Sabtu, 12 Maret 2016

Setengah Abad Supersemar

Setengah Abad Supersemar

Budiarto Shambazy ;   Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 12 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jumat, 11 Maret 2016 kemarin, pas setengah abad Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) terbit. Inilah salah satu tonggak penting sejarah perubahan politik kita. Penerbitan Supersemar, yang ditandatangani Presiden Soekarno, bukanlah peristiwa terpisah dengan berbagai kejadian sejarah tahun-tahun sebelumnya. Supersemar akumulasi dari upaya pendongkelan Bung Karno melalui kudeta merangkak.

Semua diawali kekecewaan TNI, khususnya TNI AD, yang berpuncak pada pemberontakan PRRI/Permesta di sejumlah provinsi tahun 1957-58. Kemudian keputusan Bung Karno menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959, dokumen yang menumpas demokrasi kita pasca Pemilu 1955.

Melalui Demokrasi Terpimpin, Bung Karno memerintah dengan tangan besi, antara lain menangkapi para oposan (termasuk Sutan Sjahrir) dan membredel media cetak. Tak lama kemudian, Bung Karno bertualang dengan politik Konfrontasi terhadap Malaysia yang berpuncak pada keluarnya Indonesia dari Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB).

Sejak 1960, nyaris setiap tahun dan bulan terdengar rumor mengenai rencana kudeta. Akhirnya "kudeta" terjadi juga ketika jenderal-jenderal diculik oleh pasukan pimpinan Letkol Untung Sjamsuri pada pagi buta 1 Oktober di Menteng dan Kebayoran Baru.

Situasi politik tahun 1966 semakin bergejolak setelah Gerakan 30 September 1965 pecah. Entah berapa ratus ribu (bahkan mungkin lebih dari sejuta) warga ditangkapi, disiksa, dipenjara, bahkan dibunuh di tempat.

Pasca diterbitkannya Supersemar, sekitar Februari 1967, posisi Presiden Soekarno semakin terjepit. Apalagi setelah Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal TNI Soeharto menduduki jabatan strategis sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera/Pengemban Supersemar/Pangkopkamtib.
Saat itu, hampir semua kalangan politik bersikap anti Bung Karno "Sang Proklamator". Ia bahkan dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas Gerakan 30 September 1965, sebuah tudingan keji.

Pertanggungjawaban Bung Karno di MPRS, 22 Juni 1966, berjudul "Nawaksara", begitu juga "Pelengkap Nawaksara", 10 Januari 1967, ditolak mentah-mentah oleh lembaga perwakilan rakyat tersebut.

Tanggal 7 Februari 1967, Bung Karno melalui dua surat yang disampaikan lewat tokoh PNI, Hardi SH, menawarkan konsep "surat penugasan khusus" kepada Soeharto. Esok harinya, tawaran tersebut ditolak.

Pada 10 Februari, Soeharto menemui Bung Karno membicarakan penolakan itu dan menyampaikan keinginan para menteri panglima keempat angkatan. Esoknya, semua menteri panglima angkatan menemui Bung Karno, menawarkan konsep "Presiden berhalangan dan menyerahkan kekuasaan" kepada Soeharto sebagai pengemban Supersemar.

Butir pertama, "Kami Presiden RI/Mandataris MPRS/Pangti terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban Tap MPRS Nomor IX/1966 Jenderal Soeharto sesuai dengan jiwa Tap MPRS Nomor XV/1966 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD '45".

Butir kedua, "Pengemban Tap MPRS Nomor IX/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden setiap waktu dirasa perlu". Waktu bergerak cepat ke Maret saat MPRS mengakhiri kekuasaan Bung Karno, 12 Maret 1967, melalui Tap MPRS XXXIII/ MPRS/1967 Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.
Tap MPRS lainnya menyatakan mencabut gelar "Pemimpin Besar Revolusi". MPRS menetapkan Manifesto Politik (Manipol) digantikan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara).

Posisi Bung Karno tidak terlalu lemah sampai medio 1966. Awal 1966, masih banyak mahasiswa dan pelajar mendukung lewat slogan "Rapatkan Barisan Bung Karno-Rakyat-ABRI" atau melalui gerakan Barisan Pendukung Soekarno.

"From hero to zero"

Kalau mau melawan, Bung Karno masih didukung berbagai kalangan, tetapi dia mengalah karena tak mau bangsa terpecah. Ketika keluar dari Istana Bogor, Juli 1968, Bung Karno memulai kehidupan from hero to zero.
Ia tidak hanya dituduh memborong tanah di Bogor, tetapi juga disinyalir memiliki vila mewah di Meksiko. Lemhannas mempersoalkan Bung Karno pahlawan atau pengkhianat, Legiun Veteran Republik Indonesia meralat bahwa dia bukan anggota.

"Kudeta merangkak" terhadap Bung Karno menghilangkan kejayaan kita sebagai bangsa besar dengan militer disegani, mandiri dengan SDM dan SDA melimpah, dengan utang luar negeri 2,5 miliar dollar AS, dan dengan etika moral-politik yang transformatif (non-transaksional). Selamat datang Orde Baru!

Entah siapa yang menciptakan istilah "Orde Baru". Namun, tak lupa dibuat pula identitas "Orde Lama" sebagai pembanding yang konon lebih buruk dibandingkan dengan Orde Baru.

Tak sampai lima tahun setelah lahir, sejumlah kalangan dan tokoh sudah mengkritik Orde Baru menyimpang dari cita-citanya. Demokrasi mulai ditinggalkan, pers dan oposisi dibungkam, korupsi pun merajalela.
Pemilu-pemilu Orde Baru sejak 1971 mulai direkayasa demi kemenangan Golkar. Rezim Orde Baru memaksakan pula fusi partai tahun 1973 sebagai cara untuk melakukan deparpolisasi dan depolitisasi sekaligus.

Mungkin, Orde Baru dianggap "sukses" karena Soeharto lebih memusatkan perhatian pada pembangunan ekonomi. Ironisnya, pembangunan ekonomi inilah yang jadi sumber korupsi melalui metode yang kurang masuk akal dan menimbulkan kerugian dalam jumlah yang gila-gilaan.

Meski Bung Karno founding father bangsa ini, apakah kita perlu menganggapnya tidak pernah salah? Walau Soeharto sosok yang tak luput dari kesalahan-kesalahannya, apakah kita harus melupakan juga jasa-jasa dia?

Manusia bagaikan aki atau baterai, pasti memiliki kutub plus dan minus. Sejarah tetap memberikan tempat untuk menilai Supersemar sebagai akumulasi dari proses kudeta merangkak terhadap Bung Karno. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar