Deparpolisasi
M Subhan SD ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 12 Maret
2016
Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok mungkin dianggap "biang kerok". Gara-gara memilih jalur
perseorangan untuk ikut Pilkada DKI Jakarta 2017, ia dituding melakukan deparpolisasi.
Padahal Ahok bukan orang pertama yang memilih jalur perseorangan. Pada
pilkada serentak tahun 2015, menurut data Skala Survei Indonesia, ada 35
persen pasangan calon perseorangan. Sebanyak 14,4 persen mereka menang,
mengalahkan mesin partai politik. Ahok memang apes saja. Namun, ini
menunjukkan Ahok ditakuti parpol.
Ketua Umum PDI-P
Megawati Soekarnoputri langsung bereaksi. Elite PDI-P dikumpulkan, Senin
(7/3) malam. Megawati memerintahkan PDI-P DKI Jakarta memperkuat konsolidasi
dan melawan deparpolisasi. "Secara tata negara, deparpolisasi adalah
pelemahan. PDI-P melawan deparpolisasi," kata Prasetio Edi Marsudi,
Sekretaris DPD PDI-P DKI Jakarta yang juga Ketua DPRD DKI Jakarta, Selasa
(8/3).
Bukan baru kali ini
saja Megawati bicara deparpolisasi. Ketika berpidato di Kongres IV PDI-P di
Bali, 9 April 2015, Megawati juga bicara hal sama. Bagi parpol, deparpolisasi
adalah bencana besar. Karena, parpol bisa ditinggal pemilih. Apabila gerakan
ini terus membesar, parpol bisa-bisa masuk ke liang kubur.
Nah, Presiden
Soekarno, ayah Megawati, pernah menyerukan parpol-parpol dikubur karena
paradoksal, saling sikut, membuat bangsa terbelah. Dua kali Bung Karno
berpidato serius ingin mengubur parpol. Pertama di depan wakil pemuda dari
semua parpol pada 28 Oktober 1956 dan kedua di depan kongres persatuan guru
pada 30 Oktober 1956.
Suara Bung Karno
menggelegar, "Ada penyakit yang
kadang-kadang lebih hebat daripada rasa suku dan rasa daerah! Yaitu penyakit
apa? Penyakit kepartaian saudara-saudara!... Tahukah saudara-saudara pemuda
dan pemudi, impianku saat aku berpidato di hadapan saudara-saudara ini?
Impianku lha mbok ya... pemimpin-pemimpin partai-partai ini, berjumpa satu
sama lain, mengadakan musyawarah satu sama lain, dan lantas mengambil
keputusan satu sama lain: marilah sekarang ini bersama-sama kita menguburkan
semua partai!"
Padahal baru setahun
Indonesia menggelar pemilu demokratis diikuti 172 peserta (parpol dan
perseorangan) pada 1955. Memang, pada era demokrasi parlementer kehidupan
politik selalu gonjang-ganjing. Kabinet saling menjatuhkan. Usia kabinet
sebatas masa panen. Misalnya, Kabinet M Natsir (Partai Masyumi) bertahan 6
September 1950-23 April 1951. Demikian kabinet lainnya seperti Kabinet
Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) antara 26 April 1951-23 Februari 1952,
Kabinet Wilopo (PNI) 30 Maret 1952-2 Juni 1953, Kabinet Ali Sastroamidjojo I
PNI 31 Juli 1953-24 Juli 1955, Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) 11
Agustus 1955-3 Maret 1956.
Stabilitas politik pun
goyah. Sebagai bangsa baru, konflik politik terlalu membebani dan tidak
kondusif. Bung Karno mengkritik sistem yang liberal itu. Tahun 1957, Bung
Karno mulai mengarahkan pada sistem Demokrasi Terpimpin. Tahun 1959, terbit
Dekrit Presiden: kembali ke UUD 1945 dan Konstituante dibubarkan. Pada pidato
17 Agustus 1959, Bung Karno mengeluarkan Manifesto Politik (Manipol) untuk
menyelesaikan revolusi. Era demokrasi terpimpin dimulai. Inilah deparpolisasi
pertama di negeri ini.
Deparpolisasi
berikutnya sepanjang Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Langkah awal
adalah penyederhanaan atau perampingan parpol. Ini eufemisme saja. Faktanya
adalah pengerdilan parpol. Caranya, pasca Pemilu 1971, fusi parpol-parpol
dilakukan tahun 1973. Parpol-parpol Islam, seperti Partai NU, Parmusi, PSII,
dan Perti, disatukan menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Parpol-parpol nasionalis dan Katolik/Kristen, seperti PNI, Partai Kristen
Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, dan Partai IPKI (Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia), disatukan di Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Orde Baru sendiri
membesarkan Golongan Karya (Golkar) yang dirintis sejak 1964 melalui militer
(TNI). Memang unik karena Golkar tidak dimasukkan dalam kategori parpol.
Setiap pemilu, mereka disebut organisasi peserta pemilu (OPP), terdiri dua
parpol dan satu Golkar.
Ciri utama sistem
politik era Orde Baru adalah konsep massa mengambang (floating mass). Konsep
ini melarang parpol beroperasi di tingkat bawah (grass root). Padahal dalam
demokrasi, akar rumput itulah basis massa. Karena tidak bisa menjangkau
lapisan bawah, parpol pun teralienasi dari rakyat. Itulah era Demokrasi
Pancasila. Membonsai parpol sembari membesarkan Golkar adalah bentuk
deparpolisasi secara sistematis.
Meskipun mengalami
deparpolisasi, nyatanya parpol bisa bertahan. Bagaimanapun parpol adalah
pilar penting demokrasi. Tanpa parpol, maka demokrasi tumbang, dan itu
artinya rakyat bisa tidak berdaulat. Dalam terminologi politik, parpol punya
fungsi-fungsi penting: sarana komunikasi politik, sarana rekrutmen politik, sarana
sosialisasi politik, sarana pengelola konflik (Miriam Budiardjo, 1994). Intinya, parpol mustahil ditiadakan
dalam pengelolaan negara dan bangsa.
Maka, pasca reformasi
1998, parpol jadi magnet luar biasa. Parpol tumbuh bak cendawan di musim
hujan, walaupun banyak pula berguguran tak lolos ambang batas. Masalahnya,
banyak orang yang selalu tergiur memburu takhta, dan tentu mesti lewat parpol
sebagai kendaraan politik.
Menariknya, pada era
pemilihan langsung, faktor "figur" jadi daya tarik tersendiri. Publik
lebih memilih figur lingkaran luar ketimbang elite atau kelompok oligarkis di
parpol. Figur Joko Widodo yang sekelas kader justru jadi produk laris-manis.
PDI-P menang Pemilu 2014, tetapi Jokowi yang jadi presiden. Faktor figur
menggerus legitimasi parpol. Tanpa disadari oleh parpol, inilah pintu awal
proses deparpolisasi.
Runyamnya lagi
sebagian besar parpol bercitra buruk. Banyak kader terjerat korupsi. Politik
uang menjadi virus yang menjalari sekujur tubuh parpol-parpol. Survei Populi
Center, Januari 2015, menunjukkan cuma 12,5 persen responden yang percaya
parpol. DPR, tempat kerja parpol, menjadi lembaga terkorup (39,7 persen), di
atas Polri (14,2 persen). Distrust terhadap parpol begitu tinggi. Perilaku
korup kader justru itulah proses deparpolisasi. Sadarkah mereka?
Sekarang ini, kalaupun
ada gejala deparpolisasi sesungguhnya lebih sebagai reaksi pasif terhadap
perilaku buruk parpol. Jangan bayangkan gejala deparpolisasi itu seperti
gerakan aktif, katakanlah semacam gerakan moral Golput (Golongan Putih) pada
1971. Golput itu bukan cuma deparpolisasi, melainkan sekaligus degolkarisasi.
Jadi, jangan salahkan
jalur perseorangan. Jalur perseorangan sama konstitusional dengan parpol.
Jangan cengenglah melihat fenomena Ahok. Lebih baik parpol introspeksi dan
cepat berbenah agar bisa merebut kembali hati rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar