Menyehatkan PTN-PTS
Elfindri ;
Profesor Ekonomi SDM
Universitas Andalas;
Koordinator Kopertis X Periode
2008-2010
|
KOMPAS, 04 Maret
2016
Sepuluh perguruan
tinggi terbaik di Amerika Serikat dikelola oleh badan swasta. Mereka lahir
dan berkembang ratusan tahun dengan memanfaatkan dana abadi, endowment funds.
Cukup dengan bunga
bank dan pendapatan sendiri, perguruan tinggi (PT) telah dapat membiayai
operasionalisasi mereka untuk pendidikan yang berkualitas tinggi. Universitas
Harvard, misalnya, memiliki dana abadi sebesar 36,4 miliar dollar AS, setara
Rp 473,2 triliun.
Titipan dana dari
keluarga kaya filantropis untuk riset di dunia pendidikan tinggi—seperti
Rockefeller, John F Kennedy, dan Melinda Gates—telah dirasakan manfaatnya. Di
Indonesia, menemukan filantropis seperti itu untuk pengembangan PT barang
sangat langka. Padahal, persoalan PT di Indonesia tidak terlepas dari
minimnya sumber pendanaan yang membuat mereka banyak yang sakit-sakitan.
Dilema PNBP
Di Indonesia,
pembangunan kampus dan operasionalisasi 130 perguruan tinggi negeri (PTN)
dibiayai keuangan negara. Bersumber terutama dari pajak, utang luar negeri,
dan dari dana masyarakat. Tidak ada PTN yang kebagian titipan dana dari para
filantorpis kaya sehingga PTN murni hidup dari skema pendanaan yang diatur
menurut ketentuan keuangan negara.
Negara pun membuat PTN
sebagai sebuah badan yang mengelola pemasukan melalui Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP).Semakin besar PNBP, semakin besar alokasi dana untuk PT. Begitu
formulasinya.
Dengan formula seperti
ini, PT berlomba-lomba memperbanyak jumlah mahasiswa. Pada PT yang jumlah
mahasiswanya banyak, visi kualitas bisa menjadi kabur untuk dicapai. Ini
sebuah penjelasan kenapa tak kunjung muncul PTN Indonesia masuk ke dalam
kelas 100 terbaik di Asia.
Dosen-dosennya
berjuang dengan lelah, mengajar dari kelas ke kelas. Risetnya jadi tertinggal
jauh. Para akademisi yang berpotensi juga habis waktunya menjabat untuk
keperluan yang tidak sejalan dengan profesionalisme pengembangan akademik.
Semula banyak dosen
yang berpotensi. Akhirnya banyak yang hilang dimakan waktu. Menjabat jauh
lebih menjanjikan dibandingkan menekuni bidang keilmuan. Ruang kerja dosen
banyak yang kosong, pusat riset hampir tidak muncul, kontrak-kontrak riset
belum terinstitusi.
Akibatnya, masih
banyak PTN yang sakit. Katakanlah nilai akreditasi institusi sebagai salah
satu indikator dalam menilai kesehatan organisasi PT. Hingga Januari 2016,
baru 18,2% PT yang mengajukan akreditasi institusi. Hanya 16 dari 52 PTN
(30,7%) akreditasi institusi bernilai A.
Sementara dari 3.078
PT swasta (PTS), baru 111 (3,6%) mengajukan akreditasi institusi. Itu pun
4,5% saja yang mampu meraih akreditasi A. Sisanya B atau C. Masih ribuan yang
belum mengajukan proses akreditasi. Sebagian besar PTS ini mengalami sakit.
Belum termasuk yang dinyatakan berpraktik amburadul.
Mengerikan, memang,
mengingat PTS tempat bagi lebih dari 70% mahasiswa Indonesia menggantungkan
masa depannya. Namun, setelah mereka lalui, selesai melalui kuliah di PTS,
nilai tambah keilmuan dan eskternalitas sosial jauh panggang dari api.
PTS yang sakit-sakitan
karena banyak hal. Pertama, disorientasi pendiri yayasan. Dari kegiatan
sosial murni bisa berubah jadi komersialisasi. Ini muncul ketika terjadi
pergantian dewan pengurus, dewan pembina, atau pihak manajemen, sering muncul
konflik kepentingan.Cukup sulit memetakan keberadaan PTS.
Namun, secara
kasatmata, sekitar sepertiga PTS yang orientasinya masih luhur dan benar.
Seperlima mengalami konflik kepentingan. Sisanya justru PTS dijadikan
pundi-pundi pemasukan oleh pendiri, pengurus yayasan, atau manajemen sekolah.
Ada untuk pembiayaan bisnis, kepentingan pribadi, atau sebagai sumber dana
kampanye.
Kedua, PTS merasa
kalah bersaing dengan PTN dari sisi kualitas mahasiswa, termasuk mutu jurusan
yang dikelola. Karena dinamika waktu, jurusan-jurusan yang dulu favorit,
sekarang mulai tidak laris. Organisasinya jalan dengan subsidi jurusan yang
favorit. Sementara membuka jurusan yang laris manis terbentur pada
persyaratan pemenuhan dosen yang memiliki kualifikasi akademik minimum S-2.
Ketiga, dosen di PTS
hanya sedikit yang pas berfungsi sebagai dosen. Pihak yayasan bisa saja
mengalokasikan pembiayaan untuk meningkatkan pendidikan dosen, tetapi ketika
selesai pendidikan lanjutan mereka sering meninggalkan PTS pengirim. Sebab,
masuk menjadi pegawai negeri jauh lebih menjanjikan.
Faktor jumlah
mahasiswa terbatas, dosennya yang rendah kualitas, dan yayasan disorientasi
adalah akar masalah yang membuat PTS banyak jatuh sakit dan tumbang. PTS yang
mengalami kondisi ini sulit untuk maju ke arah yang lebih baik.
Diferensiasi misi PT
Pada kelompok PTS yang
masih lurus dan benar orientasinya, model pembinaan yang dilakukan pemerintah
masih mungkin. Di antaranya, pemerintah dapat menyediakan dosen berstatus
pegawai negeri yang diperbantukan ke PTS, penyediaan dana riset terinstitusi,
bantuan penyediaan laboratorium, serta pendampingan dalam pengembangan
akademik.Namun, bagi PTS yang orientasinya bisnis, apalagi yang memiliki
konflik internal, instrumen pembinaan di atas tidak mudah. Orientasi
pembinaan mesti ditujukan untuk menyehatkan organisasi terlebih dahulu.
Memperbaiki orientasi institusi, melengkapi data untuk kepentingan
perencanaan.
Misi PTN ke depan
fokusnya ditujukan memenuhi unsur Tri Dharma PT.PT berorientasi akademik
memerlukan dosen yang bermutu, laboratorium yang berkembang, dan bahan
perpustakaan yang lengkap, termasuk proses belajar-mengajar yang maju.Pada
kelompok PTS yang sakit-sakitan, misi mereka tidak selalu harus berorientasi
murni pendidikan akademik. Namun, justru fungsinya dapat diarahkan untuk
menjawab tantangan bagaimana menyediakan pendidikan yang orientasinya untuk
menghasilkan tenaga terampil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar