Kepemimpinan Disegani
Herry Tjahjono ;
Terapis Budaya Perusahaan
|
KOMPAS, 10 Maret
2016
Silang pendapat
antarmenteri yang terus terjadi di ruang publik (dan ini bukan yang pertama
kali) tentu saja menggerus wibawa pemerintah/kabinet, khususnya wibawa
Presiden Joko Widodo.
Pada 2015, misalnya,
silang pendapat itu antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan
Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya soal proyek pembangkit listrik 35.000
MW, berlanjut soal perpanjangan kontrak Freeport. Lalu silang pendapat antara
Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan soal impor beras.
Di tahun 2016, yang
baru beberapa bulan ini, telah muncul silang pendapat antara Menteri
Perhubungan dan Menteri BUMN soal kereta cepat. Lalu kembali silang pendapat
antara Menteri ESDM dan Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya soal Blok
Masela. Terakhir, polemik antara Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi dan Sekretaris Kabinet soal Garuda Indonesia.
Bahkan, yang lebih
parah, ada menteri yang berani mendahului Presiden, seperti diungkapkan Jubir
Presiden Johan Budi SP belum lama ini. Sementara Presiden Jokowi dengan jelas
telah memberikaan ”arahannya” beberapa kali bahwa silang pendapat cukup
terjadi di sidang kabinet. Namun, kenapa silang pendapat yang memalukan
sebagai refleksi rendahnya soliditas kabinet yang notabene kurangnya
kewibawaan (kepemimpinan) Presiden itu terus terjadi, seolah arahan Presiden
itu masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan?
Psikologi organisasi
Tampaknya, Jokowi
harus menyadari heterogenitas latar belakang—termasuk motif, kepentingan,
serta kompetensi dan kesetiaan para menteri dalam kabinetnya—baik dari aspek
politik maupun profesionalisme. Setelah dua tahun berjalan, soliditas kabinet
tak kunjung membaik. Bukan cuma soal kewibawaan Presiden, terlebih penting
lagi: kinerja Kabinet Kerja secara holistik. Dari tinjauan psikologi
organisasi, problem ini terutama terkait dengan aspek terpentingnya, yaitu
kepemimpinan.
Ada dua tipe
kepemimpinan spesifik yang relevan dengan konteks permasalahan rendahnya
soliditas kabinet ini. Pertama, kepemimpinan yang ditakuti. Tipe kepemimpinan
ini landasan psikologi (kepemimpinannya) dimulai dari proses ”menaklukkan
hati” para pengikut. Penaklukan hati pengikut ini lebih dilandasi oleh
posisiseorang pemimpin, SK (surat keputusan), atau legitimasi formal
kepemimpinan. Jika meminjam konsep John Maxwell, pemimpin menjalankan
kepemimpinannya karena dia punya hak (formal) kepemimpinan, dan pengikut
mengikuti pemimpin karena mereka harus/diharuskan.
Jenis interaksi
relasional pemimpin–pengikut bersifat transaksional: saya akan melakukan
sesuai apa yang saya dapatkan. Atau saya akan melakukan sesuai apa yang
diminta dan dituntut dari saya. Kadar kewibawaan pemimpin berada di lapis terluar,
perifer: pengikut akan patuh dan menurut ketika berada di depan pemimpin.
Namun, tatkala pemimpin berbalik, pengikut akan menjulurkan lidahnya di
belakang punggung pemimpinnya (baca: kewibawaan pemimpin menurun bahkan
lenyap, pengikut bisa sama sekali tidak mengindahkan kepemimpinan sang
pemimpin). Kehadiran fisikal pemimpin sangat diperlukan. Ibaratnya, jika
kucing tak di tempat, tikus akan berlarian merajalela.
Kedua, kepemimpinan
yang disegani. Tipe kepemimpinan ini landasan psikologi kepemimpinannya
dimulai dari proses ”memenangkan hati” para pengikut. Proses pemenangan hati
pengikut ini tidak semata-mata mengandalkan legitimasi formal kepemimpinan
karena posisi atau SK, tetapi lebih kepada legitimasi moral pribadi, juga
karena kualitas dan keberadaan diri sang pemimpin. Diawali proses aktualisasi
diri kepemimpinan yang menjadi bukti kualitas dan keberadaan kepemimpinan,
dan dari proses itu terbentuklah portofolio kepemimpinan sang pemimpin di
mata pengikutnya.
Meminjam konsep John
Maxwell, pemimpin menjalankan kepemimpinannya karena dia punya atau
mendapatkan respek dari pengikutnya, dan pengikut mengikuti pemimpin karena
mereka memang mengakui dan menerima pribadi sang pemimpin.
Jenis interaksi
relasional pemimpin–pengikut bersifat transformasional: saya akan melakukan
apa pun lebih dari yang saya dapat. Atau saya akan melakukan jauh lebih baik,
bahkan terbaik dari yang diminta dan dituntut dari saya. Kadar kewibawaan
pemimpin berada di lapis terdalam: pengikut akan patuh dan menurut di mana
pun pemimpin berada. Fungsi dan wibawa kepemimpinan tak memerlukan kehadiran
fisikal sang pemimpin.
Jelas dan tegas
Melihat berbagai
gejala yang diuraikan di atas, tampaklah Jokowi lebih mengarah pada tipe
kepemimpinan yang ditakuti. Dia memimpin dan diikuti hanya berdasarkan kursi
formal kepresidenannya.
Jika Jokowi mau
bertahan pada tipe kepemimpinan yang ditakuti, itu sah saja, tetapi dia harus
melengkapi kepemimpinannya dengan mekanisme reward-punishment yang jelas dan tegas. Polanya tidak bisa hanya
memberikan arahan, imbauan, teguran, dan lainnya. Kalau perlu model hukuman
yang diberikan harus lebih tegas dan jelas, sampai pemberhentian. Jokowi
tidak perlu ragu untuk melakukan perombakan kabinet sebagai bentuk hukuman
padamenteri- menteri pembangkang.
Opsi lain, berpindah
dimensi kepemimpinan, menuju tipe kepemimpinan disegani. Konsekuensinya,
Jokowi harus meningkatkan legitimasi moral kepemimpinannya melalui proses
aktualisasi diri kepemimpinan terus-menerus lewat peningkatan kapasitas,
kompetensi kepresidenan, dan integritas dirinya (satunya kata dan perbuatan).
Pada saat yang sama, diimbangi dengan pola apresiasi yang jelas dan tegas
kepada menteri yang bukan hanya punya kinerja bagus, melainkan juga
menunjukkan kepatuhan moral yang bagus.
Tentu saja Jokowi bisa
memakai keduanya secara situasional, tetapi untuk saat inidia lemah sekali
soal kapasitas kepemimpinan yang disegani. Sementara kompleksitas dan
tantangan permasalahan saat ini dan ke depan lebih membutuhkan tipe
kepemimpinan yang disegani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar