Mondialisasi Islam Moderat
Zuhairi Misrawi ;
Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Ketua Moderate Muslim Society
|
KOMPAS, 04 Maret
2016
Imam Besar Al-Azhar,
Mesir, Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Thayyeb, bersama para ulama dari berbagai dunia
Islam, melakukan kunjungan ke Tanah Air membawa pesan pentingnya Islam
Moderat digemakan secara mondial.
Ia memandang Indonesia
sebagai negara yang punya latar sejarah dan masyarakat yang berpegang teguh
pada moderasi Islam. Dalam beberapa tahun terakhir, di tengah ancaman
ekstremisme global, dunia internasional mulai melirik Indonesia sebagai tanah
harapan tumbuhnya paham keislaman yang moderat. Menurut Thayyeb, ”Umat Islam di Indonesia mampu menggali
khazanah Islam yang hanif, termasuk di dalamnya nilai-nilai yang bersifat
legalitas-formal dan etika sosial. Islam menjadi sumber keadilan,
egalitarianisme, dan inklusivisme.”
Ahmad Muslimani
(2015), pemikir asal Mesir, dalam Jihad dhidd al-Jihad memuji Indonesia
sebagai contoh terbaik persemaian moderasi Islam di dunia. Di samping
mempunyai para pemikir Muslim yang brilian, negeri ini beruntung mempunyai
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang selama ini menjadi lokomotif
Islam Moderat.
Muslimani menambahkan,
pemikiran Muhammad Abduh tumbuh subur di Tanah Air, di samping
pemikiran-pemikiran progresif lain. Pengaruh pemikiran progresif Mesir dalam
lanskap keberislaman di Tanah Air bukanlah mengada-ada. Ada ribuan alumnus
Universitas Al-Azhar yang saat ini berkiprah di Tanah Air. KH Abdurrahman Wahid,
KH Mustafa Bisri, Quraish Shihab, Alwi Shihab, Tuan Guru Zainul Majdi, Abdul
Ghoful Maemun, dan lain-lain. Mereka menjadi duta-duta moderasi Islam yang
sudah berabad-abad dikembangkan oleh Al-Azhar di Mesir.
Tidak bisa dimungkiri
ada benang merah antara moderasi Islam ala Al-Azhar, Mesir, dan langgam
moderasi Islam yang berkembang di Tanah Air, baik melalui NU-Muhammadiyah
maupun pemikiran-pemikiran yang dikembangkan para ulama dan kaum cendekiawan.
Namun, Islam Moderat
dalam beberapa dekade mutakhir sedang menghadapi tantangan cukup serius.
Pertama, tantangan eksternal. Masalah Palestina masih menjadi batu sandungan
yang cukup serius dalam membangun moderasi Islam. Hampir semua gerakan
ekstremis menjadikan Palestina isu utama untuk membangkitkan ideologi
kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Di samping itu, peta geopolitik di
Timur Tengah yang menyebabkan negara-negara adidaya kerap berkoalisi dengan
rezim-rezim yang melindungi kelompok ekstremis juga menjadi tantangan serius.
Akibatnya, kelompok ekstremis mampu memperluas cengkeraman kekuasaannya,
seperti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS).
Kedua, tantangan
internal. Absennya nilai-nilai demokrasi dan rapuhnya HAM telah menyebabkan
instabilitas politik di dunia Islam. Agama kerap dihadirkan dalam wajahnya
yang seram dan menakutkan. Jangankan relasi dengan agama lain, relasi di
antara sesama agama saja penuh kebencian, bahkan menghalalkan kekerasan dan
pembunuhan. Imam Besar Syekh Thayyeb menggarisbawahi fenomena takfir, yaitu
sikap saling mengafirkan antarkelompok. Yang paling mencuat ke permukaan di
Timur Tengah saat ini adalah saling mengafirkan antara Sunni dan Syiah.
Menurut Thayyeb, fenomena ini tidak bisa dibiarkan karena sama sekali tidak
menguntungkan umat Islam.
Sunni dan Syiah merupakan
dua sayap dalam Islam. Tak boleh salah satu di antara mereka saling
menegasikan satu dengan yang lain. Keduanya harus bersatu-padu untuk
menggaungkan misi perdamaian dan keramahtamahan dalam Islam. Sangat
disayangkan, ketika di dalam masjid, ayat Al Quran yang dikutip perihal
pentingnya memperkuat persaudaraan dan toleransi. Namun, ketika keluar dari
masjid, justru yang disebarluaskan seruan pada kebencian dan kekerasan.
Realitas ini sangat memilukan.
Indonesia perlu proaktif
Karena itu, Al-Azhar
sebagai benteng Islam Moderat bersama para ulama dari dunia Islam, khususnya
dari Indonesia yang diwakili Quraish Shihab melalui Dewan Muslim Bijak (Majlis
Hukama al-Muslimin) memandang perlu untuk menggemakan kembali Islam Moderat.
Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dan
sejarah sudah membuktikan bahwa ekspresi keberagamaannya sangat toleran dan
ramah. Indonesia diharapkan dapat lebih proaktif dalam menyuarakan Islam rahmatan lil ’alamin ke seantero
dunia.
Menurut Syekh Thayyeb,
ada dua hal penting yang harus dikumandangkan terkait doktrin Islam rahmatan lil ’alamin. Pertama, umat
Islam harus memahami dengan saksama bahwa kasih sayang (rahmah) tujuan utama dari Islam. Dalam Al Quran terdapat
setidaknya 315 kata yang menegaskan pentingnya kasih sayang. Dalam sebuah
hadis Nabi Muhammad SAW disebut sebagai ”Nabi Kasih Sayang”.
Kedua, umat Islam
harus memahami bahwa kasih sayang diamalkan bukan hanya untuk sesama umat
Islam, melainkan semua penghuni alam semesta. Bahkan, tak hanya kepada sesama
manusia apa pun agama dan keyakinannya, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan,
dan benda mati. Paradigma Islam Moderat dibangun di atas prinsip kasih
sayang. Paradigma itu harus mengakar kuat dalam tubuh umat Islam dalam rangka
menggeser paradigma kekerasan dan kebencian yang mulai subur dikampanyekan
kaum ekstremis. Salah satu cara paling efektif adalah menjadikan lembaga
pendidikan dan forum keagamaan sebagai kanal untuk menyebarluaskan paham
Islam Moderat.
Maka dari itu, langkah
yang diinisiasi Al-Azhar sangat tepat. Al-Azhar mesti menggandeng dunia Islam
yang seluas-luasnya untuk melakukan mondialisasi Islam Moderat. Gerakan untuk
menyebarluaskan paham kasih sayang harus melibatkan para ulama dan organisasi
sosial-kemasyarakatan yang terbukti mempunyai basis massa yang mengakar kuat.
Hal ini harus
dilakukan sesegera dan semasif mungkin untuk membendung arus mondialisasi
radikalisme dan ekstremisme yang kerap menggunakan jubah agama. Mesti
disadari dan diwaspadai bahwa kelompok-kelompok ekstremis sangat aktif
merekrut anak-anak muda dan mereka yang punya pemahaman awam tentang Islam.
Salah satu langkah yang harus dilakukan para ulama adalah menyebarluaskan
paham Islam Moderat melalui media sosial. Kaum ekstremis selama ini telah
berhasil menggunakan media sosial sebagai ajang menawarkan gagasan mereka
sekaligus mendelegitimasi para ulama yang punya pandangan moderat.
NU dan Muhammadiyah
sejatinya dapat berperan lebih aktif lagi untuk mendukung langkah yang
diambil Al-Azhar agar Islam Moderat dijadikan sebagai paham yang mendunia.
Saatnya kedua ormas yang sudah terbukti memperkuat sendi-sendi kebangsaan dan
kemanusiaan di negeri ini dapat menginspirasi dunia agar ekspresi keagamaan
dapat mendorong hidup saling menghormati dan menghormati serta dapat menerima
perbedaan dan keragaman.
Saat ini, kita hidup
dalam pertarungan untuk menjadikan agama sebagai sumber kasih sayang atau
justru sebaliknya menjadikan agama sumber kekerasan. Pertarungan ini perlu
pemikiran dan kerja nyata. Kita sebagai sebuah negara-bangsa relatif berhasil
menebarkan paham Islam Moderat. Namun, butuh kerja keras lagi untuk
membendung arus ekstremisme yang mengatasnamakan agama sembari melakukan
mondialisasi paham Islam Moderat ke seantero dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar