Jumat, 21 November 2014

Seabad Gong Kebyar, Perlukah Perspektif Baru?

       Seabad Gong Kebyar, Perlukah Perspektif Baru?

Rahayu Supanggah  ;   Pe-suara; Guru Besar Komposisi ISI Surakarta
KOMPAS,  20 November 2014

                                                                                                                       


SANDYAKALA Ubud, desa kecil yang kini telah menjadi salah satu tujuan wisata utama di Bali, beberapa hari lalu sukses mengajangi hajatan peringatan 100 tahun gong kebyar. Seniman-seniman muda, Wayan Sudirana, Wayan Diana, dan kawan-kawan, difasilitasi keluarga Puri Ubud menggelar festival dan seminar kebyar bertajuk  ”Festival Seni Desa Ubud”.

Forum ini menghadirkan para senior, keturunan para pencetus kebyar yang secara fisik tak ”kuasa” lagi tampil sebagai musisi atau penari didudukkan di panggung, merestui ”anak cucunya” pamer kebolehan. Prof Wayan Rai dan Prof Wayan Dibia—keduanya mantan Rektor ISI Denpasar—serta beberapa komposer mancanegara dan Bali juga hadir. Sekitar 1.000 tamu yang 80 persen di antaranya adalah ”turis” asing juga jadi saksi helatan ini.

Sungguh penghormatan kaum muda terhadap seniornya yang luar biasa. Coup de chapeaux! Tepuk hadirin menggempita pada kebyar yang glamour ukiran, kostum penabuh, gaya, serta kecanggihan teknik, rajutan, dan pola permainan instrumen; mengukuhkan kebyar sebagai tontonan spektakuler Bali yang paling kompetitif (Wayan Rai).

Kebyar merupakan fenomena mengejutkan, bak sambaran petir. ”Byar”, menyiratkan suara (gamelan) yang keras dan bareng, menyerukan modernisasi Eropa (Revolusi Industri di Inggris abad ke-19) di Bali.

Modernisasi telah mengejutkan dunia, termasuk Jepang. Saat bom atom melebur Nagasaki dan Hiroshima pada 1945, orientasi Jepang bergeser. Dewa Matahari (saat itu) kalah dengan modernisasi. Jepang kemudian mengebut dan dalam seperempat abad berhasil mengatasi ketertinggalannya, bahkan di beberapa hal (elektronik, otomotif) ”melampaui” Barat. Namun, menjelang akhir abad ke-20, mereka mulai merasa ”tidak”  lagi menjadi ”Jepang”. Pemudanya makin jauh dari kabuki, noh, biwa, shamisen, shakuhachi. Sekolah-sekolah di Jepang tak lagi mengajarkan seni Jepang. Seni Jepang tinggal sebagai pajangan etalase turisme.  Muncullah gerakan baru penjepangan. Karya baru dan kolaborasi seni Timur -Timur-Selatan makin intens, renaisans Jepang dan beberapa negara Asia lahir.

Peristiwa kebyar adalah modernisasi ”budaya musik” Bali. Selain kebyar menandai kelahiran seni pertunjukan Bali, kebyar juga sarat karakter kebarat-baratan berkesenian, seperti lahirnya konsep ”komposer”/”koreografer” menentukan hampir semua permainan musikal/koreografi.  Nyaris tiada tafsir pada kebyar. Dinamika (ngumbang isep), tempo, urutan, dan sebagainya, ketepatan (preciseness), kecepatan (virtuosity), kekompakan bermain di bawah pimpinan auditif dan visual oleh kendang/giying adalah karakter kebyar.
Simbolik religius

Gending baru makin banyak di-composed ”komposer” Bali (seperti Wayan Sinti, Ktut Arnawa,  Made Subandi, Nyoman Winda, Dewa Putu Berata,  Suweca, Wayan Judana, Gusti Dewa Alit,  Made Pande Sukerta, dan Wayan Sadra) ataupun Barat (antara lain Colin McPhee, Michel Tenzer, Wyne Vittali, Jose Evangelista, Ed Herbs, Andy McGraw, dan Andy Channing). Mereka menekankan kebaruan pendekatan musikal: eksplorasi bunyi, kecanggihan pola, dan teknik permainan ala Barat. Kecepatan dan ketepatan adalah parameter dominan yang diterapkan dalam penciptaan, pertunjukan, atau mebarung, lebih dari kelenturan, keterbukaan, toleransi, dan sebagainya.

Kebyar pun makin kokoh sebagai seni pertunjukan hiburan lebih daripada seni suara yang membisikkan pesan moral, sosial budaya, dan/atau ekspresi nilai ke–Bali–an  yang filosofis, simbolik, dan religius. Komposer senior I Wayan Sadra (almarhum) dengan tegas menyatakan kredonya bahwa bermusik semestinya tak (boleh) dibebani budaya. Musik adalah peristiwa bunyi, bukan peristiwa budaya!

Dalam diskusi di Bentara Budaya Denpasar, para pembicara menyampaikan ide serupa. Perkembangan kebyar ditengarai oleh capaian musikal yang luar biasa: meter, tekanan, dinamika, noise, soundscape, tingkat kesulitan pola dan teknik kotekan, kompetitif, hingga ”mengeliminasi”  gamelan lain, seperti semar-pagulingan, pelegongan, gong gede, dan bebarongan, yang dilebur menjadi gong kebyar. Tidak masalah karena hal ini ”sesuai” dengan teori perubahan (Kadek Suartaya, 9/11/2014).

Seabad gong kebyar ”wajib” disyukuri dan diperingati.  Sehabis pesta, adakah perlu renungan, retrospeksi, kritik, dan redefinisi? Apakah prospek, reposisi, memberi peranan, manfaat, dan kegunaan bagi masyarakat Bali? Perspektif baru? Atau memang biarkan masa depan kebyar tetap menjadi misteri? (keynote Prof Rai). Ataukah kita terus asyik dan bereuforia pada keindahan fisik, kecanggihan teknik musikal, tanpa bicara tentang budayanya sendiri: untuk apa dan siapa serta oleh siapa.

Selama ini orang luar selalu bicara dan memuja Bali (alam, gadis, kuliner, seni, dan sebagainya) yang begitu indah dan mengagumkan. Benarkah mereka kagum dan cinta? Atau ”sebaliknya”, memanfaatkan, bahkan mengeksploitasinya (memerkosa dan melacurkannya) untuk keuntungan mereka? Sementara orang Bali yang pemilik hanya jadi pelaku? Sebagian besar seniman kebyar dan gamelannya tetap saja diangkut dengan truk ke situs pemodal atau pengusaha (kebanyakan bukan orang Bali) dengan honorarium rendah.  Orang Bali tetap tidak bicara (lewat seni dan tulisan) tentang mereka, musiknya, kebudayaannya, kepariwisataannya, dan membiarkan orang asing (termasuk Jawa) untuk membicarakannya, menulisnya, dan menjualnya (Michel Picard).

Konon seniman/sarjana Barat, seperti Colin McPhee, Walter Spies, Goris, Zoete, Michel Tenzer, dan Cavarubias memang berjasa dan besar peranannya dalam kelahiran dan kehidupan kebyar. Saya, orang Jawa pencinta dan pelaku amatiran kebyar sejak 1965, mohon maaf  ikut latah berbicara: berharap dan berdoa semoga seabad kebyar jadi momen renaisans kesenian Bali, ke depannya makin berkembang, bermakna dan bermanfaat bagi dunia, terutama bagi Bali sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar