Bung Karno dan Marxisme
Rudi Hartono ;
Pemimpin Redaksi “berdikarionline.com”;
Anggota Partai Rakyat Demokratik
(PRD)
|
INDOPROGRESS, 09
Maret 2016
SALAH satu perbedaan
paling mencolok antara Bung Karno dengan para politisi saat ini, adalah penguasaannya
yang mendalam akan teori-teori sosial-politik. Ia bukan politisi karbitan,
atau menjadi politisi karena keturunan. Ia juga bukan politisi yang asal
njeplak, yang tindakan politiknya tidak didasarkan pada panduan teoritis yang
jernih dan solid. Sebaliknya, seluruh tindakan politik Bung Karno merupakan
refleksi dia atas kondisi-kondisi sosial pada masanya, dan itu semua
dituangkannya dalam tulisan maupun pidato-pidatonya. Salah satu sumber
pemikiran yang sangat mempengaruhi Bung Karno dalam membaca dan memahami
realitas, dengan lebih utuh dan mendalam, adalah marxisme.
Hal ini diakuinya
sendiri, seperti yang ditulisnya di koran Pemandangan (1941), bahwa “teori
Marxisme adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten buat memecahkan
soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan.” Jadi, Bung
Karno adalah manusia pergerakan bersenjatakan marxisme. Dan dengan itu pula
dia memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Tetapi di tahun 1966,
setelah kontra-revolusi mulai berkuasa, keluar Tap MPRS nomor XXV tentang
pelarangan Marxisme. Juga Tap MPR XXVI/ MPRS/ 1966 tentang Pembentukan
Panitia Peneliti Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno yang
berusaha membersihkan ajaran-ajaran Bung Karno dari marxisme. Kemudian, pada
bulan Desember 1967, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pimpinan Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja, yang
disokong rezim Orde Baru, membuat Pernyataan Kebulatan Tekad untuk
membersihkan marhaenisme dari marxisme. Dan sejak itu marhaenisme di tangan
PNI mulai kehilangan api-nya.
Efeknya sangat
merusak. Tanpa memiliki pengetahuan marxisme, tidak mungkin bisa menyelami
ajaran Bung Karno secara mendalam. Tanpa marxisme, ajaran Bung Karno
kehilangan “api”-nya. Tidak mengherankan, ajaran Bung Karno yang terdengar di
telinga kita sekarang ini tak lebih dari sebuah frase-frase atau
slogan-slogan heroik tanpa isi dan semangat.
Jadi, kalau ada
pertanyaan: mengapa ajaran Bung Karno kurang berkembang? Saya kira, jawaban
pokoknya adalah karena pemikiran Bung Karno dipelajari tanpa menggunakan
analisa atau teori marxisme. Konsekuensinya, kalau ada keinginan menghidupkan
kembali api pemikiran Bung Karno, maka marxisme sebagai teori perjuangan
sekaligus seperangkat ilmu pengetahuan harus dibebaskan dari belenggu
pelarangan dan pemberangusan semenjak era Orde Baru hingga sekarang.
Kontribusi Marxisme
Tidak berlebihan jika
saya mengatakan bahwa marxisme berjasa besar bagi Bung Karno. Berkat
marxisme, Bung Karno tidak rasis melihat kolonialisme: sebagai ekspresi kulit
putih atau kafir. Sebaliknya, dia sadar bahwa kolonialisme adalah konsekuensi
dari kapitalisme yang membutuhkan penguasaan terhadap sumber bahan baku,
tenaga kerja murah, pasar, dan lahan baru untuk penanaman modal sebagai
prasyarat untuk keberlanjutan proses akumulasi kapital.
Karena itu juga,
nasionalisme yang dipeluk oleh Bung Karno jauh dari bau-bau chauvinisme
(nasionalisme sempit) dan fasisme. Sebaliknya, karena bercampur dengan
marxisme, nasionalisme Bung Karno berjiwa progresif. Saya lebih suka
menyebutnya “nasionalisme kiri”, karena mengedepankan cita-cita kesejahteraan
sosial sebagai tujuan pokoknya.
Marxisme juga sangat
mempengaruhi cara dan metode Bung Karno dalam membangun pergerakan
politiknya, seperti massa aksi, machtvorming (pembangunan kekuatan politik),
koran sebagai mulutnya pergerakan, rapat akbar/vergadering, konsep partai
pelopor, dan lain-lain. Dan yang terpenting: lahirnya ajaran Marhaenisme.
Marhaenisme sebagai Marxisme ala Indonesia
Marhaenisme diadopsi
Bung Karno dari nama seorang petani yang ditemuinya saat melakukan riset di
daerah Bandung Selatan tahun 1920-an. Bung Karno menyebut marhaenisme sebagai
“marxisme yang diselenggarakan,
dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia, is het in Indonesie toegepaste
marxisme” (Kursus Pancasila, 1958).
Jadi, marhaenisme adalah marxisme ala Indonesia.
Tentu, sebagian kita
bertanya, apa yang coba dicocokkan antara marxisme dan keadaan Indonesia?
Sebagai seorang marxis, Bung Karno jelas memakai analisa kelas. Dalam
marxisme, menurut bacaan dia, selalu ada kelas sosial yang memainkan tugas
sejarah untuk mengubah relasi produksi agar sejalan dengan tuntutan kemajuan
tenaga-tenaga produktif. Di Eropa, tugas sejarah itu berada di pundak kelas
proletar.
Tetapi masyarakat
Indonesia berbeda. Kendati sudah ada kaum proletarnya, seperti di perusahaan
kereta api, perusahaan pegadaian, pertambangan, dan lain-lain, tetapi
jumlahnya masih sangat kecil. Sementara yang dominan adalah pemilik produksi
kecil-kecilan: pertanian kecil, perdagangan kecil, dan usaha produksi kecil.
Kehidupan mereka sangat sengsara dan melarat.
Kendati sama-sama
melarat, namun proletar berbeda dengan marhaen. Proletar adalah terminologi
yang digunakan oleh Marx untuk menjelaskan sebuah kelas yang dilahirkan oleh
perkembangan kapitalisme di Eropa. Marx menyebutnya ‘kelas pekerja modern’.
Proletar ini dicirikan oleh: (1) mereka tidak punya alat produksi; (2) untuk
bertahan hidup, mereka menjual tenaga kerjanya kepada majikan/kapitalis; dan 3)
dari menjual tenaga kerjanya itulah ia mendapatkan upah. Sedangkan Marhaen,
kendati kehidupannya melarat seperti proletar, masih punya alat produksi.
Bung Karno mengatakan bahwa Marhaen sebagai prototipe dari kaum pemilik
produksi kecil ini dicirikan oleh 1) pemilik produksi kecil; mereka tidak
menyewa atau mempekerjakan orang lain (biasanya dikerjakan sendiri bersama
anggota keluarga); (2) mereka tidak punya majikan ataupun buruh upahan; dan
(3) hasil produksinya hanya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya.
Dengan analisa kelas
ini, Bung Karno menemukan tenaga utama untuk mendorong revolusi Indonesia,
yaitu kaum marhaen. Dalam perkembangannya, istilah marhaen ini diperluas
cakupannya hingga meliputi seluruh sektor rakyat jelata: unsur kaum miskin
proletar Indonesia (buruh), unsur kaum tani melarat Indonesia, dan unsur kaum
melarat Indonesia lainnya. Namun demikian, ia tidak menampik peran
kepeloporan yang dimainkan oleh proletar. Ia juga percaya bahwa takdir
historis penggulingan kapitalisme berada di tangan proletar. Karena itu,
katanya, “Nah, tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya kelas
Marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan
pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar.”
Satu pertanyaan yang
mungkin mendayung di tengah kegelisahan kita adalah: apakah marhaenisme masih
relevan dalam konteks Indonesia saat ini? Saya akan menjawab: iya. Merujuk
kepada data resmi 2015, hampir 70 persen masyarakat Indonesia bekerja di
sektor informal. Kategori sektor informal adalah pedagang kaki lima,
perdagangan kecil, perajin kecil, dan pertanian dalam skala kecil. Ini
meliputi keseluruhan sektor perdagangan mikro (asongan, PKL, calo, dll),
Industri pengolahan mikro (industri rumah tangga, kerajinan, dan lain-lain),
dan pertanian mikro (petani menengah, miskin, dan gurem).
Artinya, mayoritas
rakyat Indonesia sekarang ini sebetulnya adalah pemilik produksi kecil.
Mereka adalah kaum marhaen. Dan ingat, mereka termasuk sektor sosial yang
paling dikorbankan oleh neoliberalisme, selain kaum buruh dan sektor kaum
miskin lainnya.
Cita-cita Marhaenisme: Sosialisme Indonesia
Marhaenisme, seperti
dijelaskan Bung Karno di Konferensi Partindo, 1933, adalah azas yang
menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya
menyelamatkan Marhaen. Karena itu, marhaenisme hendak menghilangkan
kapitalisme dan imperialisme. Sebab, kedua sistim itu telah menghisap dan
menindas rakyat jelata.
Dalam pidato Tahun Vivere Pericoloso-TAVIP, 17
Agustus 1964, Bung Karno tegas menyatakan bahwa Revolusi Indonesia yang
bergelora sejak Agustus 1945 bermuara pada Sosialisme Indonesia.
Sebetulnya, jauh hari
sebelumnya Bung Karno sudah mengidamkan masyarakat sosialistik sebagai
cita-cita politik pergerakannya. Seperti ditulisnya di risalah Mencapai
Indonesia Merdeka, 1933: “maksud
pergerakan kita haruslah: suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang tidak
ada tindasan dan hisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme.”
Seperti apa sosialisme
yang dibayangkan oleh Bung Karno? Di buku Sarinah, yang merupakan kumpulan
kuliah Bung Karno dalam kursus Wanita di Jogjakarta tahun 1946, dijelaskan
soal sosialisme ala Bung Karno. Menurutnya, esensi dari sosialisme adalah
kesejahteraan sosial atau kemakmuran bagi semua orang. Dan sebagai syaratnya:
harus ada kepemilikan pabrik yang kolektif; ada industrialisme yang kolektif;
ada produksi yang kolektif; dan ada distribusi yang kolektif.
Bung Karno meyakini,
supaya kesejahteraan kolektif bisa tercapai, harus ada kemajuan teknik dan
kemajuan pengetahuan. Ini sejalan dengan proposisi marxisme, bahwa
perkembangan kekuatan-kekuatan produktif, yang di dalamnya mencakup kemajuan
teknik dan kecakapan manusia, yang tidak dirintangi hubungan-hubungan
produksi—kalau dirintangi, akan dijebol melalui “Revolusi”—melahirkan
perubahan corak produksi.
Bung Karno sendiri
mengatakan, “alat-alat teknik, dan terutama sekali semangat gotong-royong
yang telah masak, itulah soko-gurunya pergaulan hidup yang sosialistik.”
Artinya, kemajuan kekuatan-kekuatan produktif, terutama kemajuan teknik dan
kecakapan manusia, harus disertai dengan relasi produksi yang bersifat
gotong-royong.
Selain itu, Bung Karno
menegaskan, “sosialisme Indonesia sebagai hari depan Revolusi Indonesia
bukanlah semata-mata ide ciptaan seseorang “in een slapeloze nacht” (dalam satu malam yang tidak tidur),
juga bukan suatu barang yang diimpor dari luar negeri, atau sesuatu yang
dipaksakan dari luar masyarakat Indonesia, melainkan suatu “reaktief verzet van verdrukte elementen”
(perlawanan penentangan daripada anasir/kaum yang tertekan), suatu kesadaran
sosial yang ditimbulkan oleh keadaan sosial Indonesia sendiri, suatu “historische Notwendigkeit”, suatu
keharusan sejarah.” Karena itu, sosialisme Indonesia akan diperkaya dengan
tradisi progresif yang sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia, yaitu
gotong-royong.
Keyakinan Bung Karno
di atas mirip degan kesimpulan seorang marxis berpengaruh di Amerika Latin,
Jose Carlos Mariategui, yang mengatakan bahwa sosialisme di Amerika Latin
tidak boleh menjadi suatu “tiruan murni” atau “salinan” saja dari
pengalaman-pengalaman sosialisme yang sudah ada, melainkan merupakan hasil
“penciptaan yang heroik”, yang sesuai dengan karakteristik dan kekhususan
masing-masing bangsa.
Bagaimana mewujudkan Sosialisme Indonesia
Bung Karno banyak
belajar dari pengalaman revolusi Perancis. Di sana, kaum borjuis berusaha
menarik kaum proletar dan kaum tani dalam persekutuan di bawah slogan
kebebasan (liberté), persamaan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) untuk menumbangkan
kekuasaan feodal. Namun, begitu kekuasaan feodal ditumbangkan, kaum borjuis
membangun kekuasaannya sendiri dengan menyingkirkan kaum proletar dan kaum
miskin lainnya.
Bung Karno tidak mau
kesalahan revolusi Perancis berulang dalam revolusi Indonesia. Karena itu,
sejak awal ia mewanti-wanti, dalam perjuangan mendatangkan Indonesia merdeka,
kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena
getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya. Untuk itu,
dia menghadirkan dua gagasan besar, yaitu sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi.
Sosio-nasionalisme
adalah nasionalisme yang berpihak, yakni kepada massa-rakyat.
Sosio-nasionalisme menolak borjuisme (kapitalisme) dan keningratan
(feodalisme). Sosio-nasionalisme mencita-citakan sebuah masyarakat yang di
dalamnya tidak ada lagi penindasan dan eksploitasi oleh suatu kelas terhadap
kelas tertentu. Atau pendek kata: sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang
menghendaki “masyarakat tanpa kelas” alias “masyarakat adil dan makmur”.
Untuk mencapai itu,
sosio-nasionalisme menawarkan beberapa hal. Pertama, sosio-nasionalisme
mempromosikan nasionalisme politik (politik nasional yang berdaulat) dan
nasionalisme ekonomi (ekonomi nasional yang berdikari). Nasionalisme politik
menjamin penyelenggaraan kekuasaan politik negara Republik Indonesia tidak
direcoki, apalagi didikte, oleh bangsa atau kekuatan asing. Sementara
nasionalisme ekonomi memastikan kedaulatan negara terhadap seluruh kekayaan
ekonomi nasional.
Kedua,
sosio-nasionalisme menempatkan kemerdekan nasional hanya sebagai “jembatan
emas” untuk mencapai cita-cita perjuangan yang lebih tinggi, yakni masyarakat
adil dan makmur. Dengan demikian, tujuan akhir perjuangan nasional bangsa
Indonesia bukanlah pada terbentuknya negara merdeka saja, melainkan
terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Ketiga,
sosio-nasionalisme mengawinkan antara semangat kebangsaan dan kemanusiaan.
Dengan begitu, sosio-nasionalisme mencegah nasionalisme Indonesia terjebak
dalam nasionalisme sempit atau chauvinis. Selain itu, sosio-nasionalisme
menganggap perjuangan untuk emansipasi nasional tidak terpisahkan dengan
perjuangan bangsa-bangsa di seluruh dunia untuk mewujudkan dunia yang adil
dan beradab.
Dengan tiga hal tadi,
saya kira, kontribusi sosio-nasionalisme adalah menyediakan koridor yang aman
bagi perjuangan nasional Indonesia menuju cita-cita akhirnya, yaitu
masyarakat adil dan makmur. Dengan koridor itu, perjuangan nasional Indonesia
tidak berhenti pada pintu gerbang kemerdekaan, tetapi berlanjut hingga
masyarakat tanpa penindasan dan penghisapan terbentuk.
Kemudian tawaran
sosio-demokrasi. Sosio-demokrasi adalah antitesa dari demokrasi parlementer
yang dihasilkan oleh Revolusi Perancis. Sosio-demokrasi juga menegaskan keberpihakan,
yakni kepada rakyat-marhaen. Secara harfiah sosio-demokrasi berarti demokrasi
masyarakat atau demokrasi massa-rakyat. Karena keberpihakan itu,
sosio-demokrasi juga menolak borjuisme (kapitalisme) dan keningratan
(feodalisme).
Lantas muncul pertanyaan,
apa keterhubungan antara sosio-demokrasi dengan cita-cita marhaenisme, yakni
mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur?
Pertama,
sosio-demokrasi mengidamkan sebuah kekuasaan politik di tangan
rakyat-Marhaen. Bentuk konkritnya adalah Staat (Negara) Rakyat, dimana
seluruh urusan ekonomi dan politik dikerjakan oleh rakyat, dengan rakyat, dan
untuk rakyat. Seperti ditegaskan oleh Soekarno dalam risalahnya yang
terkenal, Mencapai Indonesia Merdeka, tahun 1933:
“Urusan politik,
urusan diplomasi, urusan onderwijs, urusan bekerja, urusan seni, urusan
kultur, urusan apa sahaja dan terutama sekali urusan ekonomi haruslah di
bawah kecakrawartian Rakyat itu: Semua perusahaan-perusahaan-besar menjadi
miliknya staat, – staatnya Rakyat, dan bukan staatnya burjuis atau ningrat
semua hatsil-hatsil perusahaan-perusahaan itu bagi keperluan Rakyat, semua
pembahagian hatsil itu di bawah pengawasan Rakyat.”
Kedua, sosio-demokrasi
mendorong kepemilikan sosial terhadap alat-alat produksi dan sumber daya
ekonomi. Inilah pijakan bagi penerapan demokrasi ekonomi. Dengan demokrasi di
lapangan ekonomi, maka demokrasi di lapangan politik dan budaya menjadi
sangat mungkin. Sebab, ekonomi merupakan pangkal bagi kehidupan politik dan
sosial-budaya. Siapa yang mengusai sumber-sumber ekonomi, maka dia pula yang
berjaya di lapangan politik dan sosial-budaya.
Ketiga, dengan
menyerahkan urusan ekonomi dan politik di tangan rakyat, sosio-demokrasi
menghilangkan pemisahan antara ekonomi dan politik sebagaimana lazim terjadi
di bawah kapitalisme. Urusan pemenuhan kebutuhan ekonomi tidak lagi dianggap
urusan individu semata, tetapi menjadi urusan kolektif/publik.
Tetapi Bung Karno
tidak berhenti di gagasan. Dia juga menawarkan strategi politik. Kata dia,
untuk mewujudkan sosialisme Indonesia, revolusi Indonesia mesti berjalan
melalui dua fase: fase nasional-demokratis dan fase sosialisme. Dalam fase
nasional demokratis, kita akan mendirikan Negara Indonesia yang merdeka dan
demokratis. Sedangkan dalam fase sosialisme, kita akan mendirikan sosialisme.
Dalam fase nasional demokratis, sasaran pokok revolusi adalah mengakhiri
penindasan nasional (kolonialisme/imperialisme) dan menghancurkan sisa-sisa
feodalisme. Dalam fase ini, perjuangan kita adalah meremukkan kolonialisme di
lapangan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Selain itu, akan dijalankan
land-reform sebagai upaya menghapuskan hak-milik tuan feodal dan
mendemokratiskan kehidupan rakyat di pedesaan.
Dalam fase
nasional-demokratis ini, ungkap Bung Karno, kita juga menyiapkan syarat-syarat
untuk dimulainya fase selanjutnya, yakni revolusi sosialis. Syarat-syarat
itu, antara lain, memajukan teknik/industrialisasi, mencerdaskan kehidupan
rakyat, mendorong demokratisasi seluas-luasnya, dan membangun mental dan
kepribadian sebagai sebuah bangsa.
Gagasan Trisakti, yang
mencita-citakan sebuah negara nasional yang berdaulat di bidang politik,
berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya, sebetulnya
berada di tahapan di revolusi nasional-demokratis. Trisakti adalah jalan
untuk mewujudkan cita-cita sosialisme Indonesia.
Dalam buku Sarinah,
Bung Karno menyatakan bahwa konstitusi kita, yakni UUD 1945, mencerminkan
transisi dari negara nasional borjuis menjadi negara sosialis. “Undang-Undang
Dasar kita adalah Undang-Undang Dasar sebuah negara yang sifatnya di
tengah-tengah kapitalisme dan sosialisme,” kata Bung Karno. UUD 1945 itu,
kata dia, di satu sisi kakinya masih berpijak dalam bumi burgerlijk
(kapitalistik), tetapi di dalam kandungannya telah hamil dengan kandungan masyarakat
sosialis. Inilah konsep negara peralihan ala Bung Karno, yakni sebuah negara
yang sedang melakukan transisi ke sosialisme.
Kemudian, tahap yang
kedua, yakni revolusi sosialis, yang mengarah pada perwujudan sosialisme
Indonesia, yang tidak ada lagi kapitalisme dan l’exploitation de l’homme par I’homme. Salah satu ciri utama dari
sosialisme adalah kepemilikan sosial terhadap alat produksi. Dan di sini,
seperti ditekankan oleh Bung Karno, negara hanya berfungsi sebagai organisasi
atau alat, tetapi pemilikan sosial yang sesungguhnya harus di tangan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar