Revisi UU Pilkada dan Pemda yang Bersih
Laode Ida ;
Komisioner Ombudsman RI
|
KORAN SINDO, 11 Maret
2016
Upaya revisi
Undang-Undang (UU) No 8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) direncanakan
akan segera dibahas bulan ini. Pembahasan ini harus menjadi pintu masuk untuk
menemukan pimpinan daerah yang berkualitas, memiliki dedikasi, dan
berintegritas tinggi. Jika tidak, jabatan kepala daerah hanya akan terus
dijadikan sebagai tempat untuk unjuk kekuasaan dan akumulasi harta bagi para
politisi.
Sementara praktik
korupsi akan tetap merajalela dan pelayanan publik akan terus terbengkalai.
Jabatan kepala daerah dalam konteks ini harus diposisikan sebagai elemen
terpenting penentu terciptanya pemerintahan yang baik (good governance). Dengan harapan secara bertahap bisa mewujudkan
rakyat sejahtera, sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 dan
menjadi tujuan dari kebijakan otonomi daerah.
Desentralisasi
kewenangan pemerintah pusat kepada daerah otonom yang begitu besar memastikan
taruhan nasib rakyat bangsa ini bergantung pada pimpinannya yang diproduk
melalui pilkada langsung. Namun, diakui atau tidak, para kepala daerah produk
demokrasi langsung umumnya masih terus melahirkan figurfigur yang lebih
menonjolkan kekayaan diri, keluarga, dan kelompok (barisan kekuatan
politiknya). Mereka memanfaatkan anggaran negara yang digelontorkan oleh
pemerintah pusat ke daerah-daerah, yang tiap tahun kian bertambah jumlahnya.
Sementara pengelolaan proyek-proyek
pembangunan (keuangan daerah) dan birokrasi masih bertumpuk pada arahan sang
pejabat politik itu. Perilaku korup para kepala daerah seperti itu dalam
hemat penulis setidaknya terjadi karena dua faktor utama. Pertama, sejak awal
orientasi pribadi mereka bukanlah mengabdi pada rakyat, melainkan untuk
memperkaya diri.
Rakyat daerah umumnya
tertipu oleh berbagai jargon memikat seolah-olah akan hadir sebagai pahlawan
untuk membantu atau membangun rakyat dan daerah. Padahal, hal itu tak lebih
dari sekadar retorika hipokrit dari politisi sebagai produk para konsultan
yang dibayar mahal; di mana setelah terpilih semuanya dilupakan. Cara-cara
seperti itu kemudian berkembang menjadi semacam budaya politisi yang berjuang
merebut kedudukan.
Kedua, ada biaya
tinggi dalam proses-proses politik pencalonan. Sudah menjadi rahasia umum
bila sejak awal calon harus mencari kendaraan politik sendiri, kampanye
dengan biaya besar, dan pembayaran saksi ditanggulangi oleh dana pribadi. Hal
itu menjadikan kepala daerah harus menebusnya.
Sebagian alat peraga
kampanye (APK) sebenarnya sudah disiapkan juga oleh penyelenggara. Namun,
barangkali sudah dianggap tak penting lagi karena yang disiapkan sendiri
sudah jauh lebih memadai—semuanya merupakan bagian dari biaya yang keluar
dari kantong para calon kepala daerah dan atau kelompok pendukungnya. Dalam
praktiknya, peluang menyalahgunakan jabatan untuk memperoleh ”ganti untung”
dari anggaran pribadi (dan kelompok pendukung) yang sudah dikeluarkan itu
ternyata memang terbuka.
Terutama saat
birokrasi di daerah jauh dari nilai-nilai profesionalisme. Kepala daerah
sangat menentukan dalam penempatan para pejabat yang mendampinginya mulai
dari sekretaris daerah, kepala-kepala dinas, sampai pada administrator yang
secara langsung menangani berbagai proyek yang dibiayai anggaran pendapatan
dan belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Itulah bagian dari
kondisi nyata pengelolaan daerah di bawah pimpinan yang dilahirkan oleh
kekuatan modal. Negara ini akhirnya semakin berada di bawah kendali modal,
yang menumpang dalam proses-proses politik demokrasi. Untuk menjadi kepala
daerah ternyata tidak memerlukan orang-orang yang hebat dalam bidang keilmuan
tertentu, tak perlu sekolah tinggi-tinggi lagi, karena cukup bermodalkan
popularitas.
Popularitas sendiri
bisa dengan mudah diperoleh jika memiliki banyak uang karena cukup dengan
memasang berbagai APK atau alat peraga sosialisasi diri (APSD). Termasuk
melakukan berbagai aksi blusukan seraya menunjukkan sikap dermawan seketika
layaknya sinterklas. Caracara seperti itu tentu saja akan selalu efektif bagi
sebagian besar warga bangsa ini yang masih banyak tergolong miskin.
Mereka tak sadar bahwa
politisi calon pemimpin daerah itu sedang melakukan siasat ”pengelabuan”
untuk membangun citra dan sekaligus menjadikan rakyat terhipnosis, lalu
memilih saat pencoblosan pada hari ”H”. Maka, tidak heran kalau figur
”preman” pun yang ditopang oleh kekuatan dana yang besar bisa tercitrakan
sebagai tokoh idola yang kemudian tampil sebagai kepala daerah.
Tidak perlu heran pula
jika kemudian rakyat tidak terlayani dengan baik, agenda pembangunan daerah
tidak direncanakan secara sistematis-berkelanjutan. Hal itu karena
orientasinya lebih pada pengejaran proyek-proyek yang bisa langsung bisa
menghadirkan ”uang pengganti” biaya proses-proses politik. Singkatnya, daerah
dan rakyat digadaikan ke figur-figur ”pedagang berbasis kekuasaan”, tidak
berorientasi pada pelayanan untuk kesejahteraan rakyat dan kemajuan daerah.
Apa yang mau dikatakan
di sini bahwa kecenderungan perilaku dan munculnya figur-figur politisi
seperti itulah yang harusnya diantisipasi melalui revisi UU Pilkada. Pertama,
harus ada syarat yang bersanksi tegas bahwa APSD dan APK tidak boleh
diserahkan secara bebas dilakukan oleh figur calon kepala daerah, melainkan
harus dikanalisasi melalui penyelenggara atau melalui Komisi Pemilihan Umum
(KPU) setiap daerah.
Pada saat yang sama
harus ditegaskan pula bahwa distribusi APK baru bisa dilakukan oleh KPU berdasarkan
tahapan pemilu. Dan, terhadap siapa pun yang tidak menaati ketentuan itu,
tidak boleh diberi ruang untuk masuk dalam bursa calon kepala daerah.
Syarat seperti ini
sekaligus juga memastikan bahwa figur pimpinan daerah tidak boleh muncul
tiba-tiba sebagai produk rekayasa dengan kekuatan finansial, melainkan harus
melalui proses pengaderan melalui jalur publik, dunia politik dan
administrasi pemerintah, termasuk figur dari daerah yang sudah dikenal luas
oleh masyarakat lokal. Hal itu juga untuk memperkecil ruang dominasi dari
figur-figur pragmatis yang memiliki dukungan pendanaan yang kuat—suatu
prinsip keadilan dalam proses politik. Kedua, pemberian sanksi atas berbagai
pelanggaran dalam proses pilkada haruslah tegas.
Sudah menjadi bagian
dari fakta dalam setiap pilkada, praktik politik uang (money politics) dengan berbagai modusnya selalu saja tak dikenai
sanksi apa pun—karena memang tak diatur tegas dalam UU pilkada. Demikian juga
bila oknum penyelenggara pilkada (KPU) yang bermain mendukung pasangan calon
tertentu dengan berbagai cara. Misalnya saja menempatkan aparat penyelenggara
pilkada di panitia penyelenggara kecamatan (PPK) dan panitia penyelenggara
desa (PPS), tempat pemilihan suara (TPS), manipulasi hasil, dan sebagainya.
Kelalaian dalam hal
tersebut paling keras hanya akan memperoleh sanksi dari Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP), di mana proses itu biasanya berlangsung di akhir
masa pilkada. Padahal, pelanggaran dilakukan dalam proses-proses merebutkan
suara di lapangan yang seharusnya memiliki mekanisme penalti saat ada temuan
di lokus kejadian. Maka, tidak heran bila banyak anggota/ pimpinan KPU di
daerah yang kaya mendadak setelah pilkada.
Apalagi, bagi mereka
yang sudah melakukan konspirasi dengan pemenang untuk memberi kompensasi atau
jasa oknum-oknum KPU di daerah itu, berupa proyek-proyek yang ada. Dalam
kaitan dengan ketiadaan sanksi terhadap pelanggaran itu, sebenarnya tak bisa
dilepaskan dengan mandulnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Rekomendasi lembaga
ini nyaris tak berpengaruh apa-apa di daerah karena selalu diabaikan.
Apalagi, begitu banyaknya cela baik dalam UU maupun dalam berbagai aturan
penyelenggara pilkada yang bisa digunakan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan. Bawaslu/Panwaslu selalu lemah dalam basis argumen legalnya,
saat menunjukkan fakta-fakta yang dianggap pelanggaran itu.
Parahnya lagi,
anggaran Bawaslu/ Panwaslu di daerah sangat bergantung pada anggaran dari
APBD, sementara pihak pemda biasanya memiliki preferensi calon pasangan dalam
pilkada, termasuk petahana yang sedang bertarung. Bawaslu/ Panwaslu dalam
kaitan ini tentu diharapkan untuk terus sejalan dengan keinginan pihak pemda.
Bila tak sejalan, dapat dipastikan lembaga ini akan kesulitan anggaran.
Ketiga , putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) khususnya terkait ”hak figur mantan narapidana” dan
dinasti politik seharusnya diformulasikan sebagai syarat yang tidak
diperbolehkan maju sebagai kepala daerah. MK pun harus disadarkan agar
putusannya bisa lebih berwatak negarawan sejati, bukan sekadar berdasarkan
pertimbangan hak-hak politik warga negara.
Bagaimana mungkin
seorang yang terbukti sebagai penjahat ternyata kemudian menjadi pimpinan
daerah. Bukankah seorang pemimpin harusnya sekaligus sebagai acuan perilaku
bagi warganya? Demikian juga dengan pembiaran dinasti politik yang sudah
terbukti bukan saja tidak fair dalam proses perebutan jabatan kepala daerah,
melainkan juga bertentangan dengan nilainilai reformasi khususnya
”nepotisme”.
Keempat, kewenangan MK
dalam menangani sengketa pilkada yang hanya dibatasi maksimal selisih angka
2% haruslah ditinjau ulang. Syarat itu memiliki kandungan yang berdaya dorong
akan kuatnya berbagai pelanggaran, termasuk politik uang hanya untuk meraup
suara sebanyak mungkin dan memperkecil selisih perolehan suara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar