Humanisme Politik Ahok
RD Silvian M Mongko ;
Pengamat Politik
|
MEDIA INDONESIA,
11 Maret 2016
BASUKI Tjahaja Purnama
(Ahok) tengah mencuri perhatian publik.
Di tengah keruh tak
keruan pemandangan politik dan melorotnya peran sejumlah partai politik, Ahok
hadir dengan energi politik tertentu. Energi politik menciptakan medan magnet
tersendiri sampai-sampai mengguncang elektabilitas partai. Daya tawar Ahok
pun kian melejit di bursa menuju Gubernur DKI pada 2017 mendatang. Lantas,
amunisi politik apa yang dipakai Ahok sehingga ia begitu fenomenal secara
politik untuk konteks Ibu Kota?
'Musuh' politik
Ahok menjadi begitu
fenomenal karena ia berani menghadirkan 'musuh' secara politik. Menegaskan
disposisi tertentu di tengah kekaburan, secara politis dapat berarti
menciptakan 'musuh'. Bagi Ahok, pilihan itu berisiko karena apa yang sekarang
dianggap 'musuh' secara politik dapat menjadi 'sahabat' bagi sekawanan elite
yang ingin menikmati kemurahan politik.
Untuk sejumlah parasit
politik, korupsi, dengan segala variannya dapat menjadi 'sahabat' yang selalu
mendatangkan 'berkah'. Maka, mekanisme kerja konspiratif, pragmatis-berumur
pendek, serta manipulatif ialah beberapa jurus dari mekanisme 'persahabatan'
politik. Ahok menjadikan itu semua sebagai 'musuh' dalam visi politiknya. Berpolitik
berarti menciptakan perdebatan antagonistis.
Komitmen disposisi
politik Ahok tak banyak unsur tawar-menawarnya.
Itulah sebabnya, ia
menghadapi banyak resistensi dari pihak yang ingin melestarikan pragmatisme
politik. Tampaknya, Ahok menyadari hal itu sehingga ia tak pernah surut
selangkah pun. Hal itu tentu tak mungkin terjadi jika Ahok tak memiliki
sejumlah kekuatan yang menggumpal dalam spirit politiknya.
Pada hemat saya, visi
politik Ahok berakar pada cara pandang terhadap manusia dan segala segi
kemanusiaan (humanisme). Tentu, humanisme bukan dalam pengertian ilmiah
diskursif, melainkan sebuah filosofi keberpihakan spontan pada kemanusiaan
dengan sejumlah nilai yang menyertainya. Kemanusiaan itulah yang harus selalu
diperjuangkan.
Bagi Ahok, kemanusiaan
yang penuh hanya mungkin terwujud dalam wadah sosial-politik yang adil dan
makmur. Politik adalah operasionalisasi kesejahteraan manusia secara politis.
Sejumlah persoalan yang berpotensi mengurung kemanusiaan mesti segera
ditangani. Itulah yang membuat Ahok berani untuk menabrak sejumlah mekanisme
birokrasi yang bisa menghambat humanisasi dan sivilisasi melalui
gebrakan-gebrakan politiknya.
Menghadapi sejumlah
ironi sosial-politik Ibu Kota memerlukan amunisi dan energi politik yang
besar pula. Hal itu mesti datang dari seorang pemimpin yang memiliki komitmen
kuat pada kemanusiaan dan keberanian untuk melawan arus konspirasi politik. Opsi
pada kemanusiaan mendorong Ahok untuk berani menghadapi risiko apa saja.
Semua mekanisme dan
tata kelola politik yang kontraproduktif dengan upaya perwujudan kemanusiaan
secara penuh, satu per satu dilabraknya dengan langkah dan kebijakan terukur
dan transparan. Integritas politik Ahok justru terukur dalam keberanian dan komitmennya
pada kebijakan-kebijakan politik yang prorakyat.
Politik Ahok itu
fenomenal serentak kontroversial justru karena keberaniannya menjadi semacam
'martir' politik. Untuk politisi kebanyakan, keberaniannya boleh jadi sebuah
langkah 'bunuh diri'.
Kita masih ingat
bagaimana Ahok secara berani dan terang-terangan keluar dari keanggotaan
Partai Gerindra atas alasan tertentu yang menurutnya bisa merusak masa depan
politiknya, juga ada keraguan besar terhadap masa depan politik Ahok, ketika
ia secara berani melontarkan kritik pedas terhadap DPRD DKI beberapa waktu
lalu.
Ahok berani melabrak
aturan yang mengurung perwujudan kemanusiaan.
Saya kira itulah yang
membuat elektabilitasnya terus melambung. Dukungan independen dan relawan
'Teman Ahok' terus mengalir. Sebuah penegasan atas daya tawar politiknya yang
kian tak terbendung walau ia sendiri menyadari sejumlah perlawanan berat dari
beberapa calon lain.
Kekuatan politik Ahok
juga terlihat dari independensi sikap politik. Ia tak mudah terkooptasi oleh
kepentingan pragmatis-sektarian, juga tidak mudah terjebak dalam arus politik
kumuh. Ia selalu punya sikap dan pendirian sendiri menghadapi arus umum yang
berlawanan dengan kepentingan bersama. Independensi perihal komitmen politik
membuatnya tetap berdiri tegak di tengah badai korupsi dan konspirasi
politik. Ahok tak mudah terjebak dalam arus kawanan parasit politik. Hal itu
berpijak pada karakter ketokohan Ahok yang tak mudah terseret arus bersama.
Kekuatan mental dan
karakter diri ini menegaskan satu sifat penting perihal kepemimpinan publik.
Itulah ketegasan atau keberanian. Integritas dan segala komitmen ikutannya
tak mungkin terlahir dari sosok pengecut atau hanya sekadar mencari titik
keseimbangan semu. Stabilitas politik dimaknainya dalam sebuah keberanian
untuk menciptakan perlawanan terhadap berbagai kebijakan yang menguntungkan
pihak tertentu serentak mencaplok kemakmuran bersama. Kejujuran saja tidak
cukup. Ia perlu ditopang volume keberanian dan ketegasan sikap. Hal-hal itu
tidak selalu lahir dari partai politik. Ahok sekaligus ingin memberi koreksi
terhadap peran partai politik.
Daya tarik partai?
Dalam perjalanan
sejarah bangsa ini, peran partai politik tidak menorehkan catatan
menggembirakan sebagai agen pembaruan dan perubahan. Revolusi politik dan
sejumlah pembaruan politik justru lahir dari organisasi sosial
kemasyarakatan, kelompok akademisi-cendekiawan, mahasiswa, dan lain-lain. Sosiolog
Ignas Kleden malah menyebut inteligensia untuk menunjuk kaum terpelajar dan
terdidik yang berperan sebagai ujung tombak perubahan dan pembaruan dalam
masyarakat (Harian Kompas, 19/2/2016). Reformasi atau bahkan revolusi politik
1998, misalnya justru dipelopori aliansi mahasiswa, bukan dari partai
politik. Partai belum berhasil menjadi agen perubahan sosial dan politik.
Sejauh ini, sejumlah
partai masih sibuk menyelesaikan pertengkaran internal antarelite yang
terlibat dalam 'perang posisi'. Partai tak lebih dari kendaraan politik untuk
meraup kekuasaan. Praktik-praktik kepartaian masih sarat aroma kepentingan
jangka pendek. Tak jarang kita mendengar praktik jual-beli partai atau mahar
politik jelang pemilu. Bersamaan itu, peran edukasi dan kaderisasi kian
terjungkal. Partai lebih sibuk pada cara-cara kerja pragmatis.
Di tengah kondisi
partai demikian, Ahok memakai pendekatannya sendiri.
Ia bahkan berani
mencalonkan diri dalam Pilkada DKI 2017 melalui jalur independen
pascaketidakjelasan sikap politik PDIP untuk memberikan dukungan kepada Ahok.
Sebuah terobosan penuh risiko bagi masa depan politiknya, tetapi sekaligus
'ancaman' dan ujian bagi elektabilitas partai ke depan.
Dengan ini, Ahok mau
mengatakan partai itu tidak selalu harus 'disembah' jelang pemilu. Ahok ingin
mengoreksi mekanisme pragmatis yang selama ini mewarnai komunikasi partai
politik. Eksistensi partai bakal terancam jika mengabaikan peran politis
untuk menyiapkan calon andal.
Buat Ahok, apa yang
disebut integritas, keberanian dan komitmen pada kemanusiaan dapat menjadi
amunisi politik tak terkalahkan. Saya boleh menyebut semua itu sebagai 'personalisasi'
makna 'yang politik' (the political)
yang bakal menjadi kekuatan baru demokrasi ke depan guna melawan arus
konspirasi dan pragmatisme. Kekuatan figur independen Ahok bakal menguji
kebenaran itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar