Selasa, 08 Maret 2016

Nasionalisme Primitif Kebangkitan Tiongkok

Nasionalisme Primitif Kebangkitan Tiongkok

René L Pattiradjawane ;   Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 07 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada kesan, laporan tahunan pertumbuhan Tiongkok yang disampaikan PM Li Keqiang pada Kongres Rakyat Nasional (KRN) yang dimulai pekan lalu, harus tetap terlihat fantastis pada pertumbuhan pembangunan ekonomi dengan menetapkan angka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 6,5-7 persen untuk lima tahun mendatang. Angka 7 persen menjadi "angka keramat" bagi para pemimpin Tiongkok.

Angka pertumbuhan PDB Tiongkok untuk 2015 tercatat 6,9 persen, terendah dalam 25 tahun sejarah. Pidato Li di depan KRN (semacam parlemen) jelas tidak hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, tapi juga pesan kepada dunia bahwa negara dengan kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia itu menghadapi persoalan serius yang berdampak pada ekonomi dan keuangan dunia.

Ini, misalnya, tecermin dari keseluruhan pidato PM Li yang sangat krusial dengan tidak menyebutkan target pertumbuhan perdagangan maupun posisi mata uang renminbi yang sekarang diakui sebagai mata uang yang diperdagangkan secara internasional. Dari sisi perdagangan, ada kekhawatiran di kalangan para pemimpin Tiongkok kalau mereka tak yakin pada tumbuhnya permintaan pasar eksternal.

Dari sisi keuangan, ada kekhawatiran kalau mata uang renminbi menjadi terlalu mahal sehingga bisa menekan terjadi ekspor negatif dalam keseluruhan tata perdagangan global Tiongkok. Situasi perdagangan global memang bergerak ke arah yang tidak menentu, menurunnya permintaan akan kebutuhan komoditi sumber alam menyebabkan terjadinya penurunan harga secara drastis seperti yang terjadi pada harga minyak dan sumber daya energi lainnya.

Dampaknya, untuk pertama kali dalam sejarah pertumbuhan ekonomi Tiongkok, para penguasa di Beijing mengumumkan pemutusan hubungan kerja sekitar 1,6 juta orang di sektor energi, khususnya batubara. Padahal, dalam berbagai pidatonya, Presiden Xi Jinping menekankan bahwa pertumbuhan Tiongkok harus berlipat dua dibanding 2010 pada tahun 2020.

Ini menjelaskan kenapa PM Li Keqiang menyatakan angka 6,5-7 persen adalah target yang akan dilakukan Tiongkok dalam pembangunan ekonominya selama lima tahun mendatang. Angka 6,5 persen adalah angka PDB minimum yang dibutuhkan Tiongkok untuk bisa mencapai cita-cita yang disampaikan Xi Jinping melipatgandakan pertumbuhan Tiongkok di tahun 2020.

Ada beberapa hal yang perlu disimak dari keseluruhan pidato PM Li Keqiang. Pertama, Tiongkok masih tetap menjalankan nasionalisme primitif, ketika Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang berkuasa masih pegang kendali di tengah dinamika pertumbuhan ekonomi nasionalnya bergerak mencari momentum baru lebih cepat dari rencana pemerintah sendiri. Ini tecermin dari masih dipertahankannya perusahaan-perusahaan milik negara sebagai cara pemerintah melakukan kendali atas dinamika ekonomi nasional.

Kedua, slogan baru disampaikan Presiden Xi Jinping yang disebut sebagai "gongji ce jiegou xing gaige" (reformasi struktural sisi pasokan), ketika ekonomi Tiongkok tidak lagi didukung oleh investasi, ekspor, dan konsumsi. Gagasan Xi Jinping ini mengikuti semangat Reaganomics tahun 1980-an, memperkenalkan "obat ajaib" memotong pajak dan melakukan deregulasi.

Ini menjelaskan penurunan anggaran belanja militer Tiongkok menjadi hanya 7,6 persen. Reformasi sisi pasokan berarti ada keinginan "mundurnya" PKT dari genggaman kekuasaan, termasuk memecat sekitar 3 juta pekerja di industri batubara, baja, dan sejenisnya. Persoalan di dalam Tiongkok adalah nasionalisme, reformasi, kebangkitan Tiongkok, dan dinamika ekonomi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar