OKI dan Utang Sejarah
Eko Sulistyo ;
Deputi Komunikasi Politik dan
Diseminasi Informasi
pada Kantor Staf Presiden
|
KOMPAS, 03 Maret
2016
Pada 6-7 Maret 2016
pekan depan, Indonesia menjadi tuan rumah ”5th
Extraordinary Session of the Islamic Summit Conference on the Cause of
Palestine and Al-Quds Al-Shareef,” yang menjadi bagian dari Konferensi
Tingkat Tinggi Organisasi Kerja Sama Islam di Jakarta.
Konferensi yang
berlangsung sebagai respons terhadap permintaan Presiden Palestina Mahmoud
Abbas ini akan menghasilkan resolusi Deklarasi Jakarta yang akan menentukan
langkah-langkah dukungan konkret dan posisi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
dalam isu Palestina dan Al-Quds Al-Shareef.
Di luar konteks
darikonferensi itu, pertemuan ini bisa menjadi momentum yang tepat untuk membicarakan
peran yang lebih maksimal dari OKI itu sendiri. Kepemimpinan OKI oleh
negara-negara Timur Tengah terbukti gagal menyelesaikan banyak konflik di
antara negara-negara Islam. Bahkan, mereka ikut saling berkonflik satu sama
lain sehingga penyelesaian konflik Timur Tengah seperti benang kusut yang tak
jelas dari mana harus diurai. Akibatnya, legitimasi OKI dipandang sebelah
mata oleh negara-negara Barat. Dalam situasi seperti ini, wacana kepemimpinan
OKI di luar negara-negara Timur Tengah dapat menjadi langkah untuk mengurai
benang kusut konflik dan membawanya pada solusi damai melalui dialog dan
perundingan.
Pendirian OKI
dideklarasikan di Maroko tahun 1969 dengan anggota 25 negara. Saat ini,
jumlah anggota 57 negara. OKI didirikan berdasarkan keyakinan atas agama
Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan HAM dengan tujuan meningkatkan
solidaritas Islam, kerja sama politik, ekonomi dan sosial-budaya, mendukung
perdamaian dan keamanan internasional, melindungi tempat-tempat suci Islam,
dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan
berdaulat.
Meski masuk menjadi
anggota OKI, Indonesia adalah negara yang mempunyai konstitusi sekuler di
mana urusan agama dan negara menjadi suatu yang terpisah.Indonesia bukanlah
negara agama, yang menerapkan hukum syariah Islam menjadi fondasi negara
dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Indonesia adalah negara sekuler
yang menghargai nilai-nilai ketuhanan, tetapi menjalankan negara menurut
konstitusi UUD 1945, bukan berbasis syariah Islam.
Islam dalam konteks
Indonesia secara historis, sosiologis dan kultural adalah Islam moderat yang inklusif
dan dapathidup bersama dengan agama dan keyakinan lain.SituasiIndonesia ini
terus bertahan sejak zaman pemerintahan Soekarno hingga Jokowi. Memang,
radikalisasi terjadi dalam kelompok-kelompok kecil hingga yang ekstrem dalam
bentuk terorisme, tetapi secara umum Islam moderat yang diwakili dua ormas
Islam terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, adalah Islam mainstream yang paling berpengaruh.
Berbagai upaya
kelompok radikal dan terorisme, seperti ISIS, mengguncang tatanan Islam
moderat boleh dikatakan gagal. Rakyat Indonesia yang mayoritas Islam lebih
melihat kelompok-kelompok ini sebagai sempalan yang merusak citra Islam
sebagai agama cinta damai, agama rahmatan
lil alamin.
Jika dirunut ke
belakang, rekam jejak peran Indonesia dalam OKI memang dirasa masih terbatas,
kalau tidak boleh dibilang minim. Padahal, Indonesia negara dengan jumlah
penduduk beragama Islam terbesar di dunia dan mampu membuktikan bahwa
demokrasi dan Islam mempunyai nilai-nilai yang sejalan. Hal ini terjadi
karena orientasi ekonomi dan politik Indonesia di zaman Orde Baru sangat
dekat dengan kepentingan negara-negara Barat. Politik domestik pemerintahan
Orde Baru juga memandang curiga berlebihan kelompok Islam politikyang
distigmatisasi sebagai ekstrem kanan dan dianggap anti Pancasila.
Islam ”rahmatan lil alamin”
Dalam situasi dunia
Islam yang dipenuhi konflik dan peperangan satu sama lain dan melibatkan
banyak negara Barat seperti di Afganistan, Pakistan, Libya, dan Suriah
semakin membuktikan bahwa Islam moderat rahmatan lil alamin yang mengakar di
Indonesiamenjadi sangat relevan dan dapat ditransformasikan ke dalam OKI.
Makna Islam rahmatan lil alamin bahwa agama Islam
adalah pembawa rahmat dan kedamaian bagi seluruh alam dan bagi semua makhluk
hidup di muka bumi tanpa terkecuali.Islam rahmatan lil alamin tak mengajarkan
permusuhan dan perpecahan, tetapi persaudaraan (ukuwah), mengasihi (rahman),
dan menyayangi (rahim). Dalam
konteks lebih luas, perbedaan yang ada dalam Islam bukanlah untuk
diperuncing, tetapi menjadi sebuah kekuatan bersama untuk kemajuan bangsa.
Dalam Konferensi Asia
Afrika (KAA) di Bandung, April 2015, Presiden Jokowi berkesempatan membuat
forum dengan negara-negara OKI.Dalam pertemuan tersebut, Presiden mengusulkan
dibentuknya suatu contact group
dalam OKI yang menyuarakan Islam sebagai rahmatan
lil alamin. Pada September 2015, gagasan ini kembali disampaikan saat
Presiden bertemu di Arab Saudi dengan Sekjen OKI Iyad Madani. Sekjen OKI
menyatakan Indonesia merupakan contoh antara demokrasi dan Islam dapat
berjalan bersama-sama.
Gagasan Presiden
Jokowi mentransformasikan Islamrahmatan lil alaminIndonesia ke dalam OKI tampaknya
semakin relevan dengan kondisi internal negara Islam yang tercabik-cabik dan
relasi yang buruk dengan negara-negara Barat di antara beberapa negara
anggota. Gagasan ini sejalan dengan Mecca
Declaration dalam KTT Luar Biasa OKI ketiga di Mekkah, Arab Saudi, yang
mencantumkan prinsip-prinsip demokrasi, good
governance, pemajuan HAM, serta hak-hak perempuan dalam piagam baru OKI. Isu-isu
itu oleh Barat dianggap kelemahan negara-negara Islam.Dalam praktik memang
prinsip-prinsip ini belum dijalankan sepenuhnya di sejumlah negara anggota
OKI karena ada kecurigaan nilai-nilai itu adalah internalisasi nilai-nilai
Barat (liberal) ke dalam negara Islam, bukan sebagai prinsip universal yang
juga bagian internal dari nilai-nilai Islam itu sendiri.
Peran yang juga dapat
diambil lebih strategis oleh Indonesia adalah menjadi mediator berbagai
konflik dan peperangan di negara-negara Islam. Sejauh ini, kepentingan
negara-negara Barat dan Rusia tampaknya lebih mengambil inisiatif, sedangkan
negara-negara Islam lebih tampak mengekor di belakangnya. Indonesia bisa
mendorong OKI untuk tidak dalam posisi inferior menghadapi kepentingan Barat
dan memediasi berbagai konflik di antara negara-negara anggotanya. Posisi
Indonesia menjadi penting dalam OKI karena dianggap dapat menjadi jembatan
antara Barat dan Islam yang sepanjang sejarah selalu penuh konflik dan
curiga. Indonesia dianggap Barat dan negara Islam berhasil memadukan nilai
demokrasi Barat dengan nilai-nilai Islami rahmatan
lil alamin.
Usulan agar Islam rahmatan lil alamin yang sukses
dijalankan di Indonesia diinternalisasi ke dalam OKI, selain dapat dukungan
dari Sekjen OKI, juga didukung beberapa negara Timur Tengah lain, seperti
Sudan dan Mesir. Momentum ini menjadi pintu masuk agar Indonesia lebih
mengambil peran kepemimpinan dalam OKI dalam berbagai isu strategis danjalan
ideologis bagi OKI ke depan.
Dukungan kemerdekaan Palestina
Dalam pidato pembukaan
KAA di Bandung, April 2015, Presiden Jokowi secara lantang menyatakan, ”Kita
dan dunia masih berutang kepada rakyat Palestina. Dunia tidak berdaya
menyaksikan penderitaan rakyat Palestina. Kita tidak boleh berpaling dari
penderitaan rakyat Palestina. Kita harus mendukung sebuah negara Palestina
yang merdeka.” Dalam mendukung kemerdekaan Palestina, Indonesia berpegang
pada Nawacita sebagai pedoman strateginya, terutama butir ”mengintensifkan
proses dialog antarperadaban dan tata aturannya” dan ”pelaksanaan diplomasi
Indonesia dalam penanganan konflik di Timur Tengah”.
Presiden Jokowi
memasukkan dukungan bagi kemerdekaan Palestina sebagai salah satu tujuan
utama di peringatan KAA 2015 dan menghasilkan dokumenDeklarasi Palestina,
yang disetujui 32 kepala negara yang hadir.Deklarasi Palestinamenyatakan
pengakuan atas kedaulatan dan kemerdekaan Palestina dengan Jerusalem Timur
sebagai ibu kota, berdasarkan batas-batas wilayah pada 4 Juni 1967 dan
resolusi PBB yang relevan, serta solusi pendirian dua negara. Terpenting,
deklarasi ini juga memberikan dukungan penuh kepada Palestinasebagai anggota
tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Selain pengakuan
politik pada pendirian negara Palestina, Indonesia juga terlibat dalam
konsorsium antarnegara untuk memajukan pembangunan di Palestina.Pada awal
Maret 2014, Indonesia menyelenggarakan konferensi kerja sama negara-negara
Asia Timur dan Asia Tenggara untuk Pembangunan Palestina (CEAPAD) kedua di
Jakartayang dihadiri PM Palestina Rami Hamdallah, Menlu Palestina Riyad
Malki, Menlu Afrika Selatan Maite Nkoana-Mashabane, Menlu Jepang Fumio
Kishida, perwakilan negara-negara Asia tenggara, 13 negara pemantau, dan lima
organisasi internasional.Indonesia memberikan bantuan kepada Palestina dalam
lima sektor: infrastruktur, informasi dan teknologi komunikasi, pariwisata,
manufaktur, dan pertanian. Total bantuan Indonesia di semua sektor itu tak
kurang dari 1 juta dollar AS.
Di luar deklarasi
itu,Presiden juga terus mengupayakan cara memperkuatrelasi bilateral antara
Pemerintah RI dan Palestina. Pada pertemuan Jokowi-Rami Hamdallah juga
kembali ditegaskan komitmen membangun kantor konsulat di Ramallah,
Palestina.Selama ini, urusan Indonesia-Palestina ditangani KBRI di Amman,
Jordania, atau di Kairo, Mesir.Persoalannya, untuk membangun konsulat harus
berhubungan dengan Pemerintah Israel, tetapi Indonesia tak punya hubungan
diplomatik.
Dukungan Indonesia
padakemerdekaan Palestinadalam berbagai bidangmenunjukkan bahwa persoalan
Palestina adalah ”utang historis” Indonesia dan negara-negara Islam yang
belum dibayar lunas. Melihat situasi di Timur Tengah yang semakin rumit,
dukungan pada kemerdekaan Palestinaharus tetap dikawal agar tidak tenggelam
dalam isu konflik yang semakin parah di Timur Tengah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar