Selasa, 15 Maret 2016

Revolusi Sebutir Padi

Revolusi Sebutir Padi

Suwidi Tono  ;   Koordinator Forum Menjadi Indonesia;
Ketua Perkumpulan Bangun Nusa Berkelanjutan
                                                       KOMPAS, 15 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada banyak contoh negara tidak hadir dan membiarkan rakyat berjuang sendiri melawan penderitaannya. Salah satunya adalah Gadabung, sebuah desa eks transmigrasi 1983 di hamparan rawa pasang surut sulfat masam, di pedalaman Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dari rezim ke rezim, selama tiga dekade lebih, siklus kehidupan di desa seluas hampir 2.000 hektar ini-meminjam amsal Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, 1981)-menampilkan wujud kekosongan, hampa. Matra dinamika ekosistem berlangsung dalam sunyi dan kekelaman.

Tentu saja Gadabung, seperti desa persawahan lain di Tanah Air, juga dilanda derap revolusi hijau berupa injeksi teknologi modern: benih unggul, pupuk kimia, pestisida, herbisida, mesin-mesin pertanian. Namun, semua itu tak cukup mengangkat pola hidup subsisten warganya. Modernisasi tak selalu membawa kemajuan. Lahan marjinal, rutin menerima muntahan senyawa pirit dari tanah aluvial sulfidik yang bersifat racun dan membunuh tanaman, terus merundung sistem produksi padi di sini. Benih padi hibrida impor juga membawa serta bermacam-macam penyakit hama tanaman.

Dua pertiga penduduk transmigran yang berjumlah 129 kepala keluarga memilih kabur, lari dari kesulitan hidup yang menyengat. Sisanya bertahan melawan kerasnya alam dengan berbagai akrobat, termasuk menjadi kaki tangan pembalakan liar atau buruh di kota-kota terdekat.

Dua musim tanam terakhir, Perkumpulan Bangun Nusa Berkelanjutan (BNB) secara swadaya berinisiatif menyosialisasikan galur murni unggul: Mari Sejahterakan Petani (MSP), temuan pemulia jenius Surono Danu di lahan sawah pasang surut seluas 4.200 hektar di Gadabung, juga desa tetangganya, Belanti Siam. Dengan pendampingan dan tata kelola intensif, produktivitas naik pesat dari semula 2,5-3 ton menjadi 6-8 ton per hektar gabah kering panen (GKP). Peningkatan produktivitas ini mendongkrak kepercayaan dan optimisme petani untuk fokus mengelola usaha tani dengan terapi baru.

Gadabung juga menjadi salah satu pilihan uji multilokasi MSP bersama 15 lokasi lain yang tersebar di delapan provinsi agar galur unggul harapan ini kelak lolos uji benih, kemudian di-release sekaligus beroleh sertifikasi nasional. Jika terealisasi, akan membuat para petani berkurang ketergantungannya pada benih impor. Ketahanan pangan berpangkal pada kedaulatan benih. MSP yang telah ditanam petani di banyak daerah Indonesia selama dua puluh tahun terakhir, terbukti tahan serangan hama, khususnya wereng batang coklat, hawar daun bakteri, dan blas pada daun dan leher batang padi.  Keunggulan lainnya: tanpa dormansi dan adaptif pada semua jenis lahan dan agroklimat baik irigasi maupun non-irigasi.

Perubahan subsidi

Kisah petani Gadabung, sebagaimana petani Indonesia umumnya, mengirimkan pesan penting berupa keharusan evaluasi radikal kebijakan pertanian agar tak lagi mengorbankan petani. Peningkatan produksi tak melulu bersangkut paut dengan teknologi, inovasi, dan program baru. Pendekatan yang lebih tepat sasaran adalah dengan mengevaluasi ulang seluruh kebijakan dan praksisnya, sembari membuka peluang yang membangkitkan gairah besar petani. Ini menghendaki revolusi mind set para pengambil kebijakan dan keberanian keluar dari jebakan stereotip mendorong produksi dengan mengandalkan intensifikasi (asupan teknologi modern), berbagai macam subsidi dan regulasi tidak tepat guna.

Dari total lahan pertanian Indonesia 53 juta hektar, hanya 18 persen tergolong subur dan optimal pengelolaannya, terutama berkat dukungan irigasi teknis. Sebagian besar lahan tergolong suboptimal bahkan marjinal (tadah hujan, lahan kering, rawa-rawa, pasang surut, dan lain-lain). Kedaulatan pangan sangat bergantung pada kemampuan mengelola lahan suboptimal yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Harus ada perubahan kebijakan berporos peningkatan kesejahteraan petani secara berkesinambungan dan tepat sasaran. Pemerintah sudah waktunya mengubah alokasi subsidi yang selama ini digunakan untuk membeli sarana produksi (pupuk, obat-obatan, alat dan mesin pertanian) yang terbukti tak banyak mendongkrak produktivitas dan malahan terus menempatkan petani pada posisi tawar rendah. Sebagai pengganti adalah subsidi harga gabah di tingkat petani yang dibeli setara harga beras. Konsekuensinya, pemerintah menanggung biaya pengeringan, penggilingan, penyimpanan, pengemasan, distribusi, dan sekaligus menetapkan harga patokan wajar di tingkat konsumen, bukan lagi harga dasar gabah di tingkat petani.

Perubahan alokasi subsidi akan memberikan dampak luar biasa. Pertama, petani berlomba  meningkatkan produksi. Baik sebagai produsen maupun konsumen, petani berhak menikmati harga layak. Kedua, dengan berbagai cara, indeks pertanaman padi pada lahan suboptimal dipacu untuk menaikkan frekuensi, dari hanya sekali menjadi dua kali setahun, sehingga volume produksi melonjak. Ketiga, semua pelaku yang terlibat: produsen benih, pupuk, obat-obatan, industri alat dan mesin pertanian, pedagang, Bulog, perbankan, dan petani akan menikmati situasi baru, semuanya diuntungkan.

Hasil akhirnya bukan zero sum game, melainkan positive sum game. Hal ini dampak dari penciptaan ruang ekspresi sempurna bagi semua pelaku untuk menghasilkan produk terbaik, saling mendukung, dengan tujuan utama meningkatkan produktivitas dan beroleh margin keuntungan memadai. Perubahan drastis alokasi subsidi ini tentu perlu analisis dan perencanaan matang, serta implementasi terukur. Tiongkok, Thailand, dan sejumlah negara lain telah memberlakukan insentif berupa subsidi harga khusus untuk padi sebagai komoditas pangan utama. Ketahanan pangan di kedua negara itu terbukti stabil terhadap ancaman fluktuasi produksi dan harga.

Dalam mengatasi defisit produksi dan kebutuhan menstabilkan pengadaan beras nasional, resep yang selama ini dijalankan selalu bertumpu pada dua solusi paralel: intensifikasi dan ekstensifikasi. Keduanya tak cukup manjur menjawab sejumlah kerentanan, problem laten yang berulang. Intensifikasi acap terhambat keterbatasan sumber daya petani, kelangkaan sarana produksi, permainan harga, dan salah alokasi subsidi. Ekstensifikasi lewat proyek ambisius rice estate, membuka atau mencetak sawah baru, sering menuai kegagalan.

Setelah swasembada beras 1984, ketahanan pangan tak pernah lagi mencapai keseimbangan baru yang memastikan kestabilan dan kesinambungan. Lahan optimal beririgasi teknis sempurna telah mendekati ambang batas produksi (leveling-off) dan rawan alih fungsi, terutama di Jawa. Sementara perhatian terhadap lahan-lahan marjinal yang tersedia amat luas, khususnya areal rawa pasang surut dan lahan kering, amat minimal bahkan cenderung terabaikan.

Kisah sebutir padi di Gadabung adalah pergumulan panjang melawan kandungan tinggi sulfat masam, limpasan air pasang surut, senyawa pirit, hama penyakit, kegagalan uji aneka varietas berlabel unggul, anomali musim, juga impitan ekspansi korporasi perkebunan sawit. Kini, revolusi pertanian padi tengah menggeliat di desa itu. Namun, revolusi ini akan kandas jika kebijakan pertanian tetap tidak menjadikan petani sebagai subyek utama dalam seluruh siklus produksi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar