Jumat, 11 Maret 2016

Justru Publik yang Melayani

Justru Publik yang Melayani

Amzulian Rifai ;  Ketua Ombudsman Republik Indonesia
                                                  KORAN SINDO, 07 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jangan marah jika saya harus mengatakan, di antara pegawai pemerintah yang sudah bergaji layak ada yang tega mengkhianati profesinya. Sebagian (kecil) mereka tertangkap menerima suap demi memenuhi pola hidup konsumtif. Tertangkap tangannya oknum pejabat MA (bukan hakim) beberapa waktu lalu ketika menerima suap Rp 400 juta hanya contoh kecil dari praktik suap yang sudah membudaya. Penyelenggara negara dan pemerintahan itu ada untuk melayani berbagai kebutuhan masyarakat agar tercipta kesejahteraan mereka.

Dalam ilmu negara, kesepakatan mendirikan negara itu agar institusi ini, melalui berbagai alat kelengkapannya, hadir memenuhi berbagai kebutuhan warga negara tanpa sikap diskriminatif, apalagi berperilaku koruptif. Peringkat pelayanan publik Indonesia masih tergolong jelek. Setiap tahun Indonesia disurvei oleh Bank Dunia, dari 180 negara yang disurvei Indonesia berada di urutan ke-109 pada Oktober 2015 lalu. Presiden Jokowi memerintahkan pihak terkait agar peringkat pelayanan publik Indonesia meningkat ke posisi dua digit.

Pemerintah dan parlemen juga telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 29/2009 tentang Pelayanan Publik. Langkah ini sebagai jaminan dari negara bahwa pelayanan publik yang prima menjadi prioritas. Ketentuan ini juga mengatur bagaimana standar umum penyelenggara negara dan pemerintahan untuk memastikan aparatur negara berubah dari “pelayan negara” menjadi “pelayan masyarakat.” Sayangnya, di banyak tempat di negeri ini malah yang terjadi justru publik yang melayani sebagian oknum pegawai negara.

Memang sebagian di antaranya, termasuk para kepala daerah, sudah ada juga yang berubah mentalnya sebagai pelayan masyarakat, namun perubahan itu belum menyeluruh. Malah bersifat sporadis saja.

Publik yang Melayani

Jika kita berbicara publik, masyarakat luas, gambaran apakah publik yang dilayani atau malah penyelenggara pemerintahan yang minta dilayani dengan memperhatikan tempat-tempat di mana terjadi interaksi rutin di antara keduanya? Mungkin di tempat-tempat pengurusan izin, penerbitan surat keterangan, sertifikat tanah, atau pelayanan-pelayanan umum lainnya.

Kita mulai dengan pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB). Di banyak tempat mendapatkan IMB ini tergolong “barang mewah” karena berbagai alasan. Bagi banyak orang, cerita soal sistem satu atap mengurus IMB hanyalah slogan. Realitasnya, finalisasi urusan tidak di satu atap karena tetap rumit dan berbelit-belit. Ada saja alasan untuk menolak permohonan IMB.

Dari advice planning wilayah yang bukan peruntukannya hingga ke soal kurangnya dokumen yang harus disiapkan. Anehnya keadaan tersebut tidak berlaku bagi orang tertentu. Tetap saja IMB diperolehnya, seolah tidak soal di mana rencana lokasi bangunan. Sebagian pihak pengembang perumahan paham dengan situasi ini dan sudah biasa mengeluarkan sejumlah dana ekstra, aib yang dipilih untuk ditutupi. Tidak jarang pemohon harus kasak-kusuk memeriksa berkas yang diajukan dengan berbagai pertanyaan yang menyertainya.

Terkadang ada oknum pegawai yang secara terang-terangan tanpa malu meminta uang jasa karena pekerjaan yang telah dilakukannya. Seorang pengusaha perumahan membeberkan ratusan juta rupiah dikeluarkan untuk urusan IMB. Tetapi ia memilih bungkam saja karena harus rutin berurusan dengan kantor pemberi izin itu dengan risiko jika rajin bercerita. Padahal, para pebisnis sangat berkepentingan dengan berbagai perizinan. Investasi dapat terhambat apabila dihadapkan dengan berbagai urusan perizinan.

Dari survei yang ada, indikator kita yang paling jelek itu starting business ataukemudahan memulai usaha. Dalam soal ini Indonesia berada di urutan 155 dari 189 negara. Karena itu, peran pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) sangat menentukan. Di banyak daerah mengurus permohonan sertifikat tanah juga tidak kalah serunya. Permohonan penerbitan sertifikat sering berlarut-larut apabila tidak ada “orang dalam” yang membantu.

Tidak jarang berkas permohonan dengan berbagai formulir harus mengalami revisi karena kesalahan yang bermacam-macam dan dibuat bertahap. Biaya yang mesti dikeluarkan juga tidak pasti. Jika pun ada petunjuk tertulis, umumnya sangat berbeda dengan realitas yang dijalankan. Biaya pengurusan sertifikat juga sering tidak ada kepastian.

Di daerah, mungkin juga di kota-kota, tidak pasti biaya yang harus dikeluarkan. Praktik kebanyakan, biayanya “bisa berjuta-juta”, namun tidak ada uraian untuk apa. Lebih parah lagi, oknum pengurusnya tidak bersedia memberikan tanda terima uang. Pendek kata, pungutan liar itu rapi jali, tanpa jejak tertulis. Bagi pemohon serbasalah juga, menolak pungli itu bakal terhambat, jika membayar jelas-jelas salah.

Biasanya ending-nya membayar saja dengan berbagai pertimbangan subjektif yang ada. Gawatnya, jika pungli itu eksis di daerah tertentu dalam pembuatan sertifikat, maka terjadi secara hierarki dan sistematis, sejak meminta tanda tangan di tingkat ketua RT, lurah dan camat.

Umumnya tidak meninggalkan jejak tertulis. Karena itu, kita tentu mengapresiasi para birokrat yang memahami pentingnya pemenuhan hak pemilik tanah untuk mendapatkan sertifikatnya. Pungutan liar berjenjang saat mengurus sertifikat mestinya tidak lagi terjadi.

Mental Melayani

Persoalan birokrasi Indonesia yang bobrok itu terutama ada pada mental. Memang beberapa birokrat berhasil menghapus berbagai stigma negatif terkait penyelenggara pemerintahan di Indonesia. Ada banyak kepala daerah, pejabat, yang memberikan teladan terpuji dan jauh dari perilaku koruptif. Walaupun ironisnya, sang pemimpin harus bekerja keras karena belum tentu diamini oleh bawahannya.

Birokrasi kita sudah terlalu lama “karatan” sebagai birokrasi yang dipegang oleh para pegawai pemerintah(government official), bukannya pelayan masyarakat (public servant ) sebagaimana istilah yang digunakan oleh negara-negara Barat. Dari istilah ini saja sudah merefleksikan bagaimana mental minta dilayaninya“ sebagian”(besar) birokrat di Indonesia dengan berbagai implikasinya.

Pegawai pemerintah (government official) berkonotasi bahwa mereka adalah “tuan, pemilik” dari negara ini. Mereka yang menentukan “hitam putih” birokrasi. Karena itu mereka harus dihormati. Walaupun, sekali lagi, banyak juga kalangan birokratkitayangsudahmelakukan revolusi mental, membuang jauh-jauh watak sebagai seorang birokrat seakan pemilik negeri ini. Tapi beberapa kepala daerah (bahkan kepala negara) telah memberikancontoh humble-nya seorang birokrat. Namun adalah realita juga masih sulit mengubah mental “sebagian besar” penyelenggara pemerintahan sampai ke tingkat bawah.

Mental sebagai pegawai negeri yang berposisi “di atas rata-rata rakyat biasa” itu masih saja melekat. Perilaku koruptif sering terjadi karena rakusnya (greed), bukan karena kebutuhannya (need). Itu sebabnya, relevan sekali apabila petinggi negeri ini ingin dilakukan revolusi mental. Salah satu revolusi bagi kalangan birokrasi di semua tingkatan adalah mengubah mental minta dilayani (karena pegawai negeri) menjadi bermental melayani.

Berbagai cara dilakukan negara untuk memastikan bahwa mental melayani itu benarbenar direalisasikan. Kini pegawai pemerintah dapat berstatus PNS seperti selama ini, tetapi dapat juga berstatus PPPK (Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja). Penggolongan ini juga bertujuan agar pelayanan terhadap publik. Negara juga membentuk lembaga Ombudsman Republik Indonesia melalui Undang- Undang No 37/2008. Lembaga ini berwenang mengawasi pelaksanaan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk BUMN/BUMD yang di antara anggarannya berasal dari APBN atau APBD.

Ini artinya “bukan main” komitmen pemerintah untuk mengubah pola pikir kalangan birokrat menjadi melayani, bukan minta dilayani oleh publik. Janji setiap aparatur negara adalah memberikan pelayanan publik yang bebas dari KKN. Itu juga sumpah lantang yang diucapkan saat pelantikan. Ironisnya, di banyak tempat dan dalam banyak kejadian birokrasi kita, justru publik yang melayani sebagian kalangan birokrat yang tidak amanah.

Malah ada di antara masyarakat yang berurusan, berputus asa mencari cara, bahkan mengiba-iba, bertransaksi agar urusan mereka dilancarkan. Ironis, seolah sia-sia teladan reformis yang sudah ditunjukkan oleh sebagian kalangan birokrat yang sudah mereformasi lingkungannya. Pelayanan publik prima itu merupakan hak masyarakat dan kewajiban para birokrat. Birokrat adalah pelayan publik, itulah hakikat mengapa mereka ada dengan sumpahnya.

Keadaan ini janganlah dibalik, justru publik yang melayani (di antara para birokrat) dengan berbagai praktik tidak terpujinya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar