Jumat, 18 Maret 2016

Mitos dan Logos

Mitos dan Logos

Radhar Panca Dahana  ;   Budayawan
                                             MEDIA INDONESIA, 16 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERISTIWA gerhana matahari (untuk ke sekian kalinya, yang terlihat gamblang) di Indonesia pada Maret 2016 ini menimbulkan (menciptakan) semacam heboh. Seolah ada persoalan yang dialektis atau bipolaristik, persoalan yang sama tua dengan sejarah pengetahuan, yakni mitos dan logos. Dalam riwayatnya, mitos tidaklah senantiasa memiliki makna yang bertentangan dengan apa yang kita sebut dengan logos. Sebagai prosedur berpikir kontinental-oksidental yang berbasis pada akal dengan metode pembuktian yang materialistis hingga positivisme yang mengiringinya. Padahal, dalam ilmu sosiologi, misalnya mitos adalah tahap yang biasanya dilewati oleh sebuah masyarakat untuk bisa mencapai tingkatan logis. 
Keduanya proses yang bersinambungan atau terkait langsung.

Secara etimologis, sebenarnya mitos dan logos memiliki pengertian yang sama sebagai `perhitungan' atau `cerita'. Para pemikir memperhitungkan alam dalam sebuah kisah yang kadang bahkan sulit kita membedakan dasar atau metodenya, mitos atau logos.

Pionir astronomi

Lalu, apa makna sesungguhnya sebuah mitos tentang gerhana matahari? Sebagaimana sering dikisahkan, hal itu terjadi karena Batara Kala memakan sumber kehidupan manusia. Kentungan pun harus ditalu agar kita waspada. Apakah kemudian menjadi masalah ketika mitos yang ternyata juga diproduksi oleh ratusan tradisi di seluruh dunia itu menjadi medium sosial dalam mengarahkan dan menentukan perilaku (anggota) masyarakatnya? Benarkah mitos atau mitologi, sebagaimana praanggapan umum, kaum akademis hingga penyelenggara negara memiliki efek atau akibat yang negatif? Bahkan, destruktif bagi akal budi, perilaku, hingga posisi atau jati diri mutakhir manusia dalam dunia postmodernism ini misalnya saja?

Saya tidak setuju karena sesungguhnya mitologi diproduksi penduduk di kepulauan ini, memiliki posisi yang penting, bahkan vital terhadap keberadaan manusia atau komunitasnya. Itulah ciri utama dari bangsa-bangsa negeri ini yang notabene dilandasi peradaban khas bahari atau maritim dalam arti reduktifnya. Banyak catatan historis dan arkeologis menunjukkan bagaimana penduduk Nusantara ini menjadi golongan manusia pertama di atas muka bumi yang menjadi imigran atau penetap pulau-pulau kosong atau kawasan tak berhuni di muka bumi ini.

Bukan hanya Benua Australia yang dulu melekat dengan Papua, melainkan juga menjadi penetap nenek moyang di Selandia Baru, Melanesia, bahkan Tahiti, dari Madagaskar, Seychelles, hingga pantai Timur Afrika. Sebuah perjalanan sulit, tetapi mampu di atasi pelaut kita dengan membaca bintang.

Kuasa mitos

Kenyataan historis tersebut menjelaskan mengapa bangsa Nusantara bisa mengklaim dirinya sebagai pencipta astronomi pertama dalam sejarah manusia. Sebuah berita, lebih lima tahun lalu (Kompas, 18 September 2010) mengabarkan penemuan Profesor Ray Norris dari The Commonwealth Scientific and Research Organization (CSIRO), Australia, tentang suku Aborigin di Australia Utara yang memiliki pengetahuan astronomi mendahului bangsa mana pun. Ilmu astronomi kaum Aborigin diperkirakan berusia 10.000-20.000 BCE.

Masyarakat Aborigin Australia, menurut penelitian yang sama, juga membuktikan bagaimana mereka memiliki kapabilitas membaca peristiwa di langit (bintang). Kita menyebut sebagian pengetahuan yang mencoba mengaitkan gejala bintang dengan gejala kehidupan manusia itu sebagai astrologi. Itulah alasan mengapa kitab-kitab astrologi Jawa macam Bental Jemur tidak perlu dipandang lebih rendah ketimbang fengsui, ilmu sejenis dari Tiongkok. Jika tidak dikatakan lebih luas dan dalam.

Fakta itu pula yang melatari keterkejutan Alfonso d'Albuquerque, pelaut dan penjarah Portugis awal yang diusir para pelaut Madura dan Bali itu menemukan peta yang ia serahkan sebagai hadiah pada Ratu Spanyol, yakni di dalamnya digambarkan rute, bahkan wilayah Tanjung Harapan di Afrika, Teluk Parsi, Laut Merah, hingga Ryukyu Jepang, bahkan Brasil di pedalaman Jawa Timur, dalam bahasa Jawa! (Lombard: 2008). Di waktu-waktu kemudian, bangsa Jawa dan bangsa-bangsa lain Nusantara pun membangun pengetahuannya tentang dunia atas (langit) yang ternyata memiliki relasi langsung-positif dengan dunia bawah (bumi). Relasi yang pada puncaknya menciptakan semacam kesatuan, integrasi energi, hingga peleburan eksistensi, manunggaling jagad cilik (kawula) lan jagad gede (gusti).

Di titik ini, mitos memiliki posisi yang sangat kuat, kuasa budaya yang desisif dalam kehidupan masyarakat bahari yang memilikinya. Ia sudah menjadi DNA kultural kita yang tidak mudah dilenyapkan atau diganti, bahkan oleh ilmu pengetahuan, logos.

Kuasa logos

Hingga kemudian datanglah cara berpengetahuan baru yang berbasis pada logika atau logos, khususnya sebagaimana yang dipahami masyarakat kontinental (daratan) di Eropa (oksidental). Logos yang mencoba mengingkari dirinya sebagai lanjutan dari cara berpikir primordial yang berbasis pada mitos.

Tentu saja kita paham saat ini logos yang kuat dibangun oleh sejarah filsafat Yunani itu kemudian dikerdilkan, bahkan dilaknat oleh Eropa daratan b di masa kegelapan hingga akhirnya d pemikir Islam membangkitkannya kembali. Ia menjadi modus eksistensial yang dominan, bahkan represif setelah Rene Descartes melahirkan ujaran berkaliber mantra, cogito ergo sum, aku berpikir (karenanya) aku ada. Logos yang kemudian menjadi kuasa kerajaan (imperial) dan menjadi senjata ampuh dalam imperialisme yang dilakukan bangsabangsa Eropa pada sisa dunia hingga hari ini.

Hingga di momen yang membuat seluruh dunia (dengan segala cara) menerima rasionalisme logis sebagai – bahkan -- tuhannya yang baru, yang antara lain bertujuan menghancurkan mitos sebagai `tuhan' kompetitor atau kuasa tandingannya. Seolah mereka tidak sadar, atau sebenarnya berlagak tidak sadar, bahkan ilmu pasti, juga matematika sebagai tiang utamanya, sebenarnya berakhir sebagai mitos baru. Menjadi diktum, adagium, hingga teori yang sering kita terima apa adanya. Apa yang terbukti, antara lain dari gerhana total matahari pada 2016 ini menjadi bukti nyata, bagaimana mitos gravitasi Newtonian masih hidup, diajarkan, bahkan dengan fanatik hingga sekolah menengah.

Padahal, dengan Teori Relativitas Umumnya di pada 1916, Albert Einstein membuktikan kekeliruan teoritis gravitasi dengan menjelaskan keberadaan dan kerja medan (gelombang) gravitasional. Betapa matahari, bintang yang mengalami gerhana itu memengaruhi, bahkan cara kita tidur, makan, hingga bercinta, banyak ahli sudah menjelaskan. Lalu, apa yang mesti dirisaukan? Mitos dan logos, cuma cara manusia menjelaskan dirinya dalam konstelasi semesta ini. Cara mengambil signifikansinya mungkin berbeda, tapi apa sesungguhnya mitos dan logos berbeda? Hmm. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar