Jumat, 11 Maret 2016

Ibu, Kembalilah ke Rumah

Ibu, Kembalilah ke Rumah

Aprilina Prastari ;  Pemerhati Komunikasi Keluarga
                                                  KORAN SINDO, 10 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada 8 Maret lalu kita baru saja memperingati Hari Perempuan Internasional. Isu mengenai perempuan tentu isu yang selalu menarik untuk dibedah.

Salah satu isu yang perlu kita dalami adalah mengenai perempuan sebagai ibu dan juga profesional yang bekerja. Ada banyak alasan bagi seorang ibu memutuskan untuk bekerja salah satunya ingin memberi kontribusi bagi keuangan keluarga. Hanya, tak banyak pihak peduli dengan keberadaan ibu di dalam sebuah perusahaan.

Berapa banyak perusahaan yang peduli dengan memberikan ruangan khusus untuk ibu yang baru melahirkan untuk memerah ASI-nya? Berapa banyak perusahaan yang membuat regulasi untuk tidak memaksa seorang ibu bekerja lembur?

Bagi ibu yang bekerja di kota besar seperti Jakarta yang kerap macet, terutama di waktu berangkat dan pulang kerja, harus meninggalkan rumah minimal 12 jam; sembilan jam untuk di kantor dan tiga jam perjalanan, masih sempatkah mengurus keperluan anakanak setiap hari? Dengan waktu yang tidak banyak di rumah, seberapa besar peran ibu dalam memerhatikan kondisi anakanaknya di rumah?

Tantangan Mendidik Anak yang Makin Berat

Pada1980-an, ketika televisi swasta belum hadir, orang tua tidak terlalu mengkhawatirkan tayangan televisi untuk anakanak. Dapat dimaklumi, selain programnya tidak banyak, waktu mengudara pun terbatas. Sekarang dengan semakin banyaknya TV swasta bahkan berbayar semakin banyak pula program yang menyumbangkan tontonan tidak mendidik bagi anak-anak.

Dalam sebuah sinetron untuk remaja, di dalam salah satu scene-nya, menceritakan sekelompok siswi SMP yang ”menghukum” salah seorang teman mereka dengan menguncinya di gudang sekolah. Alasannya, laki-laki yang mereka taksir memberi perhatian kepada teman yang mereka hukum tersebut. Itu baru dari satu sinetron dan satu media bernama televisi.

Menjelang 2000-an, ketika internet mulai aktif masuk ke dalam kehidupan kita, satu media lagi menjadi tantangan bagi orang tua. Perkembangan teknologi yang semakin pesat memang di satu sisi memberikan banyak kemudahan meski di sisi lain dampak negatifnya pun tidak kalah besar.

Jika saat itu internet baru dapat dinikmati secara terbatas, melalui PC atau laptop, dan masih terbatas untuk mengirimkan e-mail, sekarang segalanya begitu mudah. Kehadiran media sosial mengambil jatah belajar anakanak, gawai tak hanya digunakan untuk mengirim SMS dan menelepon, tapi jua lebih dari itu, membuka seluruh akses ke media sosial.

Tidak sedikit orang tua yang mengeluhkan anak-anaknya yang lebih aktif bermain game ketimbang bermain di luar atau membaca buku, remaja diculik oleh teman baru yang dikenalnya melalui Facebook, hingga tayangan berbau pornografi yang bisa dengan mudah dilihat oleh anak.

Peran Ibu dalam Keluarga

Melihat tantangan yang semakin besar, tak dapat dimungkiri lagi, orang tua harus mampu membangun kedekatan dengan anak-anaknya. Ayah sebagai pemimpin yang memiliki kewajiban untuk mencari nafkah dan ibu sebagai penyeimbang di dalam keluarga.

Pengasuhan tak lagi dapat dilakukan oleh asisten rumah tangga (ART) atau pengasuh karena kapasitas mereka hanya pada tahap membantu urusan pekerjaan rumah tangga, bukan pendidikan anak-anak. Begitu juga dengan kakeknenek atau anggota keluarga lain karena pendidikan anak seharusnya dilakukan oleh kedua orang tuanya. Ketiadaan ibu di rumah dalam waktu yang lama bukan tidak mungkin akan tergantikan oleh gawai, laptop, dan video game.

Ironisnya, sebagian orang tua justru dengan mudah memberikan alat-alat canggih ini dengan alasan agar mereka tidak rewel dan tetap update dengan perkembangan teknologi saat ini. Orang tua seolah tidak memiliki bargaining position yang kuat terhadap anak sehingga memberikan alat-alat tersebut menjadi sebuah kewajiban, bahkan bagi anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Tanpa pemahaman yang kuat, tanpa pengawasan, buah hati kita tercinta dengan mudahnya mengakses semua kesenangan semu dari dunia maya. Orangtua yang merasa bahwa kehadiran video call dapat menjadi solusi berkomunikasi jarak jauh sebaiknya memahami bahwa secanggih apa pun perangkat teknologi tidak dapat menggantikan kehadiran orang tuanya.

Dalam ilmu komunikasi, komunikasi paling kaya adalah komunikasi tatap muka atau secara langsung. Dengan berkomunikasi langsung, orang-orang yang terlibat dalam komunikasi bisa saling merasakan sentuhan, pelukan, tatapan mata, dan kehangatan dari seseorang yang diajak bicara. Pelukan secara virtual tidak akan dapat menggantikan pelukan langsung karena saat itulah seorang anak merasakan kasih sayang dan kehangatan dari orang tuanya.

Bekerja dari Rumah

Lalu, bagaimana jika seorang ibu masih merasa perlu memberikan kontribusi bagi keuangan keluarga? Produktif berkarya dan mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya, namun memungkinkan untuk memantau perkembangan anak? Teknologi pada akhirnya dapat menjadi ancaman dan di satu sisi peluang bagi mereka yang mampu memanfaatkannya.

Kemudahan berkomunikasi mengubah konsep bekerja yang sebelumnya dilakukan di luar rumah menjadi dari dalam rumah. Sebuah kantor yang selama ini berada jauh dari rumah, kini dapat berada tak jauh dari kamar kita. Meskipun tak semua bidang pekerjaan dapat dilakukan dari rumah, tidak sedikit pula yang dapat ditangani dari rumah. Dari mulai membuka usaha sendiri hingga menjadi pekerja lepas. Bidang pekerjaannya pun bermacam-macam.

Bagi seorang ibu bekerja, bidang pekerjaan yang dapat ditekuni di rumah dapat dilanjutkan dari yang sebelumnya ditekuni atau melakukan sesuatu yang sesuai dengan hobinya. Di beberapa perusahaan multinasional, bekerjadari mana saja (salah satunya rumah) untuk beberapa bidang mulai dilakukan.

Karyawan dibebaskan untuk bekerja dari mana saja selama key performance indicator (KPI)-nya jelas dan dapat tercapai. Bahkan, di beberapa industri seperti industri kreatif, pekerja lepas banyak dicari. Dari sisi perusahaan, mereka tak perlu membayar gaji secara rutin (bergantung proyek yang ditangani), THR, atau tunjangan jabatan sehingga lebih hemat. Sebaliknya, bagi pekerja lepas, mereka dapat mengatur waktu dan menyelesaikan pekerjaan dari mana saja sesuai kebutuhan.

Untuk seorang ibu, bekerja dengan model seperti ini tentu dapat dicoba. Dengan disiplin dalam manajemen waktu dan dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai tenggat dan berkualitas, ibu tetap dapat berkarya dan menghasilkan dari rumah.

Terpenting, mampu menyediakan waktu lebih banyak untuk anak dan memantau perkembangan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar