Kamis, 20 November 2014

Tionghoa atau Bukan, Tak Masalah

                          Tionghoa atau Bukan, Tak Masalah

Agus Dermawan T  ;   Pengamat Budaya dan Seni
KORAN TEMPO,  18 November 2014

Lihat dan bandingkan artikel opini Koran Tempo (08 dan 18 Nov 2014) pada tautan berikut :
                                                                                                                       


Dalam rubrik Pendapat Koran Tempo edisi Rabu, 5 November lalu, termuat artikel Tom Saptaatmaja, berjudul "Etnis Tionghoa dan Kabinet". Tulisan tersebut mengurai keberadaan keturunan etnis Tionghoa dalam kabinet Republik Indonesia, selama 69 tahun terakhir. Disebutkan, hampir semua kabinet enam Presiden RI selalu menyertakan menteri dari kalangan etnis Tionghoa. Tom lalu mempertanyakan (bukan menuntut): mengapa pada kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla, yang konon antidiskriminasi itu, nama-nama menteri beretnis Tionghoa justru tidak ada.

Pertanyaan Tom mungkin bagus, meski untuk masa sekarang terasa sudah kurang relevan. Lantaran, sejak Reformasi 1998, yang ditandai dengan pencabutan peraturan diskriminatif Instruksi Presiden Nomor 14/1967, pencarian sosok yang mana bumiputra dan yang mana Tionghoa (termasuk yang Arab dan India), serta-merta tidak ada. Suku Tionghoa disepakati membaur menjadi satu: Indonesia. Dan bukankah sebagian besar warga keturunan etnis Tionghoa sudah memakai nama khas Indonesia?

Kita tahu bahwa mantan menteri Tan Po Gwan, Oei Tjoe Tat, dan Kwik Kian Gie itu Cina karena namanya bersuku kata tiga. Begitu juga bakal Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama, lantaran ia biasa dipanggil Ahok. Namun siapa yang tahu bahwa mantan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin adalah etnis Tionghoa asal Makassar yang bernama asli Tan Toan Sin? Siapa yang mengira bahwa politikus dan tokoh Pemuda Pancasila Yorrys Raweyai adalah etnis Tionghoa kelahiran Papua?

Orang tahu bahwa mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu sebagai Tionghoa lantaran riwayatnya sebagai putri tokoh nasional Pang Lay Kim. Namun siapa pun pasti masih menduga-duga bahwa Menteri Perhubungan Ignatius Yonan serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly itu orang Tionghoa. "Laoly itu dalam kosmologi Cina artinya Ly Tua. Saya pikir, ia bermarga Lie," begitu pergunjingan berbicara.


Pada 1960-1970-an perhatian remaja Indonesia digerus oleh komik semacam Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes T.H., Fajar di Tengah Kabut karya Zaldy, sampai Siluman Lembah Neraka karya Floren. Hampir tak ada yang tahu (kecuali kerabat dekatnya), bahwa para komikus itu adalah warga Tionghoa. Ganes adalah Thio Thauw San, Zaldy adalah Touw Bun Tiong, dan Floren adalah Tjia Tjeng Han. Di pojok lain, Teguh Santoso, yang beberapa waktu lalu melukis ulang dan meluncurkan komik wayang Mahabharata dalam kualitas istimewa, juga orang Tionghoa.

"Mereka menyembunyikan Tionghoanya lantaran kala itu komik adalah buku yang dimusuhi pemerintah. Lagi pula, orang Tionghoa apa bukan, rasanya tidak penting," kata Hans Djaladara alias Liem Tjong Han, pencipta komik legendaris Panji Tengkorak.

Tionghoa atau bukan, atau diduga Tionghoa atau bukan, untuk Indonesia kontemporer bukan lagi persoalan. Dengan begitu, dalam Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla ada orang Tionghoa atau tidak, sesungguhnya tak perlu jadi urusan. Itu sebabnya pilihan presiden atas figur-figur yang mewakili daerah (dari Aceh, Sunda, sampai Papua) untuk duduk dalam kabinet, sah bila mengundang sejumlah kritik. Karena idealnya, pilih saja orang yang sehat, kuat, mau bekerja, serta memiliki integritas dan kapabelitas. Sisihkan ihwal tanda nama, suku, dan asal-muasal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar