Belok Kiri, Harap Minggir?
Irwansyah ;
Dosen di Departemen Ilmu
Politik UI;
Mahasiswa di Asia Research
Center, Murdoch University, Australia
|
INDOPROGRESS, 29
Februari 2016
SEMULA saya telah
menyusun rancangan editorial dengan tema yang lain, tetapi perkembangan
peristiwa yang menarik terjadi pada akhir pekan ini. Pada hari Sabtu, 27
Februari 2016, seharusnya berlangsung pembukaan acara bertajuk “Belok Kiri
Festival” di Gedung Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM) – Cikini –
Menteng Jakarta Pusat. Melalui situs internetnya dan beragam akun media
sosial, panitia dan pendukung acara mengatakan bahwa festival ini akan
dilangsungkan kurang lebih sepekan lamanya. Serangkaian kegiatan kebudayaan
dan diskusi publik yang bertujuan menantang narasi dan propaganda Orde Baru
(Orba) sudah terjadwal. Sayangnya, perayaan “belok kiri” ini dihadang oleh
pihak berwajib melalui organ-organ yang menjadi kaki tangannya.
Alkisah, beberapa hari
menjelang acara muncul lah manuver klise dari pendukung Orba yang melakukan
berbagai tekanan secara publik ataupun bekerjasama dengan pihak birokrasi
perizinan. Alasan yang disampaikan pun tak kurang klisenya: ini adalah acara
Komunis yang karenanya harus dilarang. Penyelenggara dipaksa untuk
membatalkan festival ini atau harus menghadapi resiko diserbu massa.
Menurut salah satu
versi penguasa, kesalahan ada di pihak panitia yang tidak mengantongi izin
dari kepolisian setempat. Faktanya persoalan perizinan bukannya tidak diurus
panitia, tapi masalah terjadi akibat upaya intimidasi beberapa kelompok
reaksioner — seperti HMI Cabang JakartaRaya, FPI Jakarta, dan lainnya — yang
melaporkan penolakan pada Polda Metro Jaya. Mereka dengan lantang mengancam
akan mengganggu acara yang melakukan kritik kebudayaan terhadap narasi dan
propaganda Orde Baru yang lestari berkuasa hingga saat ini. Lewat beragam
media propagadanya, mereka mengingatkan agar para pejabat pemerintah dan
aparat keamanan untuk tetap menjaga “darah Anti PKI dalam diri mereka”.
Tapi acara festival
belok kiri ini gagal dibuyarkan sama sekali, karena penggiat acara berhasil
dengan tergesa melakukan perpindahan lokasi ke kantor Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI), juga di Jakarta. Dan sejauh ini telah berhasil
melampaui hari pembukaan. Perpindahan ini seolah menyimbolkan kenyataan bahwa
ekspresi kebudayaan kritis di era paska Orba saat ini masih juga diberangus
dan karenanya masih butuh bantuan hukum menghadapi negara. Negara hadir dalam
birokrasi TIM yang saat ini dikelola Pemda DKI, juga hadir dalam praktek
polisi yang mengirimkan ratusan personelnya untuk melindungi pihak yang
mengintimidasi acara. Dan semua tahu ini bukan kali yang pertama.
Kaum reaksioner haus
darah dan pendukung Orba memang selalu bersemangat menyebarkan propaganda
lewat berbagai media untuk menekan inisiatif masyarakat dalam menggugat
sejarah, narasi, dan propaganda Orde Baru. Sebelumnya, deretan kasus
intimidasi serupa juga dialami penyelenggara International People Tribunal,
pemutaran film-film kritik terhadap Orba ataupun penindasan terhadap rakyat
dewasa ini (Film “Jagal”, “Senyap”, “Semen versus Samin, dll). Karenanya
tidak mengherankan pola yang sama kembali ditujukan pada festival belok kiri.
Apalagi salah satu acara utamanya adalah peluncuran buku sejarah gerakan kiri
Indonesia, yang tentu ada episode tentang PKI dan pembantaiannya.
Sejak kebangkitan
kekuasaan busuk rezim Orde Baru tahun 65/66, gerakan politik kiri tercatat
dalam sejarah selalu dipaksa minggir. Tidak hanya dengan kekerasan Negara
secara langsung, tapi juga dengan pembiaran berbagai intimidasi oleh
kelompok-kelompok reaksioner yang hampir semuanya berwatak paramiliter
bayaran.
Perjuangan gerakan
(belok) kiri selama ini juga dianggap masalah pinggiran oleh
politisi-politisi yang kebanyakan adalah tokoh idola era reformasi saat ini.
Jokowi, Ahok, atau pun sederet panjang nama pemimpin politik lainnya yang,
adalah para politisi yang dianggap harus didukung sebagai anti tesis ‘Orde
Baru’ karena mereka adalah ‘Orang Baik’. Para politisi ‘Orang Baik’ ini boleh
saja berkoar soal keutamaan konstitusi dan hak asasi, namun faktanya mereka
secara konsisten menutup mata terhadap peristiwa demi peristiwa intimidasi
yang sistematis dan berkelanjutan terhadap berbagai ekspresi politik dan
kebudayaan (belok) kiri.
Sementara para
pendukung fanatik buta para politisi gombal ini senang memajukan dalih
tentang posisi politisi ‘Orang Baik’ yang terjepit pilihan politik elit yang
terbatas. Atau berkilah tentang perlunya kesabaran menunggu waktu yang lebih
tepat. Nyatanya, kombinasi praktik munafik dari kalangan elit politik dan
praktik pemaafan dari massa pendukung rezim saat ini, sesungguhnya secara
jelas menunjukkan kondisi yang secara obyektif dan struktural membuat
inisiatif politik (belok) kiri – bahkan insiatif berupa acara perayaan —
harus dipaksa minggir.
Perlukah (kritik) belok kiri saat ini?
Sangat masuk akal bila
inisiatif kebudayaan atau pun politik yang merepresentasikan diri sebagai
‘kiri’ cepat atau lambat akan berkonfrontasi dengan yang “kanan”. Akan
tetapi, menurut hemat saya, berangkat dari pola yang terus berulang maka
perlu dikembangkan analisis kritis secara berkelanjutan untuk memahami kenapa
inisiatif ala belok kiri selalu terpaksa minggir.
Seorang kawan panitia
penggiat festival menyampaikan opininya, “masak kami sudah diserang
kelompok-kelompok anti kiri, masih harus menghadapi lagi serangan kritik?”
Bagaimana pun kita tentu tidak bisa menyalahkan penggiat (aktivis)
acara-acara yang berinisiatif mengekspresikan keyakinan dan gagasan yang
tujuannya memajukan nalar kritis masyarakat. Hormat dan apresiasi
setinggi-tingginya terhadap militansi dan pengorbanan mereka yang mau menjadi
penggiat penyelenggaraan model festival belok kiri.
Apalagi nalar awam
kita mengatakan, bukankah sudah seharusnya festival anti orba bukan lagi
masalah bagi suatu era dan rezim yang tidak menyebut dirinya Orde Baru?
Nyatanya rezim ‘Orang Baik’ saat ini tetap setia dengan logika dan narasi
Orde Baru tentang wajah dan kesadaran kita sebagai masyarakat dan bangsa
bernama Indonesia. Ini menunjukkan adanya kontradiksi dalam rezim politik
saat ini yang hanya bisa dipecahkan dengan mengonfrontasikan persoalan secara
serius.
Menurut hemat saya,
momen kegaduhan terkait festival belok kiri perlu dimanfaatkan untuk
memajukan kritik soal keseriusan ajakan belok kiri bagi pihak-pihak yang
berposisi anti Orba maupun kritis terhadap rezim ‘Orang Baik’ yang berkuasa
saat ini. Kritik dalam tulisan ini akan menyoroti potret komitmen yang telah
terbukti selama ini oleh banyak orang yang terlibat aktif dalam mempersiapkan
kegiatan demi kegiatan yang terus diintimidasi dan peminggiran secara
politik. Evaluasi saya, komitmen berkegiatan ternyata menunjukkan batas
kemampuannya dalam mendorong agenda belok kiri yang diharapkan. Batasnya
adalah niat baik yang dihadapi oleh konfrontasi fisik dan politik oleh
pendukung politik Orde Baru.
Namun dengan bekal
komitmen militan tersebut, kita dapat membayangkan bahwa seharusnya ada
energi besar untuk menghadapi balik konfrontasi tersebut. Energi yang dapat
mengantarkan kita pada tingkatan lanjutan berupa konfrontasi politik melawan
Orba dan keberlanjutannya melalui medan politik terorganisir. Konfrontasi
yang jelas membutuhkan organisasi, mobilisasi, konsolidasi, bahkan negosiasi
di antara pihak yang bersepakat tentang pentingnya belok kiri sebagai sebuah
agenda politik maupun kebudayaan. Singkatnya, mentransformasikan kondisi
aktivisme kiri menjadi kualitas baru yang lebih terorganisir dalam agenda
berkonfrontasi dengan Orde Baru dan antek-antek penerusnya .
Saya paham sepenuhnya
bahwa banyak yang bosan atau alergi dengan kritik tentang dominannya
aktivisme kiri ketimbang sebagai politik terorganisir. Ada yang karena alasan
pengalaman traumatik personal dengan perjuangan bersama organisasi kiri
selama ini. Atau persepsi popular bahwa komitmen giat mempersiapkan
acara-acara jauh lebih produktif ketimbang masuk dalam keruwetan organisasi
politik (apalagi kiri). Berpolitik secara terorganisir memang asing buat
masyarakat kita, kecuali mendekati masa pemilu dimana ada mesin-mesin politik
yang bekerja mengorganisir kepentingan elit-elit politik.
Akan tetapi kita harus
sadar bahwa bagaimana pun pihak reaksioner dan rezim sangat terorganisir
dalam praktik intimidasi dan peminggiran berbagai acara dan agenda anti Orba
dan politik reaksioner lainnya. Karenanya sangat naif dan fatalis buat kita
untuk mempertahankan pemisahan antara gerakan aktivisme dan politik gerakan
terorganisir. Justru dalam kaitan mendasar dengan ajakan belok kiri, saya mau
mengingatkan justru esensi narasi orde baru adalah depolitisasi masyarakat.
Terutama dengan peminggiran aktivisme dan politik kiri terorganisir dari
realitas ekonomi politik dan bangsa ini sejak 1965 hingga berlanjut sampai
sekarang. Mengajak belok kiri tanpa melawan narasi orde baru yang paling
esensial tersebut, seperti kesukarelaan menikmati derita merayakan lingkaran
setan intimidasi dan peminggiran.
Kritik bukan berarti
menyepelekan apalagi bermaksud memojokkan kawan-kawan penggiat festival belok
kiri atau kegiatan sejenis yang mengalami nasib serupa diintimidasi.
Diharapkan dari kritik dalam tulisan ini kita ke depannya mau mendiskusikan
secara lebih serius bagaimana caranya menghasilkan terobosan konkrit dengan
berangkat dari pemahaman secara tepat tentang logika, resiko, dan rekam jejak
banyaknya pengalaman (belok) ‘kiri’ yang terus dipaksa minggir selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar