Hukum Islam dan LGBT
Arif Maftuhin ;
Pengajar Fikih Sosial di UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta
|
KORAN
TEMPO,
07 Maret 2016
Tulisan Mun'im Sirry,
"Islam, LGBT, dan Perkawinan Sejenis", di Koran Tempo pekan lalu,
mewakili simplifikasi relasi antara LGBT, sodomi, dan pernikahan sejenis.
Perlu diingat bahwa tidak ada istilah "LGBT" dalam hukum Islam
(fikih). Kitab-kitab fikih memiliki tradisi kuat untuk membicarakan setiap
pasal perbuatan manusia secara bahasa (lughatan)
dan terminologi (syar'an). LGBT
tidak dikenal pada keduanya.
Dalam bahasa Arab,
"lesbian" diterjemahkan sebagai "mitsliyyah" dan
"gay" disebut "mitsly", dari kata "mitsl", yang
artinya sejenis. Istilah lengkapnya adalah al-mitsliyyah al-jinsiyyah (homoseksual). Istilah ini tidak
popular digunakan dalam literatur fikih. Fikih lebih sering menggunakan
istilah "al-liwath" untuk perbuatan seks sejenis (homoseksual) dan
"luthi" untuk pelakunya, yang mengacu ke kisah kaum Nabi Luth di
Al-Quran.
Berbeda dengan lesbian
dan gay yang jelas mengacu ke orientasi seksual, istilah biseksual dapat
diartikan "orang yang tertarik kepada dua jenis seks sekaligus"
atau "orang yang berkelamin ganda (hermafrodit)". Dalam kamus
Al-Ma'any, biseksual diartikan sebagai "orientasi seksual kepada sesama
dan lawan jenis (tsuna'iy al-jins)
maupun orang dengan kelamin ganda (khuntsa
atau mukhannats).
Menurut definisi American Psychological Association
(APA), disiplin yang dianggap otoritatif berbicara masalah ini, biseksualitas
adalah ketertarikan atau perilaku seksual dengan laki-laki dan perempuan
sekaligus. Tapi, APA menegaskan, transgender tidak terkait dengan orientasi
seksual. Ia hanya terkait dengan perbedaan antara jenis kelamin yang
diberikan masyarakat dan identitas yang ia yakini, atau perbedaan antara
anatomi tubuh dan identitas kejiwaannya. Masyarakat menyebutnya perempuan,
tapi ia merasa laki-laki, atau sebaliknya. Karena tidak terkait dengan
orientasi seksual, seorang transgender bisa menjadi heteroseksual,
homoseksual, atau biseksual.
Dalam diskusi akademik
terkait LGBT, ada tiga kategori penting dan tumpang-tindih jika menggunakan
istilah tunggal LGBT dalam merumuskan fatwa hukum Islam: anatomi seksual,
orientasi seksual, dan perilaku seksual. Tiga masalah ini dapat berimplikasi
kepada tiga fatwa berbeda.
Fikih secara umum
hanya mengatur perilaku seksual. Perilaku seksual antara dua individu
dinyatakan halal jika didasarkan pada salah satu dari dua jenis akad: akad
nikah dan akad perbudakan—yang terakhir ini sudah tidak dijumpai lagi.
Hubungan seks yang diharamkan ada dua: hubungan heteroseksual di luar nikah
(zina) dan hubungan sejenis (al-liwath).
Sekali lagi perlu
digarisbawahi: fikih membahas perilaku seksual. Lesbian, gay, dan biseksual
adalah orientasi seksual. Transgender adalah anatomi seksual. Secara
material, orientasi dan anatomi seksual tidak berimplikasi langsung kepada
"perilaku seksual" yang dilarang. Sama seperti seorang heteroseksual
yang tidak serta-merta melakukan zina.
Dalam pandangan fikih,
orientasi seksual itu tidak dapat dihukum, karena terdapat dalam pikiran.
Misalnya, orang yang berpuasa dilarang berhubungan badan. Kalau orang
berpikir soal hubungan badan, secara fikih puasanya tidak batal. Menjadi
lesbian, selama itu di wilayah orientasi, tidak menjadi obyek hukum Islam.
Kalaupun mereka yang
konservatif tidak mau mengakui pandangan bahwa menjadi lesbian dan gay dapat
bersifat kodrati, harus diakui bahwa keadaan menjadi gay dan lesbian semata
tidak dapat dijatuhi sanksi hukum. Seorang lesbian yang tertarik untuk
berhubungan seks dengan seorang perempuan statusnya sama dengan seorang suami
yang tertarik berhubungan seks dengan perempuan lain. Pikiran kotor suami tidak
dapat dihukum oleh fikih.
Lalu, apakah boleh
begitu? Tentu saja agama tidak mengizinkan orang berpikiran kotor. Tetapi
"agama" di sini tidak dalam pengertian fikih, melainkan akhlak atau
moral, karena agama tidak hanya mengatur perbuatan manusia, tapi juga
hatinya, membersihkan moral pemeluknya.
Dalam hal pria
biseksual yang menikah dengan perempuan idamannya, status hukum fikihnya sama
persis dengan pria heteroseksual yang menikah dengan perempuan dan memilih
tidak berpoligami. Hanya tukang fatwa ceroboh yang memvonis perilaku pria
biseksual yang menikahi perempuan sebagai perbuatan haram.
Berbeda dengan problem
orientasi seksual para LGB, problem anatomi seksual transgender bukan topik
baru dalam fikih. Diskusinya melimpah. Tidak tentang status hukum menjadi
transgender, melainkan bagaimana memastikan jenis kelaminnya agar ia
mendapatkan hak dan kewajiban hukum yang tepat. Jika dianggap laki-laki, ia
mendapat warisan yang lebih banyak, misalnya.
Literatur fikih,
sayangnya, sangat miskin perspektif dalam mendiskusikan transgender.
Temuan-temuan riset modern dalam biologi dan genetika belum secara maksimal
dilibatkan untuk mendiskusikan status hukum transgender.
Pesan moralnya, untuk
melahirkan sebuah fatwa yang komprehensif dan humanis, fikih perlu membuka
diri dan tidak memvonis mentah-mentah halal atau haram. Masalah LGBT lebih
rumit dari soal haramnya sodomi atau legalitas pernikahan sejenis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar