Justru Publik yang Melayani
Amzulian Rifai ;
Ketua Ombudsman Republik Indonesia
|
KORAN SINDO, 07 Maret
2016
Jangan marah jika saya
harus mengatakan, di antara pegawai pemerintah yang sudah bergaji layak ada
yang tega mengkhianati profesinya. Sebagian (kecil) mereka tertangkap
menerima suap demi memenuhi pola hidup konsumtif. Tertangkap tangannya oknum
pejabat MA (bukan hakim) beberapa waktu lalu ketika menerima suap Rp 400 juta
hanya contoh kecil dari praktik suap yang sudah membudaya. Penyelenggara
negara dan pemerintahan itu ada untuk melayani berbagai kebutuhan masyarakat
agar tercipta kesejahteraan mereka.
Dalam ilmu negara,
kesepakatan mendirikan negara itu agar institusi ini, melalui berbagai alat
kelengkapannya, hadir memenuhi berbagai kebutuhan warga negara tanpa sikap
diskriminatif, apalagi berperilaku koruptif. Peringkat pelayanan publik
Indonesia masih tergolong jelek. Setiap tahun Indonesia disurvei oleh Bank
Dunia, dari 180 negara yang disurvei Indonesia berada di urutan ke-109 pada
Oktober 2015 lalu. Presiden Jokowi memerintahkan pihak terkait agar peringkat
pelayanan publik Indonesia meningkat ke posisi dua digit.
Pemerintah dan
parlemen juga telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 29/2009 tentang Pelayanan
Publik. Langkah ini sebagai jaminan dari negara bahwa pelayanan publik yang
prima menjadi prioritas. Ketentuan ini juga mengatur bagaimana standar umum
penyelenggara negara dan pemerintahan untuk memastikan aparatur negara
berubah dari “pelayan negara” menjadi “pelayan masyarakat.” Sayangnya, di
banyak tempat di negeri ini malah yang terjadi justru publik yang melayani
sebagian oknum pegawai negara.
Memang sebagian di
antaranya, termasuk para kepala daerah, sudah ada juga yang berubah mentalnya
sebagai pelayan masyarakat, namun perubahan itu belum menyeluruh. Malah
bersifat sporadis saja.
Publik yang Melayani
Jika kita berbicara
publik, masyarakat luas, gambaran apakah publik yang dilayani atau malah
penyelenggara pemerintahan yang minta dilayani dengan memperhatikan
tempat-tempat di mana terjadi interaksi rutin di antara keduanya? Mungkin di
tempat-tempat pengurusan izin, penerbitan surat keterangan, sertifikat tanah,
atau pelayanan-pelayanan umum lainnya.
Kita mulai dengan
pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB). Di banyak tempat mendapatkan IMB
ini tergolong “barang mewah” karena berbagai alasan. Bagi banyak orang,
cerita soal sistem satu atap mengurus IMB hanyalah slogan. Realitasnya,
finalisasi urusan tidak di satu atap karena tetap rumit dan berbelit-belit.
Ada saja alasan untuk menolak permohonan IMB.
Dari advice planning wilayah yang bukan
peruntukannya hingga ke soal kurangnya dokumen yang harus disiapkan. Anehnya
keadaan tersebut tidak berlaku bagi orang tertentu. Tetap saja IMB
diperolehnya, seolah tidak soal di mana rencana lokasi bangunan. Sebagian
pihak pengembang perumahan paham dengan situasi ini dan sudah biasa
mengeluarkan sejumlah dana ekstra, aib yang dipilih untuk ditutupi. Tidak
jarang pemohon harus kasak-kusuk memeriksa berkas yang diajukan dengan
berbagai pertanyaan yang menyertainya.
Terkadang ada oknum pegawai
yang secara terang-terangan tanpa malu meminta uang jasa karena pekerjaan
yang telah dilakukannya. Seorang pengusaha perumahan membeberkan ratusan juta
rupiah dikeluarkan untuk urusan IMB. Tetapi ia memilih bungkam saja karena harus
rutin berurusan dengan kantor pemberi izin itu dengan risiko jika rajin
bercerita. Padahal, para pebisnis sangat berkepentingan dengan berbagai
perizinan. Investasi dapat terhambat apabila dihadapkan dengan berbagai
urusan perizinan.
Dari survei yang ada,
indikator kita yang paling jelek itu starting business ataukemudahan memulai
usaha. Dalam soal ini Indonesia berada di urutan 155 dari 189 negara. Karena
itu, peran pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) sangat menentukan. Di banyak
daerah mengurus permohonan sertifikat tanah juga tidak kalah serunya.
Permohonan penerbitan sertifikat sering berlarut-larut apabila tidak ada
“orang dalam” yang membantu.
Tidak jarang berkas
permohonan dengan berbagai formulir harus mengalami revisi karena kesalahan
yang bermacam-macam dan dibuat bertahap. Biaya yang mesti dikeluarkan juga
tidak pasti. Jika pun ada petunjuk tertulis, umumnya sangat berbeda dengan
realitas yang dijalankan. Biaya pengurusan sertifikat juga sering tidak ada
kepastian.
Di daerah, mungkin
juga di kota-kota, tidak pasti biaya yang harus dikeluarkan. Praktik
kebanyakan, biayanya “bisa berjuta-juta”, namun tidak ada uraian untuk apa.
Lebih parah lagi, oknum pengurusnya tidak bersedia memberikan tanda terima
uang. Pendek kata, pungutan liar itu rapi jali, tanpa jejak tertulis. Bagi
pemohon serbasalah juga, menolak pungli itu bakal terhambat, jika membayar
jelas-jelas salah.
Biasanya ending-nya
membayar saja dengan berbagai pertimbangan subjektif yang ada. Gawatnya, jika
pungli itu eksis di daerah tertentu dalam pembuatan sertifikat, maka terjadi
secara hierarki dan sistematis, sejak meminta tanda tangan di tingkat ketua
RT, lurah dan camat.
Umumnya tidak
meninggalkan jejak tertulis. Karena itu, kita tentu mengapresiasi para
birokrat yang memahami pentingnya pemenuhan hak pemilik tanah untuk
mendapatkan sertifikatnya. Pungutan liar berjenjang saat mengurus sertifikat
mestinya tidak lagi terjadi.
Mental Melayani
Persoalan birokrasi
Indonesia yang bobrok itu terutama ada pada mental. Memang beberapa birokrat
berhasil menghapus berbagai stigma negatif terkait penyelenggara pemerintahan
di Indonesia. Ada banyak kepala daerah, pejabat, yang memberikan teladan
terpuji dan jauh dari perilaku koruptif. Walaupun ironisnya, sang pemimpin
harus bekerja keras karena belum tentu diamini oleh bawahannya.
Birokrasi kita sudah
terlalu lama “karatan” sebagai birokrasi yang dipegang oleh para pegawai
pemerintah(government official), bukannya pelayan masyarakat (public servant
) sebagaimana istilah yang digunakan oleh negara-negara Barat. Dari istilah
ini saja sudah merefleksikan bagaimana mental minta dilayaninya“
sebagian”(besar) birokrat di Indonesia dengan berbagai implikasinya.
Pegawai pemerintah
(government official) berkonotasi bahwa mereka adalah “tuan, pemilik” dari
negara ini. Mereka yang menentukan “hitam putih” birokrasi. Karena itu mereka
harus dihormati. Walaupun, sekali lagi, banyak juga kalangan
birokratkitayangsudahmelakukan revolusi mental, membuang jauh-jauh watak
sebagai seorang birokrat seakan pemilik negeri ini. Tapi beberapa kepala
daerah (bahkan kepala negara) telah memberikancontoh humble-nya seorang
birokrat. Namun adalah realita juga masih sulit mengubah mental “sebagian
besar” penyelenggara pemerintahan sampai ke tingkat bawah.
Mental sebagai pegawai
negeri yang berposisi “di atas rata-rata rakyat biasa” itu masih saja
melekat. Perilaku koruptif sering terjadi karena rakusnya (greed), bukan karena kebutuhannya (need). Itu sebabnya, relevan sekali
apabila petinggi negeri ini ingin dilakukan revolusi mental. Salah satu
revolusi bagi kalangan birokrasi di semua tingkatan adalah mengubah mental
minta dilayani (karena pegawai negeri) menjadi bermental melayani.
Berbagai cara
dilakukan negara untuk memastikan bahwa mental melayani itu benarbenar
direalisasikan. Kini pegawai pemerintah dapat berstatus PNS seperti selama
ini, tetapi dapat juga berstatus PPPK (Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian
Kerja). Penggolongan ini juga bertujuan agar pelayanan terhadap publik.
Negara juga membentuk lembaga Ombudsman Republik Indonesia melalui Undang-
Undang No 37/2008. Lembaga ini berwenang mengawasi pelaksanaan pelayanan
publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk
BUMN/BUMD yang di antara anggarannya berasal dari APBN atau APBD.
Ini artinya “bukan
main” komitmen pemerintah untuk mengubah pola pikir kalangan birokrat menjadi
melayani, bukan minta dilayani oleh publik. Janji setiap aparatur negara
adalah memberikan pelayanan publik yang bebas dari KKN. Itu juga sumpah
lantang yang diucapkan saat pelantikan. Ironisnya, di banyak tempat dan dalam
banyak kejadian birokrasi kita, justru publik yang melayani sebagian kalangan
birokrat yang tidak amanah.
Malah ada di antara
masyarakat yang berurusan, berputus asa mencari cara, bahkan mengiba-iba,
bertransaksi agar urusan mereka dilancarkan. Ironis, seolah sia-sia teladan
reformis yang sudah ditunjukkan oleh sebagian kalangan birokrat yang sudah
mereformasi lingkungannya. Pelayanan publik prima itu merupakan hak
masyarakat dan kewajiban para birokrat. Birokrat adalah pelayan publik,
itulah hakikat mengapa mereka ada dengan sumpahnya.
Keadaan ini janganlah
dibalik, justru publik yang melayani (di antara para birokrat) dengan
berbagai praktik tidak terpujinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar