Nasionalisme Primitif Kebangkitan Tiongkok
René L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 07 Maret
2016
Ada kesan, laporan
tahunan pertumbuhan Tiongkok yang disampaikan PM Li Keqiang pada Kongres
Rakyat Nasional (KRN) yang dimulai pekan lalu, harus tetap terlihat fantastis
pada pertumbuhan pembangunan ekonomi dengan menetapkan angka pertumbuhan
produk domestik bruto (PDB) 6,5-7 persen untuk lima tahun mendatang. Angka 7
persen menjadi "angka keramat" bagi para pemimpin Tiongkok.
Angka pertumbuhan PDB
Tiongkok untuk 2015 tercatat 6,9 persen, terendah dalam 25 tahun sejarah.
Pidato Li di depan KRN (semacam parlemen) jelas tidak hanya terfokus pada
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, tapi juga pesan kepada dunia bahwa negara
dengan kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia itu menghadapi persoalan
serius yang berdampak pada ekonomi dan keuangan dunia.
Ini, misalnya,
tecermin dari keseluruhan pidato PM Li yang sangat krusial dengan tidak
menyebutkan target pertumbuhan perdagangan maupun posisi mata uang renminbi
yang sekarang diakui sebagai mata uang yang diperdagangkan secara
internasional. Dari sisi perdagangan, ada kekhawatiran di kalangan para
pemimpin Tiongkok kalau mereka tak yakin pada tumbuhnya permintaan pasar
eksternal.
Dari sisi keuangan,
ada kekhawatiran kalau mata uang renminbi menjadi terlalu mahal sehingga bisa
menekan terjadi ekspor negatif dalam keseluruhan tata perdagangan global
Tiongkok. Situasi perdagangan global memang bergerak ke arah yang tidak
menentu, menurunnya permintaan akan kebutuhan komoditi sumber alam
menyebabkan terjadinya penurunan harga secara drastis seperti yang terjadi
pada harga minyak dan sumber daya energi lainnya.
Dampaknya, untuk
pertama kali dalam sejarah pertumbuhan ekonomi Tiongkok, para penguasa di
Beijing mengumumkan pemutusan hubungan kerja sekitar 1,6 juta orang di sektor
energi, khususnya batubara. Padahal, dalam berbagai pidatonya, Presiden Xi
Jinping menekankan bahwa pertumbuhan Tiongkok harus berlipat dua dibanding
2010 pada tahun 2020.
Ini menjelaskan kenapa
PM Li Keqiang menyatakan angka 6,5-7 persen adalah target yang akan dilakukan
Tiongkok dalam pembangunan ekonominya selama lima tahun mendatang. Angka 6,5
persen adalah angka PDB minimum yang dibutuhkan Tiongkok untuk bisa mencapai
cita-cita yang disampaikan Xi Jinping melipatgandakan pertumbuhan Tiongkok di
tahun 2020.
Ada beberapa hal yang
perlu disimak dari keseluruhan pidato PM Li Keqiang. Pertama, Tiongkok masih
tetap menjalankan nasionalisme primitif, ketika Partai Komunis Tiongkok (PKT)
yang berkuasa masih pegang kendali di tengah dinamika pertumbuhan ekonomi
nasionalnya bergerak mencari momentum baru lebih cepat dari rencana
pemerintah sendiri. Ini tecermin dari masih dipertahankannya
perusahaan-perusahaan milik negara sebagai cara pemerintah melakukan kendali
atas dinamika ekonomi nasional.
Kedua, slogan baru
disampaikan Presiden Xi Jinping yang disebut sebagai "gongji ce jiegou
xing gaige" (reformasi struktural sisi pasokan), ketika ekonomi Tiongkok
tidak lagi didukung oleh investasi, ekspor, dan konsumsi. Gagasan Xi Jinping
ini mengikuti semangat Reaganomics tahun 1980-an, memperkenalkan "obat
ajaib" memotong pajak dan melakukan deregulasi.
Ini menjelaskan
penurunan anggaran belanja militer Tiongkok menjadi hanya 7,6 persen.
Reformasi sisi pasokan berarti ada keinginan "mundurnya" PKT dari
genggaman kekuasaan, termasuk memecat sekitar 3 juta pekerja di industri
batubara, baja, dan sejenisnya. Persoalan di dalam Tiongkok adalah
nasionalisme, reformasi, kebangkitan Tiongkok, dan dinamika ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar