Konsolidasi Kabinet, Menuju Pemerintahan Efektif
Kacung Marijan ;
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 05 Maret
2016
SALAH satu tantangan Indonesia pasca runtuhnya
Orde Baru adalah adanya fragmentasi dalam pengelolaan pemerintahan. Itu
terjadi karena kekuasaan tidak lagi memusat, melainkan menyebar.
Sebagai cerminan banyaknya kelompok dan
kepentingan, tidak ada lagi partai dominan dalam pemerintahan. Tidaklah
mengherankan kalau semua presiden dan wakil presiden yang ada harus membangun
koalisi ketika membentuk pemerintahan. Konsekuensinya, pemerintahan yang
dibangun bercorak presidensial rasa parlementer.
Dalam hal relasi pusat-daerah, fragmentasi itu
menguat setelah diimplementasikannya kebijakan otonomi daerah. Setiap level
pemerintahan seolah asyik dengan agenda sendiri.
Konsolidasi –
Koordinasi
Munculnya fragmentasi semacam itu merupakan
hal yang wajar dalam pemerintahan yang demokratis. Banyaknya kelompok di
masyarakat tidak mungkin disatukan dalam wadah politik tunggal. Keragaman itu
justru merupakan tantangan tersendiri, khususnya terkait dengan seni membuat
kebijakan publik.
Meski demikian, membiarkan fragmentasi itu
begitu saja tanpa pengelolaan yang baik akan merugikan. Pertama,
keputusan-kepu¬tusan politik untuk menghasikan kebijakan-kebijakan publik
akan berjalan berbelit-belit, menguras energi dan waktu. Kedua, arah dan
langkah untuk mencapainya bisa beragam. Konsekuensinya, terjadi kelambanan
dalam pembangunan.
Dua kata kunci untuk mengatasi tantangan itu
adalah adanya konsolidasi dan koordinasi. Konsolidasi dilakukan untuk
membentuk pemerintahan yang solid di antara kekuatan-kekuatan yang menjadi
bagian dari koalisi pemerintahan. Hal demikian tidak hanya berlaku di pusat,
tetapi juga di provinsi dan kabupaten kota.
Konsolidasi lebih mudah dilakukan kalau di
antara kelompok-kelompok itu terdapat benang merah gagasan yang
mempertautkannya dan jumlah yang terlibat di dalamnya tidak terlalu banyak.
Kata kunci yang kedua adalah koordinasi. Kata
kunci itu penting dilakukan untuk mengatasi gerak sendiri-sendiri dari
daerah-daerah dalam menuju capaian yang hendak diraih. Desain kelembagaan
untuk ini sudah dilakukan, seperti adanya UU No 25 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, merupakan upaya untuk mengoordinasikan beragam
perencanaan daerah-daerah. Demikian juga, perubahan UU tentang Pemerintahan
Daerah yang memberikan otoritas lebih besar kepada provinsi, khususnya
otoritas mengenai koordinasi.
Adanya otoritas koordinatif yang lebih jelas,
antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, tampaknya, memang
mengurangi derajat otonomi daerah. Tetapi, kejelasan itu sangat penting
dilakukan. Sebab, semua daerah itu merupakan bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia, bukan ''negara'' dalam negara.
Konsolidasi Kabinet
Pemerintahan Jokowi-JK memiliki keuntungan
kalau dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, terkait dengan tantangan
konsolidasi dan koordinasi itu. Pertama, sejak awal terdapat kesadaran besar
untuk membangun pemerintahan koalisi yang terbatas. Kelompok-kelompok yang
terlibat dalam koalisi juga memiliki benang merah satu sama yang lain.
Selain itu, Jokowi-JK ingin membawa Indonesia
berangkat dari visi-misi yang sama, yaitu visi-misi pemerintahan Jokowi-JK.
Siapa pun menteri dan pimpinan lembaga dan dari latar belakang pilitik apa
pun harus merujuk kepada visi-misi tunggal itu.
Hal serupa berlaku untuk daerah. Siapa pun
gubernur, bupati/wali kota-nya, dan apa pun latar belakang politiknya, ketika
menyusun perencanaan pembangunan berikut implementasinya, harus merujuk
kepada visi-misi Jokowi-JK.
Tetapi, tekad dan upaya semacam itu tidak
mudah dilakukan. Koalisi terbatas ternyata belum mampu melahirkan
pemerintahan yang efektif. Hal itu tidak terlepas dari adanya oposisi kuat,
KMP (Koalisi Merah Putih), di parlemen. Konsekuensinya, keputusan-keputusan
politik yang mengharuskan persetujuan DPR tidak berjalan mulus.
Untuk itu, pemerintahan Jokowi-JK mengambil
keputusan yang lebih realistis dan pragmatis. Yakni, membangun pemerintahan
koalisi yang lebih besar lagi.
Kedua, kesadaran tentang pentingnya koordinasi
pemerintahan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota mengemuka sejak beberapa
tahun implementasi kebijakan otonomi daerah. Desain kelembagaan untuk ini
juga sudah dilakukan dan tinggal mengimplementasikanya.
Tetapi, tantangan yang tidak kecil justru
datang dari dalam pemerintahan Jokowi-JK sendiri. Pertama, bukan lagi menjadi
rahasia bahwa sejumlah menteri terlibat dalam perdebatan di hadapan publik.
Perdebatan seperti itu merupakan hal yang biasa. Tetapi, ketika perdebaan itu
sudah mengarah kepada saling menjelekkan di hadapan publik, sangat tidak
produktif.
Kedua, fungsi koordinasi dalam implementasi
program-program pembangunan masih belum maksimal. Memang, saat ini sudah ada
empat menteri koordinator dan aktif melakukan rapat-rapat koordinasi. Tetapi,
dalam tataran implementasi, belum terasakan secara baik.
Agar pemerintahan Jokowi-JK bisa bekerja lebih
efektif, pertama, kebisingan di antara anggota kabinet harus secepatnya
diselesaikan.
Kedua, koordinasi pembangunan antara
kementerian dan lembaga tidak cukup berhenti pada level menteri. Namun, itu
juga harus berlanjut ke dua level di bawah kementerian, yaitu untuk pejabat
eselon 1 dan eselon 2.
Bagaimana juga, pejabat eselon 1 dan 2
merupakan komandan-komandan lapangan untuk mengonsolidasikan dan
mengoordinasikan beragam program pembangunan yang dikerjakan oleh pejabat
eselon 3, eselon 4, dan para staf. Ketika pejabat eselon 1 dan 2 di antara kementerian
itu berjalan sendiri-sendiri, koordinasi di level menteri akan menguap begitu
saja. Semoga tidak demikian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar