Minggu, 13 Maret 2016

Munaslub dan Tantangan Partai Golkar

Munaslub dan Tantangan Partai Golkar

Tantowi Yahya ;   Wakil Sekjen DPP Partai Golkar
                                                    DETIKNEWS, 02 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setelah terjebak dalam konflik internal berkepanjangan yang mengakibatkan dualisme, Partai Golkar pertengahan April mendatang akan meggelar Munas Luar Biasa (Munaslub). Berbeda dengan hajatan partai sebelumnya, momen Munas kali ini memiliki nilai yang sangat penting dan strategis sebagai momentum rekonsiliasi dan penguatan institusi menuju kemenangan di Pilkada serentak 2017 dan 2018 dan puncaknya Pemilu serentak Pileg dan Pilpres di 2019.

Satu fakta penting dalam yang menyertai Munaslub nanti tak lain mengenai kerelaan Ketua Umum Munas Bali, Aburizal Bakrie untuk membuka keran terlaksananya Munaslub serta kelegowoannya untuk tidak maju lagi sebagai calon Ketum, langkah simpatik yang kemudian diikuti oleh Agung Laksono. Hal ini harus dijadikan sebagai energi besar bagi para kader, khususnya calon ketua umum untuk memberikan yang terbaik bagi Golkar di masa depan.

Sebagai partai yang tidak bisa dikatakan muda lagi, Golkar di era reformasi justru menunjukkan karakter yang lebih demokratis dibanding partai-partai lain. Itu setidaknya terlihat dari aplikasi salah satu fungsi partai politik sebagaimana dinyatakan oleh Prof Miriam Budiardjo yaitu sebagai sarana rekrutmen politik. Rekrutmen dimaksud untuk mengisi jabatan-jabatan politik, baik di partai maupun pemerintahan. Bertolak dari teori Prof Miriam di atas, apa yang kita lihat dari munculnya banyak nama yang mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar di Munaslub merupakan bentuk nyata dari proses rekrutmen politik yang demokratis.

Dengan demikian, barangkali pada Munaslub mendatang, Golkar akan dicatat dalam sejarah republik sebagai parpol yang pemilihan ketua umumnya paling banyak diminati. Hal itu setidaknya tercermin dari munculnya 12 nama kader Golkar yang menyatakan keinginannya maju di Munaslub. Jumlah itu masih dinamis, dan tidak mustahil akan bertambah lagi sampai bulan depan.

Tingginya animo kader, baik senior maupun junior untuk bertarung di Munaslub mendatang menunjukkan berjalannya demokrasi di tubuh partai Golkar. Padahal tantangan menjadi Ketum Golkar ke depan tidaklah mudah, mengingat ekses dari perpecahan yang dampaknya sampai ke akar rumput.

Toh itu semua tak membuat kader goyah untuk bersaing merebut posisi puncak demi mengabdi di Golkar. Ini merupakan anomali politik yang menarik dan patut untuk dikaji.

Tantangan ke Depan

Beberapa tantangan jangka pendek jelang Munaslub yang harus dijawab oleh calon Ketua Umum terpilih di antaranya:

Pertama, dalam proses pemilihan tidak boleh dikotori oleh politik uang (money politics). Isu ini sudah berkembang beberapa waktu terakhir dan berpotensi mendegradasi makna strategis Munaslub itu sendiri. Oleh karenanya masing-masing kandidat harus berkomitmen menempatkan kepentingan partai di atas interests pribadi— termasuk tentu saja memenangkan pertarungan melalui cara-cara yang tidak etis.

Kedua, Munaslub harus mencerminkan semangat demokrasi, rekonsiliasi dan berkeadilan sebagaimana yang juga diharapkan pemerintah. Secara eksternal Munaslub ke depan tidak mungkin mengubah arah politik terkini partai yang telah mendukung pemerintah. Hal ini karena seluruh kader Golkar menyadari bahwa tidak ada bangunan oposisi yang permanen dalam sistem politik kita yang menganut presidensialisme.

Oleh karenanya, fungsi kontrol terhadap pemerintah diyakini masih bisa berjalan dengan baik, meskipun Golkar tidak menjadi oposisi murni. Itu juga yang sudah dilakukan Golkar selama sepuluh tahun terakhir—di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apalagi sejarah Golkar mengkonfirmasi bahwa Golkar selalu menjadi mitra pemerintah, atau bahkan memerintah sendiri. Dengan demikian, Munaslub nanti tidak akan menimbulkan kegaduhan baru yang berdampak instabilitas politik nasional.

Lalu secara internal, kepengurusan mendatang harus mencerminkan semangat persatuan, dengan masuknya kedua kubu secara proporsional, siapapun yang terpilih sebagai nahkoda. Komitmen ini penting dipunyai para calon Ketum, agar konflik internal dan dualisme tidak lagi terjadi di masa depan. Pasalnya dari observasi internal penulis, hampir semua kader partai Golkar saat ini sudah penat dengan konflik berkepanjangan. Konflik setahun terakhir terbukti sangat merugikan partai, baik secara institusional maupun elektoral.

Ketiga, calon yang akan terpilih sebagai Ketum mendatang haruslah figur yang memenuhi beberapa kebutuhan dasar seperti kecakapan berpolitik, mampu mengkonsolidasi seluruh kekuatan partai yg selama ini pecah, berpengetahuan luas, mempunyai akseptabilitas tinggi di mata rakyat dan mempunyai image sebagai representasi Golkar Baru. Hanya dengan mengantongi kebutuhan dasar itulah, Golkar akan kembali menggeliat dan  menjadi pemain penting di panggung politik Indonesia.

Keempat, salah satu hambatan Golkar di era reformasi adalah masih terlalu tergantung pada pemilih tradisional. Sementara munculnya kelas menengah baru yang makin besar jumlahnya dan angkatan muda terdidik belum digarap secara optimal. Untuk meraih dukungan pemilih 'jenis baru' ini, karakter Ketum yang mengusung kebaruan sangat ditunggu. Kebaruan ini akan terkandung pada paradigma, gagasan dan pemikiran yang — di samping baru—juga relevan dengan kebutuhan rakyat saat ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar