Fenomena Ahok
dan Runtuhnya Kesombongan Partai Politik
Erwin Dariyanto ;
Jurnalis di detikcom
|
DETIKNEWS, 17 Februari
2016
Jika tak ada
perubahan, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan maju dalam pemilihan gubernur
dan wakil gubernur DKI Jakarta dari jalur non partai alias independen. Ini
bukan karena tak ada partai yang mendukung.
Pekan lalu, Partai
Nasional Demokrat (NasDem) sudah menyatakan dukungannnya untuk Ahok maju di
Pilgub DKI. Bukan tak mungkin partai-partai lain, seperti Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) juga bakal
menyusul.
Toh hingga Senin, 15
Februari 2016 kemarin Ahok masih kekeuh, ingin maju Pilgub DKI lewat jalur
independen. Ahok memiliki modal yang cukup untuk maju dari jalur non partai
politik. Relawan yang tergabung dalam TemanAhok hingga Senin kemarin mengaku
sudah mengumpulkan 703.640 fotokopi KTP dukungan. Angka dukungan yang didapat
Ahok sudah melampaui syarat untuk maju Pilgub DKI dari jalur independen
yakni: 532 ribu fotokopi KTP.
Ahok juga memiliki
'modal' popularitas dan elektabilitas yang tinggi. Hasil survei Centre for
Strategic and International Studies (CSIS) yang dipublikasikan pada 25
Januari 2016 lalu mencatat elektabilitas Ahok mencapai 45 persen. Angka ini
masih yang tertinggi dibanding elektabilitas nama-nama kandidat lain sebagai
bakal cagub DKI.
Di bawah Ahok, ada
Ridwan Kamil dengan elektabilitas 15,75 persen dan disusul Wali Kota Surabaya
Tri Rismaharini sebesar 7,75 persen sebagai Cagub DKI. Selain ketiga nama itu
masih ada nama tokoh lainnya seperti mantan Menteri Pemuda dan Olahraga
Adhyaksa Dault dengan elektabilitas 4,25 persen.
Menarik mengamati
fenomena Ahok menjelang Pilkada DKI 2017 ini. Seperti diketahui pada
September 2014 lalu, Ahok mundur dari Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra). Sejak itu dia tak punya ikatan dengan partai politik mana pun.
Langkah Ahok lepas
dari ikatan partai politik cukup berani. Padahal sebagai Gubernur DKI yang
menggantikan Joko Widodo (Jokowi), dia perlu sokongan partai politik di Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah agar program Pemerintah Provinsi bisa berjalan
dengan baik.
Akibat tak 'mesra'
dengan parlemen, Ahok sempat beberapa kali terlibat perseteruan dengan
politikus anggota DPRD DKI. Kasus yang paling menonjol adalah perseteruan
akibat dugaan adanya dana siluman sebesar Rp 12,1 triliun dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja DKI Jakarta tahun 2013. Adanya dana siluman tersebut
diduga melibatkan oknum anggota DPRD dan pegawai Pemprov DKI. Ahok dan
sejumlah anggota DPRD pun terlibat saling tuding. Perseteruan ini sempat
membuat pengesahan APBD DKI tahun 2015 tertunda.
Selain di DPRD, Ahok
mestinya butuh partai politik sebagai kendaraan untuk maju Pilgub DKI.
Mesin-mesin partai politik diperlukan untuk mendongkrak perolehan suara Ahok.
Namun Ahok tak bergeming dan tetap pada pendiriannya yakni berada di luar
partai politik. Dia yakin asal bekerja dengan benar untuk membenahi Jakarta,
dukungan untuk maju menjadi bakal calon gubernur DKI 2017-2022 akan datang dengan
sendirinya.
Terbukti, hasil survei
CSIS menunjukan bahwa tanpa bantuan partai politik, popularitas dan
elektabilitas Ahok sangat tinggi. Bahkan Ahok diprediksi bakal memenangkan
Pilkada DKI siapa pun lawannya, termasuk yang diusung oleh partai politik.
Di Jakarta, partai
politik seperti dibuat tak berdaya karena mereka tidak punya kader
berkualitas untuk dicalonkan melawan Ahok. Ahok berhasil membalik paradigma
lama. Di era sebelumnya menjelang Pilkada para politikus selalu sibuk melobi
partai politik agar dia didukung sebagai calon gubernur, wali kota maupun
bupati.
Tak jarang si kandidat
menyetor sejumlah uang sebagai 'mahar' agar partai politik mau mengusung dia.
Partai politik beralasan, 'mahar' tersebut digunakan sebagai ongkos politik
dan biaya kampanye.
Namun kini di DKI
berlaku sebaliknya, partai politik seperti berebut ingin mengusung Ahok, baik
yang tulus maupun berharap citra partainya terdongkrak. Fenomena Ahok ini
sekaligus menjadi kritik terhadap partai politik agar tak lagi jemawa alias sombong
dan mengabaikan proses pengkaderan.
Partai politik tak
lagi bisa terlena dengan hanya menyiapkan kader 'instan' seperti terjadi di
Pemilu 2004, 2009 dan 2014 lalu. Kala itu partai politik berlomba memasang
tokoh publik, semisal artis atau pengusaha sebagai vote getter untuk
menggenjot perolehan suara.
Kesuksesan memasang
kader 'instan' ini rupanya merembet, tak hanya di ajang pemilihan umum
melainkan juga ke pemilihan kepala daerah. Fakta ini jelas membahayakan
kehidupan bernegara. Selamanya partai politik hanya akan mengandalkan figur
artis, bukan kemampuan politik seorang kader.
Partai tak lagi peduli
dengan kualitas dan ideologi kader, yang penting dia bisa memberi modal uang,
dan sumbangan suara. Meski sudah disadari dampak buruknya, toh kebiasaan ini
tetap berlangsung sampai sekarang. Begitu muncul calon kepala daerah seperti
Ahok, partai politik pun kelabakan.
Kini Ahok seperti
'menjewer' partai politik. Tak ada lagi kader 'instan'. Masyarakat sudah
mulai cerdas untuk memilih calon pemimpin yang benar-benar memiliki kinerja
bagus. Sudah saatnya partai kembali menjalankan fungsi pengkaderan,
menyiapkan dan menyeleksi calon wakilnya yang akan duduk di jabatan politik.
Keberhasilan partai
melakukan pengkaderan akan menghasilkan pemimpin handal, kehidupan politik
yang demokratis serta hubungan sosial yang harmonis. Ketika proses
pengkaderan berjalan dengan baik, partai politik tentu tak akan kesulitan
mencari lawan sepadan untuk Ahok. Potensi menang pilgub dari calon independen
juga lebih besar karena partai politik memiliki basis konstituen jelas dan
militan.
Fenomena Ahok seolah
ingin membuktikan bahwa jika ingin dipilih oleh rakyat maka bekerjalah dengan
baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar