Munaslub dan Tantangan Partai Golkar
Tantowi Yahya ;
Wakil Sekjen DPP Partai Golkar
|
DETIKNEWS, 02 Maret
2016
Setelah terjebak dalam
konflik internal berkepanjangan yang mengakibatkan dualisme, Partai Golkar
pertengahan April mendatang akan meggelar Munas Luar Biasa (Munaslub).
Berbeda dengan hajatan partai sebelumnya, momen Munas kali ini memiliki nilai
yang sangat penting dan strategis sebagai momentum rekonsiliasi dan penguatan
institusi menuju kemenangan di Pilkada serentak 2017 dan 2018 dan puncaknya
Pemilu serentak Pileg dan Pilpres di 2019.
Satu fakta penting
dalam yang menyertai Munaslub nanti tak lain mengenai kerelaan Ketua Umum
Munas Bali, Aburizal Bakrie untuk membuka keran terlaksananya Munaslub serta
kelegowoannya untuk tidak maju lagi sebagai calon Ketum, langkah simpatik
yang kemudian diikuti oleh Agung Laksono. Hal ini harus dijadikan sebagai energi
besar bagi para kader, khususnya calon ketua umum untuk memberikan yang
terbaik bagi Golkar di masa depan.
Sebagai partai yang
tidak bisa dikatakan muda lagi, Golkar di era reformasi justru menunjukkan
karakter yang lebih demokratis dibanding partai-partai lain. Itu setidaknya
terlihat dari aplikasi salah satu fungsi partai politik sebagaimana
dinyatakan oleh Prof Miriam Budiardjo yaitu sebagai sarana rekrutmen politik.
Rekrutmen dimaksud untuk mengisi jabatan-jabatan politik, baik di partai
maupun pemerintahan. Bertolak dari teori Prof Miriam di atas, apa yang kita
lihat dari munculnya banyak nama yang mencalonkan diri sebagai Ketua Umum
Partai Golkar di Munaslub merupakan bentuk nyata dari proses rekrutmen
politik yang demokratis.
Dengan demikian, barangkali
pada Munaslub mendatang, Golkar akan dicatat dalam sejarah republik sebagai
parpol yang pemilihan ketua umumnya paling banyak diminati. Hal itu
setidaknya tercermin dari munculnya 12 nama kader Golkar yang menyatakan
keinginannya maju di Munaslub. Jumlah itu masih dinamis, dan tidak mustahil
akan bertambah lagi sampai bulan depan.
Tingginya animo kader,
baik senior maupun junior untuk bertarung di Munaslub mendatang menunjukkan
berjalannya demokrasi di tubuh partai Golkar. Padahal tantangan menjadi Ketum
Golkar ke depan tidaklah mudah, mengingat ekses dari perpecahan yang
dampaknya sampai ke akar rumput.
Toh itu semua tak
membuat kader goyah untuk bersaing merebut posisi puncak demi mengabdi di
Golkar. Ini merupakan anomali politik yang menarik dan patut untuk dikaji.
Tantangan ke Depan
Beberapa tantangan
jangka pendek jelang Munaslub yang harus dijawab oleh calon Ketua Umum
terpilih di antaranya:
Pertama, dalam proses
pemilihan tidak boleh dikotori oleh politik uang (money politics). Isu ini
sudah berkembang beberapa waktu terakhir dan berpotensi mendegradasi makna
strategis Munaslub itu sendiri. Oleh karenanya masing-masing kandidat harus
berkomitmen menempatkan kepentingan partai di atas interests pribadi—
termasuk tentu saja memenangkan pertarungan melalui cara-cara yang tidak
etis.
Kedua, Munaslub harus
mencerminkan semangat demokrasi, rekonsiliasi dan berkeadilan sebagaimana
yang juga diharapkan pemerintah. Secara eksternal Munaslub ke depan tidak
mungkin mengubah arah politik terkini partai yang telah mendukung pemerintah.
Hal ini karena seluruh kader Golkar menyadari bahwa tidak ada bangunan
oposisi yang permanen dalam sistem politik kita yang menganut
presidensialisme.
Oleh karenanya, fungsi
kontrol terhadap pemerintah diyakini masih bisa berjalan dengan baik,
meskipun Golkar tidak menjadi oposisi murni. Itu juga yang sudah dilakukan
Golkar selama sepuluh tahun terakhir—di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Apalagi sejarah Golkar mengkonfirmasi bahwa Golkar selalu menjadi
mitra pemerintah, atau bahkan memerintah sendiri. Dengan demikian, Munaslub
nanti tidak akan menimbulkan kegaduhan baru yang berdampak instabilitas
politik nasional.
Lalu secara internal,
kepengurusan mendatang harus mencerminkan semangat persatuan, dengan masuknya
kedua kubu secara proporsional, siapapun yang terpilih sebagai nahkoda.
Komitmen ini penting dipunyai para calon Ketum, agar konflik internal dan
dualisme tidak lagi terjadi di masa depan. Pasalnya dari observasi internal
penulis, hampir semua kader partai Golkar saat ini sudah penat dengan konflik
berkepanjangan. Konflik setahun terakhir terbukti sangat merugikan partai,
baik secara institusional maupun elektoral.
Ketiga, calon yang
akan terpilih sebagai Ketum mendatang haruslah figur yang memenuhi beberapa
kebutuhan dasar seperti kecakapan berpolitik, mampu mengkonsolidasi seluruh
kekuatan partai yg selama ini pecah, berpengetahuan luas, mempunyai
akseptabilitas tinggi di mata rakyat dan mempunyai image sebagai representasi
Golkar Baru. Hanya dengan mengantongi kebutuhan dasar itulah, Golkar akan
kembali menggeliat dan menjadi pemain
penting di panggung politik Indonesia.
Keempat, salah satu
hambatan Golkar di era reformasi adalah masih terlalu tergantung pada pemilih
tradisional. Sementara munculnya kelas menengah baru yang makin besar
jumlahnya dan angkatan muda terdidik belum digarap secara optimal. Untuk
meraih dukungan pemilih 'jenis baru' ini, karakter Ketum yang mengusung
kebaruan sangat ditunggu. Kebaruan ini akan terkandung pada paradigma,
gagasan dan pemikiran yang — di samping baru—juga relevan dengan kebutuhan
rakyat saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar