Merestorasi Pasal Pelemahan KPK
Emrus ;
Dosen Komunikasi Politik,
Universitas Pelita Harapan
|
KORAN SINDO, 12 Maret
2016
Pertarungan ide
pelemahan versus penguatan KPK sejenak terhenti setelah ada kesepakatan
antara presiden dan pimpinan DPR RI menunda pembahasan RUU KPK, untuk
memberikan waktu yang cukup mempertemukan sudut pandangan yang berbeda.
Perbedaan pandangan
tersebut dimulai ketika usulan revisi Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2012
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan oleh salah satu
fraksi di DPR RI, mencuat ke publik. Di satu pihak, satu fraksi DPR RI dan
Menko Polhukam berpandangan bahwa perlu revisi UU KPK untuk memperkuat KPK.
Di pihak lain, sebagian fraksi DPR RI didukung oleh kekuatan masyarakat sipil
menggelorakan agar revisi UU KPK dibatalkan karena dinilai sarat upaya
pelemahan KPK.
Bahkan, Ketua KPK Agus
Rahardjo menegaskan akan mengundurkan diri kalau revisi UU KPK tetap
dilakukan. Perdebatan publik tersebut sangat tidak produktif, bahkan
menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat, kelompok pandangan mana yang
menguatkan dan mana yang melemahkan. Sebab para pihak yang berbeda menyebut
idenya sebagai upaya penguatan KPK.
Terlepas dari motif
politik di balik perdebatan, wacana telah menimbulkan fragmentasi yang seolah
berhadap-hadapan antara yang mendukung dan menolak usulan revisi UU KPK.
Tidak heran, dikotomi perbedaan pandangan tersebut mampu mengubur alternatif
pemikiran lain, seperti ide yang mengakomodasi kedua perbedaan yang
sesungguhnya dapat memperkuat KPK.
Sebagai fenomena
komunikasi (sosial) yang senantiasa cair, termasuk wacana publik tentang
usulan revisi UU KPK, tidak pernah dikotomis. Sangat banyak alternatif
pilihan lain, sebanyak orang yang berpikir tentang revisi UU KPK.
Karena itu, publik
tidak boleh terjebak pada kedua pola, mendukung atau menolak usulan revisi UU
KPK, sebagai permainan para aktor politik. Tetapi publik harus memunculkan
dan mengembangkan pemikiran- pemikiran orisinal sebagai alternatif pilihan
merestorasi UU KPK.
Merestorasi Pelemahan
Salah satu alternatif
dari sekian banyak alternatif, publik perlu memahami secara jernih dan
holistis isi RUU KPK. Artinya, bisa saja dilakukan revisi UU KPK, namun
memosisikan KPK tetap kuat. Untuk itu menurut hemat saya, perlu dilakukan
restorasi pasal pelemahan yang terdapat pada usulan revisi UU KPK.
Berdasarkan pengamatan saya, setidaknya ada empat hal yang perlu direstorasi.
Pertama , aspek
independen KPK. Pada bagian pasal awal usulan revisi UU KPK menyebutkan, KPK
adalah lembaga negara bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
mana pun. Namun pada usulan revisi UU KPK terdapat pada pasal sisipan, bahwa
Dewan Pengawas KPK diangkat oleh Presiden Republik Indonesia. Pemberian
wewenang kepada presiden mengangkat Dewan Pengawas menawarkan makna bahwa KPK
sebagai lembaga independen.
Presiden sebagai
jabatan politik, bisa jadi keputusan pengangkatan Dewan Pengawas bernuansa
politik pribadi dan atau berbau kepentingan partai pengusung ketika ia
menjadi calon presiden. Sebab, perilaku dan kebijakan politik selalu
membonceng kepentingan politik, yang boleh jadi posisi presiden sulit
menolaknya.
Dalam dinamika
politik, tidak ada ”makan siang” gratis. Untuk meringankan tugas dan beban
presiden, wewenang mengangkat Dewan Pengawas harus direstorasi. Untuk itu,
Dewan Pengawas KPK tidak boleh diangkat oleh otoritas kekuasaan eksekutif
(presiden) maupun legislatif, tetapi bersifat otomatis dan deklaratif.
Bisa saja secara
otomatis para pimpinan atau yang mewakili organisasi keagamaan di Indonesia
menjadi Dewan Pengawas KPK yang dilegalkan dengan deklaratif melalui Surat
Keputusan Mahkamah Agung dengan asumsi bahwa orang yang berada di organisasi
keagamaan lebih berintegritas, independen dari kekuasaan, dan sudah selesai
dengan dirinya.
Kedua, aspek
penyadapan. Pada pasal sisipan yang lain usulan revisi UU KPK, ayat 1
menyebutkan, ”...penyadapan dilaksanakan
setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis dari Dewan
Pengawas”. Isi pasal ini berpotensi melemahkan KPK dalam melaksanakan
tugasnya. Padahal, potensi penyadapan sangat efektif digunakan untuk
memperoleh bukti permulaan.
Jadi, kalau penyadapan
harus dilakukan setelah bukti permulaan maka salah satu kekuatan penyadapan
menjadi mandul. Di sisi lain, penyadapan dalam pemberantasan korupsi harus
dapat dilakukan di awal, dan atau sepanjang proses, dan atau di akhir dari
proses hukum dugaan tindak pidana korupsi. Bila KPK berperan lebih optimal
dalam pemberantasan korupsi, jangan sekali-kali membatasi waktu atau membuat
suatu kondisi tertentu baru boleh melaksanakan penyadapan.
Penyadapan yang
dilakukan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas, sekalipun izin itu sebelum
atau sesudah penyadapan, tetap tidak produktif. KPK bisa ”terpenjara” dalam
melakukan penyadapan. Sebab kecepatan waktu melakukan penyadapan sangat
penting dalam pencegahan maupun penindakan dugaan tindak pidana korupsi.
Selain itu, penyadapan merupakan tindakan rahasia, yang hanya dimiliki oleh
penyelidik dan penyidik.
Kerahasiaan proses
penyadapan harus tetap terjaga dengan baik agar proses penyelidikan dan
penyidikan dapat berlangsung cepat, efektif, holistis, dan tuntas. Selain
itu, data penyadapan bisa saja masih terkait dengan tindak pidana korupsi
sebelumnya atau ke depan. Bahkan untuk sementara waktu, komisioner KPK
sendiri kalau boleh tidak perlu tahu secara detail tentang operasi penyadapan
yang dilakukan oleh penyelidik dan penyidik.
Setelah selesai
penyadapan, tentu bila diperlukan, baru diberi tahu kepada komisioner KPK.
Data yang sifatnya rahasia ini sejatinya juga tidak perlu dilaporkan kepada
Dewan Pengawas. Yang dilaporkan hanya data penyadapan tidak terkait dengan
dugaan tindak pidana korupsi untuk dimusnahkan.
Namun perlu
dimunculkan satu ayat, bila kelak terbukti hasil penyadapan sama sekali tidak
terkait dengan tindak pidana korupsi tetapi disimpan dan atau dimanfaatkan
untuk kepentingan tertentu oleh penyadap dan komisioner KPK harus diberikan
sanksi berat. Misalnya, penjara seumur hidup. Hal ini penting karena penyadap
telah ”menyandera” kebebasan dan atau menghambat dengan sengaja kemajuan
seseorang.
Ketiga, aspek Surat
Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3). Pada UU KPK yang sedang
berlaku, KPK tidak diperkenankan mengeluarkan SP3. Seseorang yang menjadi
tersangka, otomatis lanjutannya menyandang status terdakwa hingga pengadilan
mengeluarkan keputusan.
Sedangkan usulan
revisi UU KPK pada pasal bagian-bagian akhir ayat 1 menyebutkan, KPK
berwenang mengeluarkan SP3, tanpa menguraikan kriteria yang operasional
sebagai landasan SP3. Sebab, ayat 2 pasal yang sama hanya mengatakan,
penghentian penyelidikan harus disertai alasan dan bukti yang cukup.
Untuk itu, pasal
penerbitan SP3 harus mencantumkan alasan seperti; (1) terduga meninggal
dunia; (2) perkara yang disangkakan sudah lebih dahulu berproses di
pengadilan negeri atau sudah mempunyai keputusan pengadilan berkekuatan hukum
tetap; dan (3) orang yang bersangkutan sakit fisik permanen disertai bukti
surat dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sehingga sama sekali tidak dapat
memahami kasus yang dipersangkakan kepadanya.
Keempat, aspek
ketersediaan penyelidik dan penyidik. Pengadaan tenaga penyelidik dan
penyidik KPK masih tergantung dengan instansi kepolisian dan kejaksaan. Untuk
merestorasinya, tenaga penyelidik dan penyidik yang berasal dari kedua
lembaga ini tidak boleh ditarik kembali oleh instansi awalnya. Tetapi mereka
bisa kembali jika yang bersangkutan ingin kembali atau dikembalikan oleh KPK
karena kinerjanya tidak produktif.
Dengan melakukan
restorasi terhadap usulan revisi UU KPK, dipastikan lembaga antirasuah ini
menjadi lebih kuat. Setidaknya komisioner KPK tidak menyalahgunakan atau
memanfaatkan jabatannya untuk tujuan kepentingan pribadi. Atau tidak
memanfaatkan jabatan di KPK sebagai promosi politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar