OKI dan Kemerdekaan Palestina
Mimin Dwi Hartono ;
Staf Senior di Komnas HAM
|
REPUBLIKA, 05 Maret
2016
Indonesia akan menjadi
tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama
Islam (OKI) pada 6-7 Maret 2016. Agenda utama dalam KTT tersebut adalah
terkait dengan langkah-langkah untuk mendukung kemerdekaan bangsa Palestina
secara penuh dari penjajahan Israel.
KTT OKI akan diikuti
56 kepala negara dan pemerintahan serta pengamat dari Rusia, Amerika Serikat,
Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB), dan Uni Eropa. Terpilihnya Indonesia
sebagai tuan rumah menggantikan Maroko tentu menyiratkan pesan penting
terkait dengan posisi strategis Indonesia dalam kancah dunia internasional.
Organisasi Kerja Sama
Islam dibentuk di Maroko pada 25 September 1969 yang dituangkan dalam
Deklarasi Rabat yang menegaskan keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hak asasi manusia (HAM). Saat ini, OKI
beranggotakan 57 negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim di Asia dan
Afrika.
Salah satu tujuan
pokok pembentukan OKI adalah membantu perjuangan pembentukan negara Palestina
yang merdeka dan berdaulat. Setelah dibentuk sejak 47 tahun yang lalu,
saatnya untuk mengevaluasi sejauh mana strategi dan langkah-langkah OKI dalam
mendukung Palestina yang berdaulat dan merdeka.
Indonesia sebagai
negara dengan Muslim terbesar di dunia memegang tanggung jawab besar atas
keberlangsungan dan efektivitas OKI sebagai media perjuangan negara-negara
Islam, di tengah berbagai permasalahan yang mencuat seperti perang saudara di
Suriah yang sudah berlangsung selama lima tahun dan sengketa di dalam dan di
antara negara- negara Islam di Timur Tengah.
Selain terikat pada
tujuan OKI, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan peran dan
tanggung jawab Indonesia untuk menjaga ketertiban dunia, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. Demikian juga dengan Deklarasi Universal HAM yang
menegaskan bahwa pengakuan dan penghormatan atas hak asasi manusia adalah
dasar dari kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia.
Salah satu kemajuan
yang cukup signifikan dalam proses menuju kemerdekaan yang hakiki bagi
Palestina adalah telah diakuinya Palestina sebagai salah satu negara anggota
(member state) Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui resolusi Sidang Umum PBB di
New York pada 10 September 2015.
De ngan pengakuan
tersebut, bendera Palestina telah dikibarkan di depan markas besar PBB dan
mempunyai hak dan kedudukan yang setara dengan anggota PBB yang lain.
Pendudukan Israel atas
wilayah Palestina adalah penjajahan yang masih eksis pada era modern.
Pembangunan permukiman secara masif oleh Israel telah berlangsung sejak 1967
ketika Israel menduduki wilayah Tepi Barat.
Laju pembangunan
permukiman tersebut semakin kencang pada beberapa tahun terakhir ini sehingga
70 persen wilayah Tepi Barat saat ini telah berada di bawah pendudukan
Israel. Wilayah yang diduduki tersebut dipakai untuk tempat bermukim bagi
sekitar 500 ribu penduduk, lahan pertanian, dan pembangunan area bisnis.
Menurut laporan yang
disusun oleh Human Rights Watch, pembangunan area permukiman Israel di Tepi
Barat telah melanggar hukum internasional dan HAM. Konvensi Jenewa Keempat (Fourth Geneve Convention) telah
melarang adanya pemindahan penduduk negara yang berkuasa (occupying power) ke wilayah yang
didudukinya atau melakukan pengusiran atau pemindahan penduduk asli ke luar
wilayahnya (forcible transfer).
Statuta Roma yang
mengatur tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) menegaskan bahwa yurisdiksi ICC
atas kejahatan perang adalah termasuk di dalamnya kejahatan berupa pemindahan
penduduk dari negara yang berkuasa ke wilayah yang didudukinya dan pengusiran
secara paksa penduduk wilayah tersebut ke luar dari wilayahnya.
Penguasaan Israel atas
sumber daya di wilayah Palestina untuk mengukuhkan penjajahan dan hanya untuk
kemanfaatan warga Israel telah melanggar Peraturan Haque tahun 1907 yang
melarang negara yang berkuasa untuk mengeksploitasi sumber daya alam untuk
kepentingannya sendiri.
Lebih jauh, Israel
telah melanggar hukum HAM internasional karena telah melakukan diskriminasi
atas rakyat Palestina dengan menguasai dan mengontrol secara penuh setiap
aspek kehidupan, pergerakan, dan aktivitas penduduk Palestina di Tepi Barat
dan mengusir penduduk Palestina untuk ekspansi proyek permukimannya.
Atas tindakan Israel
yang tidak menghormati norma dan hukum internasional tersebut, Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa telah mengeluarkan resolusi yang mengecam
pembangunan permukiman Israel di atas tanah bangsa Palestina. Namun, Israel
tetap saja melanjutkan aktivitasnya.
Untuk itu, peran
sentral OKI untuk mempersatukan negara-negara anggotanya menjadi penentu bagi
terwujudnya kemerdekaan hakiki bagi bangsa Palestina yang sudah tertindas
selama bertahun-tahun oleh kekejian Israel dan didukung oleh
sekutu-sekutunya.
Langkah-langkah
strategis OKI perlu untuk dirumuskan dan dilaksanakan secara konsisten
sehingga tidak hanya sebatas mengeluarkan seruan atau resolusi yang tidak
bergigi dan tidak berefek untuk mengubah sikap bebal dan keji negara Israel.
Langkah strategis
tersebut di antaranya adalah mendesak dan mendukung laporan Palestina kepada
ICC untuk melakukan penyidikan atas kejahatan perang dan keja hatan atas
kemanusiaan yang dilakukan oleh Israel, melakukan boikot secara terpadu dan
resmi atas produk-produk perusahaan yang menjalankan usahanya di atas tanah
Palestina, dan memperkuat kapasitas peme rintah dan rakyat Palestina di
segala sektor (pendidikan, kesehatan, pemerintahan, infrastruktur, dan
lain-lain).
Dengan langkah
strategis dan terukur tersebut maka pendudukan Israel atas tanah Palestina
dapat diakhiri melalui pendekatan banyak pintu (multi-doors approach), yaitu tekanan ekonomi dan politik,
diplomasi internasional, serta penegakan HAM dan hukum internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar