Selasa, 08 Maret 2016

Hukum Islam dan LGBT

Hukum Islam dan LGBT

Arif Maftuhin ;   Pengajar Fikih Sosial di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
                                                 KORAN TEMPO, 07 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tulisan Mun'im Sirry, "Islam, LGBT, dan Perkawinan Sejenis", di Koran Tempo pekan lalu, mewakili simplifikasi relasi antara LGBT, sodomi, dan pernikahan sejenis. Perlu diingat bahwa tidak ada istilah "LGBT" dalam hukum Islam (fikih). Kitab-kitab fikih memiliki tradisi kuat untuk membicarakan setiap pasal perbuatan manusia secara bahasa (lughatan) dan terminologi (syar'an). LGBT tidak dikenal pada keduanya.

Dalam bahasa Arab, "lesbian" diterjemahkan sebagai "mitsliyyah" dan "gay" disebut "mitsly", dari kata "mitsl", yang artinya sejenis. Istilah lengkapnya adalah al-mitsliyyah al-jinsiyyah (homoseksual). Istilah ini tidak popular digunakan dalam literatur fikih. Fikih lebih sering menggunakan istilah "al-liwath" untuk perbuatan seks sejenis (homoseksual) dan "luthi" untuk pelakunya, yang mengacu ke kisah kaum Nabi Luth di Al-Quran.

Berbeda dengan lesbian dan gay yang jelas mengacu ke orientasi seksual, istilah biseksual dapat diartikan "orang yang tertarik kepada dua jenis seks sekaligus" atau "orang yang berkelamin ganda (hermafrodit)". Dalam kamus Al-Ma'any, biseksual diartikan sebagai "orientasi seksual kepada sesama dan lawan jenis (tsuna'iy al-jins) maupun orang dengan kelamin ganda (khuntsa atau mukhannats).

Menurut definisi American Psychological Association (APA), disiplin yang dianggap otoritatif berbicara masalah ini, biseksualitas adalah ketertarikan atau perilaku seksual dengan laki-laki dan perempuan sekaligus. Tapi, APA menegaskan, transgender tidak terkait dengan orientasi seksual. Ia hanya terkait dengan perbedaan antara jenis kelamin yang diberikan masyarakat dan identitas yang ia yakini, atau perbedaan antara anatomi tubuh dan identitas kejiwaannya. Masyarakat menyebutnya perempuan, tapi ia merasa laki-laki, atau sebaliknya. Karena tidak terkait dengan orientasi seksual, seorang transgender bisa menjadi heteroseksual, homoseksual, atau biseksual.

Dalam diskusi akademik terkait LGBT, ada tiga kategori penting dan tumpang-tindih jika menggunakan istilah tunggal LGBT dalam merumuskan fatwa hukum Islam: anatomi seksual, orientasi seksual, dan perilaku seksual. Tiga masalah ini dapat berimplikasi kepada tiga fatwa berbeda.

Fikih secara umum hanya mengatur perilaku seksual. Perilaku seksual antara dua individu dinyatakan halal jika didasarkan pada salah satu dari dua jenis akad: akad nikah dan akad perbudakan—yang terakhir ini sudah tidak dijumpai lagi. Hubungan seks yang diharamkan ada dua: hubungan heteroseksual di luar nikah (zina) dan hubungan sejenis (al-liwath).

Sekali lagi perlu digarisbawahi: fikih membahas perilaku seksual. Lesbian, gay, dan biseksual adalah orientasi seksual. Transgender adalah anatomi seksual. Secara material, orientasi dan anatomi seksual tidak berimplikasi langsung kepada "perilaku seksual" yang dilarang. Sama seperti seorang heteroseksual yang tidak serta-merta melakukan zina.

Dalam pandangan fikih, orientasi seksual itu tidak dapat dihukum, karena terdapat dalam pikiran. Misalnya, orang yang berpuasa dilarang berhubungan badan. Kalau orang berpikir soal hubungan badan, secara fikih puasanya tidak batal. Menjadi lesbian, selama itu di wilayah orientasi, tidak menjadi obyek hukum Islam.

Kalaupun mereka yang konservatif tidak mau mengakui pandangan bahwa menjadi lesbian dan gay dapat bersifat kodrati, harus diakui bahwa keadaan menjadi gay dan lesbian semata tidak dapat dijatuhi sanksi hukum. Seorang lesbian yang tertarik untuk berhubungan seks dengan seorang perempuan statusnya sama dengan seorang suami yang tertarik berhubungan seks dengan perempuan lain. Pikiran kotor suami tidak dapat dihukum oleh fikih.

Lalu, apakah boleh begitu? Tentu saja agama tidak mengizinkan orang berpikiran kotor. Tetapi "agama" di sini tidak dalam pengertian fikih, melainkan akhlak atau moral, karena agama tidak hanya mengatur perbuatan manusia, tapi juga hatinya, membersihkan moral pemeluknya.

Dalam hal pria biseksual yang menikah dengan perempuan idamannya, status hukum fikihnya sama persis dengan pria heteroseksual yang menikah dengan perempuan dan memilih tidak berpoligami. Hanya tukang fatwa ceroboh yang memvonis perilaku pria biseksual yang menikahi perempuan sebagai perbuatan haram.

Berbeda dengan problem orientasi seksual para LGB, problem anatomi seksual transgender bukan topik baru dalam fikih. Diskusinya melimpah. Tidak tentang status hukum menjadi transgender, melainkan bagaimana memastikan jenis kelaminnya agar ia mendapatkan hak dan kewajiban hukum yang tepat. Jika dianggap laki-laki, ia mendapat warisan yang lebih banyak, misalnya.

Literatur fikih, sayangnya, sangat miskin perspektif dalam mendiskusikan transgender. Temuan-temuan riset modern dalam biologi dan genetika belum secara maksimal dilibatkan untuk mendiskusikan status hukum transgender.

Pesan moralnya, untuk melahirkan sebuah fatwa yang komprehensif dan humanis, fikih perlu membuka diri dan tidak memvonis mentah-mentah halal atau haram. Masalah LGBT lebih rumit dari soal haramnya sodomi atau legalitas pernikahan sejenis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar