KTT OKI : Dari Rabat ke Jakarta
Trias Kuncahyono ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 05 Maret
2016
Tanggal 12 Rajab tahun 1389
Hijrah atau 25 September 1969 di Rabat, Maroko, disepakati berdirinya
Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tetapi, pada pertemuan tingkat menteri
yang ke-38 di Astana, Kazakhstan, namanya diubah menjadi Organisasi Kerja
Sama Islam (OKI).
OKI, yang sekarang
beranggotakan 57 negara, merupakan organisasi antarpemerintah terbesar kedua
di dunia setelah PBB, 192 negara. Negara-negara anggota OKI tersebar dari
Guyana di timur laut Afrika Selatan sampai Indonesia di Asia Tenggara; dan
dari Kazakhstan di Asia Tengah hingga Mozambik di Afrika Timur. Kelahiran
OKI, pertama-tama, dipicu oleh penyerangan terhadap Masjid Al-Aqsa di Jerusalem
pada 21 Agustus 1969.
Elizabeth H Prodromou dari
Universitas Tufts menulis, OKI adalah satu-satunya organisasi
antarpemerintah, internasional yang keanggotaan dan raison
d'etre-nya ditegaskan agama. Maka, tujuan utamanya-seperti yang
tertuang dalam Piagam OKI yang diadopsi dalam KTT Ke-11 OKI di Dakar,
2008-adalah memperkokoh solidaritas Islam dan kerja sama di antara negara
anggota.
Piagam OKI juga menegaskan
tentang perlunya organisasi memilih cara-cara damai dalam menyelesaikan
setiap konflik di antara negara anggota. Langkah yang ditempuh antara lain
lewat mediasi, arbitrase, rekonsiliasi, dan kerja sama dengan organisasi
internasional atau regional lain.
Ibrahim Kalin dari College of
the Holy Cross, Worchester, berpendapat, OKI tidak hanya dibutuhkan karena
alasan-alasan politik, tetapi juga karena alasan-alasan sosial, ekonomi,
budaya, dan keamanan. Hal itu karena proses cepat modernisasi dan politik
internasional yang melingkungi hubungan antara masyarakat Muslim dan kekuatan
utama dunia modern. Dalam kondisi seperti itu, lahirnya OKI sangat penting
karena berperan sebagai suara potensial dunia Muslim.
"Proyek" pertama OKI
adalah konflik PLO dan Jordania (1970), lalu konflik Banglades dan Pakistan
(1981). Di kedua konflik itu OKI memainkan peran penting dan berhasil
menyelesaikannya. Tetapi, saat memediasi konflik Irak dan Iran (1980), OKI
gagal. OKI juga membantu menyelesaikan kasus Filipina, yakni antara
pemerintah dan MNLF; lalu Thailand, antara pemerintah dan masyarakat di
Patani, Yala, Narathiwat, dan Singkhla; serta terlibat penyelesaian krisis
Somalia (2008), dan Irak (2003) setelah Saddam Hussein tumbang.
Kini, OKI diharapkan bisa
berperan serta dalam menyelesaikan masalah "lintas abad", yakni
masalah Palestina, yang sebenarnya adalah "utang" yang belum
dibayar OKI (mengingat berdirinya OKI sebagai reaksi terhadap penyerangan
Masjid Al-Aqsa oleh Israel). Di dalam KTT luar biasa di Jakarta-lah masalah
itu dibahas. KTT dilaksanakan di Jakarta atas permintaan Presiden Palestina
Mahmoud Abbas dan OKI.
Tetapi, Palestina bukan masalah
ringan. Kita lihat sudah demikian banyak perundingan yang melibatkan
negara-negara besar bahkan PBB digelar, dan juga banyak perjanjian disepakati
serta ditandatangani, tetapi konflik antara Israel dan Palestina belum juga
berakhir. Bahkan, setelah revolusi Musim Semi Arab dan pergolakan di Suriah
yang tidak juga reda, masalah Palestina terkesan "dilupakan".
Masalah Palestina seperti tidak ada ujungnya. Bahkan, menyelesaikan konflik
Israel dan Palestina seperti merajut angin.
Memang, Palestina menghadapi
problem berat, baik internal maupun eksternal, yang menghambat perdamaian.
Problem eksternal, tentu, berkaitan dengan kekeras-kepalaan Israel, yang
antara lain membabi buta membangun permukiman-permukiman baru di wilayah Tepi
Barat. Paling tidak ada enam masalah utama yang menghambat perdamaian dengan
Israel, yakni masalah Jerusalem, pengungsi, perbatasan, keamanan, negara
Yahudi, dan sumber daya air.
Sementara masalah internal bisa
dibagi menjadi dua: pertama, hubungan antara Fatah dan Hamas yang tidak
harmonis. Kedua, mempersiapkan calon pengganti pemimpin Palestina sekarang
ini, Mahmoud Abbas (81). Selama Fatah dan Hamas tidak rukun, tidak bersatu,
adalah amat sulit menghadapi Israel. Apalagi antara Fatah dan Hamas dasar
ideologinya berbeda secara diametral. Yang satu bisa diajak berunding,
dialog, sedangkan yang satunya lagi cenderung memilih jalan kekerasan.
Apa yang bisa dilakukan OKI?
Apakah OKI mampu mempersatukan mereka? Itu antara lain pertanyaan
pesimistiknya. Apa yang bisa diperankan oleh Indonesia? Pemilihan Jakarta
sebagai tempat pelaksanaan KTT luar biasa adalah bentuk kepercayaan Palestina
dan OKI kepada Indonesia. Ini merupakan modal awal untuk mengajak Fatah dan
Hamas-yang sudah memercayai Indonesia-bersatu mewujudkan cita-cita rakyat
Palestina, mendirikan Negara Palestina Merdeka.
Tidak mudah memang. Tetapi,
harus dicoba dilaksanakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar