Potensi Energi Terbarukan
Bambang Susantono ;
Wakil Presiden Bank Pembangunan
Asia
|
KOMPAS, 04 Maret
2016
Banyak pihak
berpendapat bahwa secara teknis dunia tidak mungkin digerakkan oleh energi
terbarukan 100 persen, apalagi apabila kita berbicara tentang keterjangkauan
dari harga energi yang harus dipikul masyarakat.
Pendapat ini boleh
jadi sebentar lagi akan menjadi pendapat kuno karena mengganti bahan bakar
fosil bukan hanya layak secara teknis, melainkan juga secara ekonomis.
Hal ini sejalan dengan
pertemuan negara-negara tentang perubahan iklim di Paris (COP21) yang
mencanangkan bahwa konversi bahan bakar berbasis fosil (fossil fuel) ke energi terbarukan untuk pembangkit listrik
diharapkan rampung pada 2050.
Beberapa negara,
seperti Denmark dan Kosta Rika, beserta 100 kota di dunia, termasuk Stockholm
dan San Fransisco, telah mencanangkan akan melakukan dekarbonisasi. Asia yang
menyumbang lebih dari setengah peningkatan emisi global dalam 20 tahun ke
depan sudah seharusnya ikut serta dalam upaya global ini. Sebuah studi yang
menggambarkan peta jalan (roadmap)
35 tahun untuk mengubah Amerika Serikat menjadi 100 persen energi terbarukan
diluncurkan Stanford University.
Studi ini menimbulkan debat yang cukup hangat di kalangan bisnis dan
akademis.
Lebih murah
Tidak seperti yang
dibayangkan, potensi sumber daya energi terbarukan jumlahnya cukup untuk
menggantikan pembangkit energi konvensional. Riset Bank Pembangunan Asia
(ADB) untuk energi bertenaga angin dan matahari di Asia Barat dan Tengah,
serta data tentang pembangkit tenaga air dari Dewan Energi Dunia (World Energy Council) memperlihatkan
hal ini.
Data memperlihatkan
potensi jumlah energi terbarukan yang dapat dibangkitkan 40 kali lipat dari
kapasitas pembangkit listrik di tahun 2012 di wilayah tersebut. Beberapa
negara, seperti Myanmar, memiliki potensi energi terbarukan 56 kali dari
kapasitas pembangkit saat ini. Sementara Vietnam 26 kali, Indonesia 20 kali,
Filipina dan Tiongkok 17 kali, dan Sri Lanka 10 kali.
Perkembangan di Eropa
memperlihatkan bahwa tidak hanya kuantitas, tetapi juga harga pembangkit
energi terbarukan telah berada pada tahap terjangkau, serta biayanya cukup
kompetitif apabila dibandingkan dengan pembangkit konvensional.
Rata-rata biaya
penyediaan listrik secara global (levelized
cost of electricity/LCOE) untuk pembangkit solar (tenaga matahari) telah
turun menjadi 12,2 sen per kWh dari 30 sen per kWh pada 2009. Sementara
pembangkit bertenaga angin saat ini 8,3 sen per kWh dibandingkan 10 sen di
tahun 2009. Harga ini menjadikannya lebih murah daripada pembangkit bertenaga
gas alam dan batubara.
Energi terbarukan juga
dapat lebih murah di Asia. Di Tiongkok, on-shore wind berada pada biaya 7,7
sen per kWh dibandingkan dengan 11,3 sen per kWh untuk pembangkit bertenaga
gas. Bloomberg New Energy Finance
memproyeksikan harga pembangkit matahari (solar photovoltaic) di Asia Pasifik
akan turun menjadi 12 sen per kWh pada jangka menengah. Di India, pembangkit
berbasis energi terbarukan dengan harga 4,63 rupee (7 sen per kWH) baru saja
diberikan kepada Sun Edison.
Pembangkit dengan
energi terbarukan juga sangat menarik apabila ditinjau dari besarnya subsidi
yang dapat dihemat yang diperkirakan sebesar 5 triliun dollar AS per tahunnya
untuk pembangkit konvensional. Harga global (LCOE) untuk batubara mencapai 41
sen per kWh sudah dengan memperhitungkan subsidi sebesar 3,1 triliun dollar
AS.
Bagaimanapun
implementasi kebijakan untuk menggunakan pembangkit energi terbarukan
tidaklah mudah. Mengganti kapasitas bahan bakar fosil secara global dapat
memakan biaya dari 4 triliun dollar AS hingga 40 triliun dollar AS,
tergantung dari jenis teknologi yang akan digunakan. Meskipun demikian,
dengan menghilangkan subsidi batubara dimungkinkan investasi yang ditanamkan
kembali dalam waktu 12 tahun.
Periode pengembalian
investasi ini dapat lebih pendek apabila teknologi yang memungkinkan energi
bersih (clean energy) dapat dipercepat sehingga lebih mudah diakses,
pembiayaannya lebih efektif, dan lebih mudah penyimpanannya. Graphene, sebuah
jenis dari karbon yang sangat kuat tetapi ringan, yang memungkinkan efisiensi
dari solar panel (matahari) menjadi dua kali lipat dan digunakan dalam super
batteries, saat ini dalam tahap produksi massal.
Harvard University
menciptakan baterai organik yang memungkinkan pembangkit cahaya matahari dan
angin menyediakan listrik yang stabil dengan biaya kurang dari 2 sen per kWh.
Teknologi percetakan tiga dimensi (3D) membuka kemungkinan untuk memproduksi
baterai dan solar panel (matahari) yang lebih murah di mana pun.
Langkah ke depan
Salah satu kritik pada
energi terbarukan adalah konsumsi lahan yang berlebihan. Namun, secara global
energi terbarukan hanya membutuhkan 1,4 persen lahan. Untuk negara dengan
luasan lahan yang terbatas, hal ini mungkin menjadi kendala, tetapi
peningkatan efisiensi energi yang ada dan kerja sama antarnegara dapat
menjadi salah satu solusi.
Pengalihan ke sumber
energi terbarukan juga akan menstimulasi ekonomi. Stanford University
menyatakan bahwa secara neto, hal ini akan mencetak 20 juta tenaga kerja
secara global dan menstabilkan harga energi.
Sementara itu, biaya
yang harus dipikul apabila tidak dilakukan aksi (do nothing) sangat tinggi.
Polusi udara telah memakan korban 3,7 juta orang meninggal tahun 2012. Jumlah
ini lebih dari dua kali lipat jumlah orang yang meninggal akibat HIV pada
tahun yang sama.
Waktu untuk melakukan
aksi menjadi variabel yang sangat penting. Jumlah CO2 meningkat dari 350 ppm
menjadi 400 ppm, dalam waktu 29 tahun. Para ilmuwan berpendapat bahwa dunia
akan mengalami pemanasan global sebesar 2 derajat atau lebih apabila jumlah
CO2 mencapai 450 ppm. Pemanasan global sebesar ini dapat meningkatkan muka
air laut secara signifikan dan mengancam kehidupan kota-kota pesisir.
Hal ini menyisakan
peluang untuk membereskannya dalam waktu kurang dari 30 tahun. Suatu hal yang
tidak mudah karena hijrah ke energi terbarukan bagi kota-kota di Asia
kemungkinan besar akan membutuhkan waktu lebih lama daripada kota-kota di
negara maju. Negara-negara Asia akan membutuhkan berbagai sumber pendanaan,
teknik untuk memprioritaskan program dan proyek, serta kerangka kebijakan
yang mendukung energi terbarukan. Kapasitas para pelaku dan pemangku
kepentingan juga harus ditingkatkan, khususnya yang berhubungan dengan tenaga
angin, tenaga matahari, dan penyimpanan energi.
Di balik ini semua,
tantangan terbesar adalah membalikkan pendapat bahwa energi konvensional tak
tergantikan. Pola pikir lama harus ditinggalkan, dan kita harus bertekad
untuk menggunakan energi terbarukan bukan lagi sebagai opsi, melainkan
menjadi kebutuhan kita bersama untuk masa depan yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar