Minggu, 06 Maret 2016

KTT OKI : Dari Rabat ke Jakarta

KTT OKI : Dari Rabat ke Jakarta

Trias Kuncahyono ;   Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 05 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tanggal 12 Rajab tahun 1389 Hijrah atau 25 September 1969 di Rabat, Maroko, disepakati berdirinya Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tetapi, pada pertemuan tingkat menteri yang ke-38 di Astana, Kazakhstan, namanya diubah menjadi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

OKI, yang sekarang beranggotakan 57 negara, merupakan organisasi antarpemerintah terbesar kedua di dunia setelah PBB, 192 negara. Negara-negara anggota OKI tersebar dari Guyana di timur laut Afrika Selatan sampai Indonesia di Asia Tenggara; dan dari Kazakhstan di Asia Tengah hingga Mozambik di Afrika Timur. Kelahiran OKI, pertama-tama, dipicu oleh penyerangan terhadap Masjid Al-Aqsa di Jerusalem pada 21 Agustus 1969.

Elizabeth H Prodromou dari Universitas Tufts menulis, OKI adalah satu-satunya organisasi antarpemerintah, internasional yang keanggotaan dan raison d'etre-nya ditegaskan agama. Maka, tujuan utamanya-seperti yang tertuang dalam Piagam OKI yang diadopsi dalam KTT Ke-11 OKI di Dakar, 2008-adalah memperkokoh solidaritas Islam dan kerja sama di antara negara anggota.

Piagam OKI juga menegaskan tentang perlunya organisasi memilih cara-cara damai dalam menyelesaikan setiap konflik di antara negara anggota. Langkah yang ditempuh antara lain lewat mediasi, arbitrase, rekonsiliasi, dan kerja sama dengan organisasi internasional atau regional lain.

Ibrahim Kalin dari College of the Holy Cross, Worchester, berpendapat, OKI tidak hanya dibutuhkan karena alasan-alasan politik, tetapi juga karena alasan-alasan sosial, ekonomi, budaya, dan keamanan. Hal itu karena proses cepat modernisasi dan politik internasional yang melingkungi hubungan antara masyarakat Muslim dan kekuatan utama dunia modern. Dalam kondisi seperti itu, lahirnya OKI sangat penting karena berperan sebagai suara potensial dunia Muslim.

"Proyek" pertama OKI adalah konflik PLO dan Jordania (1970), lalu konflik Banglades dan Pakistan (1981). Di kedua konflik itu OKI memainkan peran penting dan berhasil menyelesaikannya. Tetapi, saat memediasi konflik Irak dan Iran (1980), OKI gagal. OKI juga membantu menyelesaikan kasus Filipina, yakni antara pemerintah dan MNLF; lalu Thailand, antara pemerintah dan masyarakat di Patani, Yala, Narathiwat, dan Singkhla; serta terlibat penyelesaian krisis Somalia (2008), dan Irak (2003) setelah Saddam Hussein tumbang.

Kini, OKI diharapkan bisa berperan serta dalam menyelesaikan masalah "lintas abad", yakni masalah Palestina, yang sebenarnya adalah "utang" yang belum dibayar OKI (mengingat berdirinya OKI sebagai reaksi terhadap penyerangan Masjid Al-Aqsa oleh Israel). Di dalam KTT luar biasa di Jakarta-lah masalah itu dibahas. KTT dilaksanakan di Jakarta atas permintaan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan OKI.

Tetapi, Palestina bukan masalah ringan. Kita lihat sudah demikian banyak perundingan yang melibatkan negara-negara besar bahkan PBB digelar, dan juga banyak perjanjian disepakati serta ditandatangani, tetapi konflik antara Israel dan Palestina belum juga berakhir. Bahkan, setelah revolusi Musim Semi Arab dan pergolakan di Suriah yang tidak juga reda, masalah Palestina terkesan "dilupakan". Masalah Palestina seperti tidak ada ujungnya. Bahkan, menyelesaikan konflik Israel dan Palestina seperti merajut angin.

Memang, Palestina menghadapi problem berat, baik internal maupun eksternal, yang menghambat perdamaian. Problem eksternal, tentu, berkaitan dengan kekeras-kepalaan Israel, yang antara lain membabi buta membangun permukiman-permukiman baru di wilayah Tepi Barat. Paling tidak ada enam masalah utama yang menghambat perdamaian dengan Israel, yakni masalah Jerusalem, pengungsi, perbatasan, keamanan, negara Yahudi, dan sumber daya air.

Sementara masalah internal bisa dibagi menjadi dua: pertama, hubungan antara Fatah dan Hamas yang tidak harmonis. Kedua, mempersiapkan calon pengganti pemimpin Palestina sekarang ini, Mahmoud Abbas (81). Selama Fatah dan Hamas tidak rukun, tidak bersatu, adalah amat sulit menghadapi Israel. Apalagi antara Fatah dan Hamas dasar ideologinya berbeda secara diametral. Yang satu bisa diajak berunding, dialog, sedangkan yang satunya lagi cenderung memilih jalan kekerasan.

Apa yang bisa dilakukan OKI? Apakah OKI mampu mempersatukan mereka? Itu antara lain pertanyaan pesimistiknya. Apa yang bisa diperankan oleh Indonesia? Pemilihan Jakarta sebagai tempat pelaksanaan KTT luar biasa adalah bentuk kepercayaan Palestina dan OKI kepada Indonesia. Ini merupakan modal awal untuk mengajak Fatah dan Hamas-yang sudah memercayai Indonesia-bersatu mewujudkan cita-cita rakyat Palestina, mendirikan Negara Palestina Merdeka.
Tidak mudah memang. Tetapi, harus dicoba dilaksanakan.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar