sekali batu bata".
Benteng itu akhirnya berdiri; 13 November 1659
menyebutkan tembok keraton itu lima depa tingginya dan dua depa lebarnya.
Tapi Baginda toh masih ingin menambahkan lagi "tembok yang serupa sebuah
perisai, setinggi dada".
Syak wasangka tampaknya sejak mula merundung
Amangkurat, yang menyebut diri Ingalaga ("di kancah peperangan").
Di hari ketika ayahnya yang sudah dekat ajal memaklumkan putra sulungnya
sebagai Raja Mataram yang baru, semua pintu gerbang, gudang senjata, dan
depot mesiu dijaga ketat. Keluarga kerajaan ditahan selama beberapa hari di
dalam istana, agar tak bisa mengadakan komplotan.
Baru setelah raja tua, Sultan Agung,
mengembuskan napas yang penghabisan, sang raja muda muncul di balairung.
Babad Tanah Jawi mencatat, waktu itu tiba-tiba Pangeran Purbaya, kakak Sultan
almarhum, naik ke takhta. Bersikap seolah-olah ia yang jadi susuhunan, ia
menantang siapa yang berani melawannya. Yang hadir menundukkan kepala
ketakutan. Merasa aman, Purbaya pun turun dari dampar, bersimpuh di lantai,
menyembah raja yang baru.
Kecemasan membayang di jam-jam itu: betapa
gentingnya pergantian kekuasaan. Bukankah sebagian besar peperangan di Tanah
Jawa adalah perang suksesi?
Dan terbukti. Di tengah kesibukan Mataram
membangun keraton Plered, adik Raja, Pangeran Alit, menyiapkan penyerbuan. Ia
hendak merebut takhta. Tapi sebelum bergerak, kedua pembantu dekatnya
ketahuan, terjebak, dan dibunuh. Kepala mereka dipersembahkan kepada Raja.
Sang adik akhirnya menyerang hanya dibantu enam lurah dengan anak buah yang
tak seberapa—dan tewas terluka kerisnya sendiri yang beracun.
Konon, Amangkurat merasa sedih atas kematian
itu. "Aku akan membela adikku," demikian ia dikutip dalam Babad
Tanah Jawi. Baginda pun melukai bahunya sendiri—cara yang aneh untuk
"membela" seseorang. Tapi dalam diri Amangkurat kita tak tahu
benarkah penguasa ini—yang bertakhta sendirian seperti pulau yang dikelilingi
laut—bisa punya empati kepada orang lain. Segera setelah menyatakan
berkabung, ia berkata, "Hatiku sudah lega."
Dan seraya tampil dengan rambut kepala yang
dicukur sebagai tanda belasungkawa, ia perintahkan empat orang kepercayaannya
menyiapkan sebuah pembunuhan besar-besaran. Ia menduga para ulama di Mataram
terlibat pemberontakan Pangeran Alit. Setelah nama, keluarga, dan alamat
semua tokoh agama itu dicatat, dengan isyarat tembakan meriam dari istana,
pembantaian pun dimulai. Dalam tempo 30 menit 5.000-6.000 ulama (termasuk
para istri dan anak-anak) dihabisi.
Kebuasan tak berhenti di situ. Hari itu Raja
juga memerintahkan tujuh orang pembesar dibunuh bersama keluarga mereka....
"...betapa angkuh dan kejamnya
orang-orang ini," tulis Van Goens, orang Belanda yang mencatat peristiwa
berdarah pembangkangan Pangeran Alit.
Mataram memang kian suram. Tangan Amangkurat
berlumur darah, sampai akhirnya Baginda meninggal sakit dalam pelarian,
setelah pemberontakan Trunajaya meletus dan Mataram jatuh.
Ketika sakitnya memberat, Amangkurat minta
sereguk air kelapa. Putra mahkota pun menyiapkannya. Tapi sejenak Baginda
menatapnya, "Aku tahu maksudmu, kau ingin mempercepat."
Kejatuhan dan kekejaman tak pernah punya
teman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar