Konvergensi Regulasi Komunikasi
Amir Effendi Siregar ;
Ketua Pemantau Regulasi dan
Regulator Media (PR2MEDIA)
|
KOMPAS, 29
Februari 2016
Kini Indonesia punya
beberapa UU di bidang media dan komunikasi, antara lain UU Telekomunikasi, UU
Penyiaran, UU Pers, UU Kebebasan Informasi Publik, UU Informasi dan Transaksi
Elektronik, serta UU Perfilman. Sayang, dalam kenyataannya beberapa di
antaranya tidak terintegrasi dan tak sinkron, bahkan saling bertentangan
secara filosofis dan paradigmatik. Artinya, terdapat UU yang dianggap tidak
sejalan dengan UUD 1945 dan prinsip demokrasi. Selain itu, bagian terbesar UU
ini juga belum mengantisipasi perkembangan teknologi yang mengarah
konvergensi media dan komunikasi.
UU Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE), khususnya Pasal 27 Ayat 3 tentang Pencemaran Nama
Baik, telah membawa banyak orang ke penjara. Menariknya, pada bagian
menimbang yang merupakan landasan
filosofis, tidak terdapat keinginan membangun satu sistem komunikasi yang
demokratis. Tak ada kutipan Pasal 28 UUD 1945 tentang hak asasi manusia,
khususnya Pasal 28 F yang menjamin kebebasan berkomunikasi melalui segala
jenis saluran yang tersedia. UU ITE ini hanya mengutip Pasal 5 Ayat 1 dan
Pasal 20 tentang hak presiden dan DPR membuat UU. Ini adalah UU yang tidak
demokratis dan harus dikembalikan ke maksud tujuan awalnya, yaitu mengatur
transaksi elektronik yang terutama bersifat komersial.
Sementara UU Perfilman
masih memiliki Lembaga Sensor Film (LSF), yang dalam UU Pers tidak boleh ada
sensor terhadap pemberitaan media. Dalam negara demokrasi, seharusnya LSF ini
berubah dan menjadi Lembaga Klasifikasi Film, terutama untuk melindungi
anak-anak.
UU Telekomunikasi
sendiri sudah sangat ketinggalan zaman: meski dibuat masa awal reformasi,
RUU-nya sudah dibuat pada 1996, di era
liberalisasi bisnis besar-besaran akhir Orde Baru. Itu sebabnya UU
Telekomunikasi membolehkan industri telekomunikasi dikuasai asing, sementara
di industri penyiaran modal asing maksimal 20 persen.
Yang menarik, UU Pers,
UU Kebebasan Informasi Publik (KIP), dan UU Penyiaran sangat konstitusional
dan demokratis. Hal itu dapat dilihat dari bagian menimbang dan batang
tubuhnya. Problem besarnya justru pada
implementasi UU, khususnya UU Penyiaran. Ketiga UU ini sekarang menjadi
benteng demokrasi media dan komunikasi di Indonesia.
Perkembangan teknologi
berjalan begitu cepat. Kehadiran Netflix yang merupakan layanan streaming
video membuat dunia penyiaran dan telekomunikasi bergolak. Netflix ditutup PT
Telkom dengan beberapa alasan. Sementara Hooq, sejenis Netflix yang dimiliki
Singtel, diperkirakan masuk ke Indonesia lewat Telkomsel. Singtel memiliki 35
persen saham di Telkomsel.
Dari peristiwa ini
saja dapat kita lihat terjadi persaingan bisnis yang bersifat kapitalistis itu.
Di samping itu, perkembangan teknologi telah membuat kabur batas antara
penyiaran dan telekomunikasi. Artinya, telah terjadi konvergensi.
Proses berlangsungnya
konvergensi ini dipercepat usaha negara dan masyarakat. Beberapa waktu lalu,
Google mengumumkan perjanjian dengan XL Axiata, Indosat, dan Telkomsel, yang
menggunakan spektrum 900 MHz. Untuk itu, diluncurkan tiga balon Loon di
lapisan 20 kilometer di atas wilayah
Indonesia guna melayani kebutuhan internet. Ini adalah langkah hebat.
Komunikasi dapat dilakukan dari tempat mana pun. LSM ICT Watch pun bereaksi,
meminta pemerintah juga mendukung teknologi alternatif "open BTS".
Kemajuan teknologi menyebabkan antara lain
konvergensi media, yaitu radio dan televisi yang telah berlangsung lama. Juga
antara komputerisasi, komunikasi, dan isi media. Telematika sendiri adalah
gabungan jaringan komunikasi dan teknologi informasi atau antara
telekomunikasi dan teknologi informasi.
Banyak negara
mengantisipasi kemajuan teknologi ini dengan melakukan amendemen dan
perubahan regulasi. Amerika Serikat (AS)
sampai hari ini tetap menggunakan istilah telecommunication act dengan
perbaikan yang mengantisipasi perkembangan teknologi ini. Di AS, kita
mengenal Federal Communications
Commission (FCC), sebuah badan independen dengan kekuasaan mengatur
komunikasi dengan atau tanpa kabel.
Di Inggris terdapat Communication Act 2003 yang mengatur
kehidupan telekomunikasi dan media elektronik. Terdapat Office of Communications (Ofcom), sebuah otoritas untuk bidang
industri komunikasi. Ofcom meregulasi kehidupan televisi, radio, telepon fixed line ataupun mobile, dan beberapa kegiatan
komunikasi lainnya, termasuk memberikan izin. Di Australia terdapat The Australian Communications and Media
Authority (ACMA) yang bertanggung jawab atas regulasi broadcasting, internet, radio communication, dan telecommunication.
Seperti telah
disebutkan, beberapa UU di bidang media dan komunikasi ini secara
paradigmatik berbeda dan bertentangan
dan belum adaptif terhadap perkembangan teknologi. Itu sebabnya, perlu
perbaikan dan perubahan agar terintegrasi, sinkron, demokratis, dan
mengantisipasi perkembangan teknologi berdasarkan UUD 1945. Kita dapat
menyebutnya UU Komunikasi atau UU Telekomunikasi, UU atau Media dan
Komunikasi. Ini seharusnya segera dibahas oleh pemerintah dan DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar