Jumat, 11 Maret 2016

OKI dan Kemerdekaan Palestina

OKI dan Kemerdekaan Palestina

Dinna Wisnu ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                  KORAN SINDO, 09 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Konferensi Luar Biasa OKI untuk Palestina dan Yerusalem telah berakhir Senin lalu. Konferensi itu menghasilkan sebuah Resolusi dan Deklarasi Jakarta. Resolusi berisi tentang pandangan-pandangan dan prinsip dasar negara anggota terhadap Palestina dan Yerusalem, sementara Deklarasi Jakarta menyangkut langkah-langkah aksi untuk mendukung perjuangan Palestina.

Dua dokumentasi ini, terutama mengenai pemboikotan produk-produk yang dibuat di Israel, menjadi isu yang banyak disoroti media massa nasional dan internasional. Isu tersebut minimal telah mampu menarik perhatian dunia yang saat ini tengah terbelah karena konflik antara Arab Saudi-Iran, Yaman, Suriah, dan gerakan teroris ISIS.

Pandangan yang pesimistis dan optimistis terhadap konferensi ini akhirnya hanya bisa menunggu sejauh mana hasil tersebut akan mendorong penyelesaian konflik yang terjadi di tanah Palestina. Ada dua wilayah yang perlu secara sederhana kita perhatikan ketika bicara soal penyelesaian konflik. Wilayah eksternal dan internal. Wilayah eksternal adalah dinamika kekuatan politik di kawasan di Timur Tengah, sementara wilayah internal adalah hubungan antara organisasi Fatah dan Hamas yang membelah otoritas Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Pengelolaan isu di wilayah eksternal tidaklah ringan. Dalam konteks ekonomi, negaranegara Timur Tengah yang sumber pendapatannya hampir 50% berasal dari penjualan minyak bumi sedang mengalami krisis. Beberapa negara yang selama ini cukup diandalkan untuk membantu krisis pengungsi atau hal-hal yang berkaitan dengan Palestina, seperti Qatar atau Uni Emirat Arab, mulai memikirkan ulang bantuan-bantuan yang selama ini secara tradisional disalurkan ke Palestina.

Dalam konteks politik, situasinya lebih rumit karena beberapa negara masih saling menunjukkan rasa ketidakpercayaan dan bahkan saling mendiskreditkan satu sama lain. Hal ini juga berdampak kepada kredibilitas OKI di antara negara-negara berpenduduk Islam. Konflik yang berporos antara Arab Saudi dan Iran merembet dan membelah OKI menjadi negara-negara yang mendukung Arab Saudi lewat koalisinya, dan mereka yang tetap netral seperti Indonesia.

Semua dunia tahu bahwa kawasan regional yang lebih kompak dan solid adalah syarat bagi terbebasnya masyarakat Palestina dari penjajahan. Syarat ini mutlak karena secara geografis, ekonomi, dan sosial, Palestina tidak akan dapat hidup tanpa kerja sama yang baik dengan negara-negara Timur Tengah. Dalamduniayangpragmatis ini, mewujudkan kekompakan di antara negara-negara Islam yang saat ini tengah berseteru bukanlah sesuatu mustahil dan sebetulnya bisa saja terjadi. Masalahnya, tinggal siapa yang memelopori dan menawarkan jalan keluarnya.

Kita bisa melihat ke belakang beberapa jalan keluar atau kesepakatan terhadap satu hal bisa diwujudkan, walaupun di hal lain mereka tetap saling bertolak belakang. Dalam konteks ini, Indonesia diharapkan memainkan peranannya. Permintaan Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk mengadakan Konferensi Luar Biasa kepada Indonesia bisa jadi menjadi simbol dari rasa frustrasi Palestina terhadap faksi-faksi yang terjadi di dalam OKI.

Abbas, dan mungkin juga beberapa pemimpin negara yang memilih netral, mungkin juga tidak mau terjebak dalam polarisasi yang terjadi di dalam OKI. Sementara situasi di Palestina, juga semakin hari semakin memburuk. Meski demikian, sebera pun kompaknya kawasan Timur Tengah dalam menghadapi situasi di Palestina, rekonsiliasi Fatah-Hamas adalah syarat yang mutlak. Inilah pentingnya pengelolaan wilayah internal.

Sejauh yang disampaikan media massa internasional, walaupun belum ada kesepakatan baru, Fatah-Hamas terus melakukan perundingan-perundingan tentang bentuk pemerintahan Palestina yang praktis bagi kedua organisasi. Dalam kesepakatan antara Fatah-Hamas beberapa tahun lalu, sebetulnya telah disepakati hal-hal pokok yang bersifat teknis, seperti pembentukan KPU, diselenggarakannya pemilihanumum, danpengaturan pegawai negeri sipil.

Masalah yang masih sulit disepakati lebih banyak terkait dengan prinsip-prinsip dan ideologis, misalnya tentang Yerusalem. Hamas menginginkan Yerusalem seluruhnya sebagai ibu kotaPalestina, sementaraFatah hanya menegaskan Yerusalem Timur. Hamas tidak mengakui Israel sebagai negara, sementara Fatah mengakuinya sebagai langkah strategi diplomasi. Perbedaan-perbedaan ini yang masih membebani perundingan atau rekonsiliasi Fatah- Hamas.

Meski demikian, rekonsiliasi Fatah-Hamas dan kekompakan negara-negara di kawasan dapat berjalan paralel dan beriringan karena kedua wilayah itu saling memengaruhi. Oleh sebab itu, pendekatan penyelesaian Palestina tidak hanya perlu bergerak di satu sisi, tetapi juga di sisi lain. Tepat apabila Indonesia mengundang negaranegara kuartet dan para anggota tetap Dewan Keamanan PBB hadir dalam konferensi agar mereka dapat melihat dan mendengar secara langsung sikap dari negara anggota OKI.

Di sisi lain, Indonesia memastikan deklarasi berjalan juga menjadi sebuah proses yang tidak bisa dipisahkan. Pemerintah Indonesia perlu mengalokasikan waktu dan biaya yang lebih besar lagi agar perangkat birokrasi Kementerian Luar Negeri bisa memantau dan memonitor sejauh mana deklarasi itu berjalan atau terhambat.

Dukungan politik dari lembaga legislatif juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan agar Kementerian Luar Negeri dapat bergerak secara maksimal dalam membantu mendekatkan impian kemerdekaan Palestina sebagai kenyataan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar