Indonesia Setelah Romo Mangun
Rizky Alif Alvian ;
Mahasiswa Ilmu Hubungan
Internasional, Fisipol UGM
|
INDOPROGRESS, 01
Maret 2016
LAYAKNYA sebagian
besar anak muda di negeri ini, saya dididik untuk menjadi pemuda yang
nasionalis—kalau bukan fasis, malah. Saya dilatih untuk mencintai Indonesia,
mengagungkan sejarahnya, dan membelanya mati-matian. Malaysia nampak begitu
buruk dan “asing”—terlepas dari siapa yang betul-betul dirujuk oleh kata
itu—jadi sesuatu yang seolah terus mengancam kita. Ada desir yang terasa di
dada ketika melihat tentara memanggul senjata—seolah itulah bentuk bela
negara yang paling ideal. Ungkapan J.F. Kennedy, “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for
your country”, jadi jargon yang melekat di pikiran—terkadang, ditambah
jargon Benjamin Disraeli, “Right or
wrong it’s my country”.
Meski begitu,
mempelajari ilmu sosial dan politik di Yogyakarta membuat pikiran itu sedikit
goyah. Pada suatu hari, saya membaca buku Y.B. Mangunwijaya, Menjadi Generasi Pasca-Indonesia
(1999) di perpustakaan universitas. Romo Mangun—sebagaimana ia biasa
disapa—memberi tahu saya sesuatu. Nasionalisme Indonesia yang hari ini kita
yakini berbeda dengan nasionalisme Indonesia yang tumbuh ketika negeri ini
melawan imperialisme demi kemerdekaan dirinya sendiri. Nasionalisme Indonesia
berubah dan, bagi Romo Mangun, itu sama sekali bukan perubahan yang baik.
Nasionalisme kita hari ini, menggunakan istilah Romo Mangun, berdiri di atas
“nurani” yang mati. Kehendak untuk menghapuskan eksploitasi manusia oleh
sesamanya, keinginan untuk melawan imperialisme, atau kemauan untuk
membebaskan sesama manusia dari penderitaan jadi sesuatu yang hilang dari
imajinasi kita tentang “Indonesia” hari ini. Lubang itu kemudian diisi dengan
tuntutan agar rakyat bekerja keras dan rela berkorban demi negara.
Jargon-jargon yang saya kutip di awal jadi sesuatu yang makin wajar dan
terasa romantis walau, di sisi lain, memiliki konsekuensi yang amat merusak.
Setelah tujuh belas
tahun kematiannya, tulisan ini akan membicarakan ide Romo Mangun lagi. Dengan
membaca kembali Romo Mangun, tulisan ini berharap untuk menunjukkan bahwa
kita bisa mencintai Indonesia dengan cara lain; bahwa cara kita menghidupi
Indonesia hari ini bukanlah satu-satunya cara yang ada; dan bahwa ada cara
lain yang bisa lebih kita percayai.
***
Romo Mangun, dengan
meminjam konsep Blaise Pascal, berangkat dari satu asumsi penting: bahwa
manusia memiliki hati nurani. Hati nurani manusia memiliki kemampuan untuk
menemukan kebenaran secara intuitif. Apa yang dipahami Romo Mangun sebagai
kebenaran di sini cukup spesifik, yakni apa hal-hal yang memperkaya
kemanusiaan dan apa yang mengancamnya.[1] Dengan hati nurani yang terasah,
seseorang dapat melihat dan memahami penderitaan yang diderita orang lain dan
terdorong untuk mengambil tindakan demi melindunginya (Mangunwijaya, 1999a,
1999b).
Manusia memiliki hati
nurani semenjak ia dilahirkan. Namun, nurani manusia bisa berkembang ke arah
manapun. Hati nurani seseorang bisa tumbuh jadi nurani yang terasah—tapi bisa
juga tidak. Bagi Romo Mangun, seseorang dengan nurani yang mati tak akan
memiliki kemampuan untuk memilah mana yang baik dan buruk. Seseorang bukannya
akan dengan sengaja membuat orang lain menderita. Ia justru akan merasa bahwa
tindakannya baik dan luhur ketika tindakan itu sesungguhnya membuat orang
lain menderita. Di dalam diri manusia itu, tak ada kemampuan untuk merasakan
apa yang diderita orang lain (Mangunwijaya, 1999b).
Dalam
catatan-catatannya, Romo Mangun berpikir bahwa hati nurani akan dibentuk oleh
pendidikan. Pendidikan yang baik akan mengarahkan nurani seseorang menjadi
sensitif. Sebaliknya, pendidikan yang keliru akan membuat nurani seseorang
tak berfungsi. Ia kehilangan orientasi mengenai benar/salah dan, karenanya,
berbuat sesuatu yang menindas sambil di saat yang sama merayakannya sebagai
tindakan yang luhur. Walau tak eksplisit, Romo Mangun melihat bahwa negara
punya kepentingan besar dalam menentukan bagaimana masyarakatnya dididik dan
dibentuk. Belanda dan Jepang, misalnya, menggunakan pendidikan untuk
melanggengkan fasisme. Di lain sisi, ia juga melihat bahwa nurani masyarakat
merupakan arena pertarungan. Cara negara membentuk masyarakatnya tak harus
diterima. Alternatif bisa dibuat. Sepanjang hidupnya, Romo Mangun pun
berusaha untuk menciptakan cara mendidik yang menurutnya lebih manusiawi
(Mangunwijaya, 1999a, 1999e).
***
Romo Mangun banyak
menulis tentang nasionalisme Indonesia ketika Suharto berkuasa. Ketika itu,
ia melihat nasionalisme Indonesia mengalami pendangkalan. Ia menyebutnya
sebagai “nasionalisme sempit” atau “nasionalisme dangkal”. Secara sederhana,
Romo Mangun melihat nasionalisme dangkal sebagai nasionalisme yang berpijak
di atas semangat “right or wrong it’s
my country”. Nasionalisme dangkal adalah nasionalisme yang meletakkan
negara di atas rakyatnya. Negara menjadi ukuran benar/salah. Sebuah tindakan
diukur berdasarkan seberapa jauh tindakan itu melindungi, memperkuat, atau
membuat negara menjadi jaya. Bagi Romo Mangun, bentuk nasionalisme semacam
ini bukan hanya berubah dari bentuk sebelumnya, tetapi juga keliru.
Bagi Romo Mangun
(1999a, 1995b, 1999f), “right or wrong
it’s my country” harus diganti dengan “right
or wrong is right or wrong”. Bagi Romo Mangun, ukuran kebenaran adalah
seberapa besar sebuah tindakan berhasil mengangkat manusia dari penderitaan
yang dihadapinya. Nasionalisme dangkal praktis menghapus ide ini.
Nasionalisme dangkal mengganti keharusan untuk membela manusia menjadi
keharusan untuk membela negara—termasuk apabila tindakan negara telah membuat
manusia menderita. Di dalam nasionalisme dangkal, satu-satunya hal yang harus
dibela adalah kepentingan negara. Di hadapan kepentingan ini, segalanya harus
disishkan—termasuk kemanusiaan. Di titik ini, nasionalisme dangkal sebetulnya
telah mematikan nurani manusia. Tindakan manusia dilakukan berdasarkan
imajinasi tentang kejayaan negara dan bukan lagi keharusan untuk membela yang
lemah dan tersisih. Lebih jauh, karena seseorang merasa bahwa kepentingan
negaranya-lah yang paling utama, seseorang akan melihat bangsanya lebih
tinggi di atas bangsa-bangsa lain. Dalam sebuah catatannya, Romo Mangun
sempat mengkritisi reaksi publik Indonesia ketika Uskup Belo dari Timor Leste
memperoleh anugerah Nobel Perdamaian. Anugerah itu dipandang sebagai
penghinaan “asing” terhadap Indonesia. Bagi Romo Mangun, reaksi itu justru
merefleksikan betapa tak sanggupnya nurani manusia Indonesia untuk melihat,
memahami, dan merasakan apa yang telah diderita rakyat Timor Leste selama
masa pendudukan.
Mengganti “right or wrong it’s my country” dengan
“right or wrong is right or wrong”
berarti mengembalikan kedudukan manusia sebagai ukuran tindakan. Benar
tidaknya tindakan harus diukur berdasarkan apakah tindakan itu berhasil
membebaskan manusia. Ditinjau dari posisi ini, melawan negara bukan hanya diperkenankan,
tetapi juga harus dilakukan ketika kita menyaksikan manusia dilukai olehnya.
Manusia juga jadi memiliki kewajiban untuk melindungi sesamanya tanpa
mempedulikan batas-batas negara. Persatuan di antara manusia, dengan kata
lain, dibangun di atas kemampuan mereka untuk ikut merasakan penderitaan dan
melindungi satu sama lain. Persatuan bukanlah sesuatu yang secara abstrak
diajarkan lewat ruang kelas. Persatuan, ringkasnya, adalah soal solidaritas
(1995a, 1999c, 1999d).
Bagi Romo Mangun,
nasionalisme Indonesia semula tak menyimpan spirit nasionalisme dangkal.
Kemerdekaan Indonesia, bagi Romo Mangun, direbut bukan karena Indonesia
merasa diri mereka superior di atas bangsa-bangsa lain. Perang Kemerdekaan
dilakukan bukan untuk melawan penjajah, melainkan penjajahan itu sendiri.
Perang Kemerdekaan dilakukan untuk menghapus ‘exploitation de l’homme par
l’homme’. Perang Kemerdekaan adalah sebuah gerak ganda. Di satu sisi, rakyat
Indonesia berada dalam keadaan yang tak manusiawi di bawah penjajahan. Perang
Kemerdekaan dilakukan untuk membebaskan rakyat Indonesia dari keadaan ini.
Hal ini dilakukan dengan menghabisi kapasitas penjajah untuk menjajah. Di
lain sisi, Perang Kemerdekaan juga berusaha untuk memulihkan nurani penjajah
sehingga penjajah tak memiliki kehendak untuk mengeksploitasi rakyat
Indonesia demi kepentingan mereka sendiri. Tanpa memiliki kehendak untuk
menindas, penjajah tak akan menindas walau mereka memiliki kapasitas untuk
melakukannya. Jauh dari nasionalisme dangkal, bagi Romo Mangun, nasionalisme
Indonesia di masa-masa kemerdekaan dipenuhi dengan semangat humanisasi.
Nasionalisme Indonesia berniat untuk membebaskan semua pihak dari kondisi
yang tak manusiawi. Nasionalisme Indonesia tak berniat untuk membalik
keadaan, dari semula sebagai pihak yang tertindas menjadi pihak yang
menindas. Nasionalisme Indonesia menyimpan misi untuk menciptakan kesetaraan
dalam bentuknya yang radikal, dimana tak ada satu pun manusia mengeksploitasi
manusia lain. Karenanya, nasionalisme Indonesia mengharuskan orang-orang yang
meyakininya untuk mengambil tindakan demi melindungi sesama manusia dari
penderitaan yang timbul dari eksploitasi alih-alih menundukkan dirinya di
hadapan negara. Konsekuensinya: semakin nasionalis seseorang, semakin ia
memiliki kemampuan untuk bersolidaritas dengan orang-orang yang paling lemah,
paling marjinal, dan paling tersisih—entah di sebelah rumahnya maupun di
belahan bumi yang lain (1999f, 1999g).
***
Dalam karyanya, The
Darker Nations, Prashad (2007) memotret bagaimana nasionalisme di dunia
ketiga berubah setelah 1960an-1970an. Semula, nasionalisme dunia
ketiga—termasuk Indonesia—dipenuhi dengan semangat anti-imperialisme. Dunia
ketiga membangun solidaritas yang begitu kuat di antara mereka sambil
memperjuangkan dunia yang lebih adil, egaliter, dan demokratis. Konferensi
Asia Afrika (KAA) serta Gerakan Non-Blok (GNB) menjadi tanda betapa majunya
politik negara Dunia Ketiga saat itu. Walau demikian, kondisi internal
negara-negara dunia ketiga sebetulnya dipenuhi ketegangan. Kelas borjuis—yang
dalam berbagai kasus menjadi pemimpin gerakan nasionalisme—bersitegang dengan
kelas proletar, terutama tentang bagaimana negara mesti diatur. Namun,
kondisi rakyat yang sangat terorganisasi di negara-negara itu membuat kelas
borjuis tak memiliki banyak ruang. Intervensi AS di berbagai negara pada
tahun 1960-an sampai 1970-an—yang diikuti dengan aliran modal ke dalam
negara-negara itu—mengubah konfigurasi politik di dalam negara. Organisasi
rakyat terpukul. Dominasi kelas borjuis—dengan kepentingannya untuk
mengakumulasi kapital—bukan hanya mengubah arah politik luar negeri Dunia
Ketiga, tetapi juga mengubah nasionalisme negara-negara itu. Negara Dunia
Ketiga memerlukan narasi nasionalisme yang lebih kondusif bagi akumulasi
kapital; sebuah nasionalisme yang memungkinkan massa untuk bekerja keras bagi
negara; sebuah nasionalisme yang lebih sempit dan dangkal alih-alih
nasionalisme yang menuntut keadilan, politik anti-imperialisme, dan
kesetaraan.
Hal inilah yang,
menurut saya, sebetulnya dipotret oleh tulisan-tulisan Romo Mangun tentang
nasionalisme. Romo Mangun, seperti yang telah dibahas, melihat bagaimana
nasionalisme Indonesia berubah begitu drastis. Nasionalisme yang semula
dipenuhi dengan kehendak untuk menciptakan solidaritas, kesetaraan, keadilan,
dan kehormatan bagi manusia berubah menjadi nasionalisme yang sempit, tak
peka terhadap ketimpangan dan penderitaan sesama manusia, xenofobik, dan,
bahkan, menyimpan tendensi imperialistik. Tentu ada
pengecualian-pengecualian. Tetapi, setidaknya bagi Romo Mangun, ada tanda
yang kuat bahwa nasionalisme Indonesia telah mengalami pendangkalan.
Tujuh belas tahun
setelah wafat, pemikiran Romo Mangun di atas masih mengusik dengan pertanyaan
penting: apa artinya menjadi Indonesia? Romo Mangun sudah memiliki jawaban
atas pertanyaan itu. Di tengah retorika nasionalisme yang menguat hari ini,
jawaban Romo Mangun memberi kita bantuan yang lebih dari cukup untuk
mengambil posisi. ●
|
Daftar Pustaka
Mangunwijaya, Y. B
‘Memasuki era Globalisasi’, Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein (Yogyakarta:
Kanisius, 1999f)
Mangunwijaya, Y. B
‘Realitas Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein’, Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein
(Yogyakarta: Kanisius, 1999g)
Mangunwijaya, Y. B
‘Right or Wrong’, Gerundelan Orang Republik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)
Mangunwijaya, Y. B, ‘Patriot’, Gerundelan Orang Republik (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995a)
Mangunwijaya, Y.
B., ‘Integrasi and Disintegrasi Bangsa dan Sastra’, dalam Sindhunata (ed.),
Menjadi Generasi Pasca-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1999c)
Mangunwijaya, Y.
B., ‘Novel Saya dan Lakon Wayang, dalam Sindhunata (ed.), Menjadi Generasi
Pasca-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1999h)
Mangunwijaya, Y.
B., ‘Pengakuan Seorang Amatir, dalam Sindhunata (ed.), Menjadi Generasi
Pasca-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1999e)
Mangunwijaya, Y.
B., ‘Sastra dan Bentuk Hidup’, dalam Sindhunata (ed.), Menjadi Generasi
Pasca-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1999d)
Mangunwijaya, Y.
B., ‘Sastrawan Hati Nurani’, dalam Sindhunata (ed.), Menjadi Generasi
Pasca-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1999a)
Mangunwijaya, Y.B.,
‘Patriot’, Gerundelan Orang Republik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995b).
Mangunwijaya, Y.B.,
Manusia Pascamodern, Semesta dan Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 1999b).
Prashad, Vijay.The
Darker Nations. (London: The NewPress: 2007).
———–
[1] Romo Mangun tidak
bermaksud untuk mengatakan bahwa hanya hati nurani-lah yang menyusun manusia.
Di luar hati nurani, manusia juga memiliki akal yang menggunakan logika untuk
menemukan, misalnya, kebenaran saintifik. Namun, dalam hal memahami sesama
manusia, Romo Mangun nampaknya berpikir bahwa manusia lebih bertumpu pada hati
nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar