Liberalisasi Vs Kedaulatan Pangan
Gatot Irianto ;
Ketua Upsus Padi, Jagung, dan Kedelai Nasional;
Dirjen Prasarana dan Sarana
Pertanian
|
KOMPAS, 10 Maret
2016
Keputusan brilian
Presiden memutuskan kedaulatan pangan dalam Nawacita perlu diapresiasi. Melalui
Upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai 2015/2016,
pekerjaan rehabilitasi jaringan irigasi 2 juta hektar; perluasan areal sawah
220.000 ha; pendayagunaan bantuan alat mesin pertanian untuk percepatan
panen, pengolahan tanah, tanam, dan pengolahan hasil; yang disinergikan
bersama TNI AD, telah menunjukkan kinerjanya.
Ketika El Nino 2015
sangat kuat, kenaikan suhu permukaan laut 2,4° celsius, Indonesia tidak
mengimpor beras. Sementara itu, El Nino 1997 dengan kenaikan suhu permukaan
laut 1,8° celsius, Indonesia mengimpor beras 7,1 juta ton. Hasilnya adalah
panen raya Maret-Juni 2016 seluas 6,9 juta ha. Ironisnya, kartel pangan tetap
meminta pemerintah membuka impor beras. Pertanyaannya, beras petani akan
dikemanakan?
Perebutan pasar pangan
Perebutan pasar pangan
antara penganut liberalisasi versus kedaulatan pangan semakin tajam. Kartel
beras sebagai unsur utama dalam mazhab liberal mengambinghitamkan produksi
beras dalam negeri tak mencukupi sehingga harga melambung, impor beras harus
dibuka. Ditambah lagi oleh Vietnam dan Thailand yang menghadapi masalah biaya
simpan dan penurunan mutu beras, kedua negara itu pastilah membujuk Indonesia
mengimpor beras.
Data Badan Pusat
Statistik (BPS) disudutkan pengamat dan jajaran pemimpin negeri. Mereka
mempertanyakan, kalau surplus, berasnya di mana? Pertanyaan itu terjawab
ketika stok beras Pasar Induk Cipinang saat paceklik per 9 Februari 2016
mencapai 52.000 ton, harga beras medium Rp 7.500-Rp 8.500 per kilogram.
Periode Januari 2013-2015 hanya 30.000 ton beras dengan harga medium Rp
10.000 per kg. Artinya, tuduhan data produksi pangan BPS tak akurat dan tak
berdasar.
Sebaliknya, sinyalemen
kartel beras menimbun, menggoreng harga di pasar beras, terbukti adanya.
Tuduhan akademisi bahwa harga beras Indonesia paling mahal di dunia juga
menyesatkan. Menurut survei di Ho Chi Minh, Vietnam, 13 Desember 2015, harga
beras kelas umum 18.000-24.000 new dong Vietnam setara Rp 10.711-Rp 14.282.
Itu lebih mahal dibandingkan dengan beras Indonesia.
Pasar pangan Indonesia
sangat menggiurkan sehingga merebut pasar pangan Indonesia identik dengan
merebut pasar beras dunia. Daya beli Indonesia dengan pendapatan per kapita
3.415 dollar AS lebih tinggi dibandingkan Filipina yang 2.170 dollar AS,
India (1.688 dollar AS), dan Vietnam (2.170 dollar AS) menjadi daya tarik
lainnya.
Terhadap impor jelang
panen raya, dilakukan kartel pangan untuk mendestruksi harga jual gabah dan
beras petani. Petani terpuruk dan terjerat rentenir. Implikasinya, sistem
produksi padi nasional dikuasai pemodal dan petani menjadi buruhnya. Generasi
muda tidak berminat bertani, sawah dijual untuk pabrik, jadilah mereka buruh
pabrik.
Ketika sistem produksi
padi hancur, mulailah harga dilambungkan karena Indonesia tidak punya pilihan
lain kecuali membeli dengan harga berapa pun. Itu sudah terjadi untuk kedelai
sejak Indonesia meneken letter of
intent dengan IMF. Kita menjadi importir permanen.
Indonesia dalam
dasawarsa 1970-an mengimpor sapi. Importasi yang berlebihan menghancurkan
minat peternak sapi lokal. Mereka gulung tikar dan Indonesia menjadi importir
permanen. Pemerintah harus tegas dan berani memutus rantai kartel pangan dan
melindungi yang lemah agar petani dan konsumen tidak masuk jebakan
eksploitasi ekonomi mereka.
Sistem tarif satu atap dan "online"
Pengendalian dan
transparansi tata niaga beras merupakan prasyarat mutlak mencapai kedaulatan
pangan. Selanjutnya, importasi pangan dengan sistem kuota yang mengarah ke
kartel harus dihentikan, diganti dengan sistem tarif, satu atap, sistem
online. Transparansi ini akan menutup markas kartel pangan. Penguasaan
produksi dalam negeri, impor dan cadangan pangan pemerintah; data konsumsi
dan diversifikasi; serta tata niaga pasar dan penyimpanan harus dilakukan.
Pengadaan beras Bulog harus dilakukan langsung dari petani agar untung yang
diterima petani maksimal.
Jika Bulog tetap
membeli beras dari mitranya, maka Bulog secara sadar menyerahkan APBN untuk
memperkuat persentase pasar dan kekuatan pasar kepada kartel pangan untuk
mendikte pasokan dan harga pangan. Kalau kartel bisa berdagang beras, pasti
Bulog lebih hebat karena difasilitasi pemerintah dengan segala privilesenya.
Data ruang dan waktu
luas sawah, tanam, fase vegetatif, dan luas panen harus dapat dipantau
seketika sehingga produksi, pengamanan produksi, dan harga pangan dapat
diprediksi setiap saat. Reformasi BPS dalam hal sumber daya manusia dan
infrastruktur pendukungnya mutlak dilakukan segera. Penggunaan kanal satelit
mandiri dengan resolusi spasial dan temporal detail harus dilakukan agar data
produksi, banjir, dan kekeringan terukur, terlacak, dan terbandingkan.
Apriori penguasaan
kartel beras pasokan dan harga pangan lebih dominan dibandingkan dengan Bulog
sehingga sampai kapan pun drama pasokan pangan dan harga pangan terus
terjadi. Harga jagung pada petani Rp 3.200 per kg, peternak membeli dengan
harga Rp 6.000. Bawang merah Rp 8.000-10.000 per kg; di pasar becek Rp 25.000
per kg. Harga gabah di tingkat petani Rp 3.500-Rp 4.000 per kg dan harga
beras medium Rp 7.500. Di pasar harganya Rp 10.000 per kg. Kartel mengeruk
untung lebih 40 persen dari perdagangan, sementara petani hanya menerima
10-15 persen. Artinya, bantuan pemerintah yang jumlahnya lebih dari Rp 100
triliun itu diterima untuk memperkuat posisi tawar kartel pangan.
Desain tata niaga yang
jujur, adil, dan transparan diperlukan agar produsen, pedagang, dan konsumen
memperoleh manfaat sesuai dengan pengorbanannya. Pemerintah melalui regulasi
harus bisa memidanakan kartel yang menumpuk pangan dan menggoreng harga demi
kepentingan sesaat. Format ini belum pernah ada sejak Indonesia berdiri
karena keputusan importasi, gejolak harga selalu dipikul pemerintah, bukan
membekuk dan memenjarakan aktornya.
Indonesia harus
mencontoh negara adidaya Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang yang memproteksi
produksi, pasar pangan, beserta petaninya dari serbuan impor. Mengapa
Indonesia mau meliberalisasi pasar pangannya? Negara harus hadir di depan
melindungi kedaulatan pangannya. Sebaliknya, terhadap komoditas ekspor yang
memiliki daya saing kuat, seperti kelapa sawit dan kakao, kita harus
penetrasi pasar ke seluruh dunia. Jika kedaulatan pangan dicapai, maka 75
persen masalah bangsa dapat diselesaikan. Kita semua harus mendengarkan
"suara rakyat suara Tuhan" langsung agar dapat merasakan denyut dan
deritanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar