Seabad Gong Kebyar,
Perlukah Perspektif Baru?
Rahayu Supanggah ; Pe-suara; Guru Besar Komposisi ISI Surakarta
|
KOMPAS,
20 November 2014
SANDYAKALA
Ubud, desa kecil yang kini telah menjadi salah satu tujuan wisata utama di
Bali, beberapa hari lalu sukses mengajangi hajatan peringatan 100 tahun gong
kebyar. Seniman-seniman muda, Wayan Sudirana, Wayan Diana, dan kawan-kawan,
difasilitasi keluarga Puri Ubud menggelar festival dan seminar kebyar
bertajuk ”Festival Seni Desa Ubud”.
Forum
ini menghadirkan para senior, keturunan para pencetus kebyar yang secara
fisik tak ”kuasa” lagi tampil sebagai musisi atau penari didudukkan di
panggung, merestui ”anak cucunya” pamer kebolehan. Prof Wayan Rai dan Prof
Wayan Dibia—keduanya mantan Rektor ISI Denpasar—serta beberapa komposer
mancanegara dan Bali juga hadir. Sekitar 1.000 tamu yang 80 persen di
antaranya adalah ”turis” asing juga jadi saksi helatan ini.
Sungguh
penghormatan kaum muda terhadap seniornya yang luar biasa. Coup de chapeaux!
Tepuk hadirin menggempita pada kebyar yang glamour ukiran, kostum penabuh,
gaya, serta kecanggihan teknik, rajutan, dan pola permainan instrumen;
mengukuhkan kebyar sebagai tontonan spektakuler Bali yang paling kompetitif
(Wayan Rai).
Kebyar
merupakan fenomena mengejutkan, bak sambaran petir. ”Byar”, menyiratkan suara
(gamelan) yang keras dan bareng, menyerukan modernisasi Eropa (Revolusi
Industri di Inggris abad ke-19) di Bali.
Modernisasi
telah mengejutkan dunia, termasuk Jepang. Saat bom atom melebur Nagasaki dan
Hiroshima pada 1945, orientasi Jepang bergeser. Dewa Matahari (saat itu)
kalah dengan modernisasi. Jepang kemudian mengebut dan dalam seperempat abad
berhasil mengatasi ketertinggalannya, bahkan di beberapa hal (elektronik,
otomotif) ”melampaui” Barat. Namun, menjelang akhir abad ke-20, mereka mulai
merasa ”tidak” lagi menjadi ”Jepang”.
Pemudanya makin jauh dari kabuki, noh, biwa, shamisen, shakuhachi.
Sekolah-sekolah di Jepang tak lagi mengajarkan seni Jepang. Seni Jepang
tinggal sebagai pajangan etalase turisme.
Muncullah gerakan baru penjepangan. Karya baru dan kolaborasi seni
Timur -Timur-Selatan makin intens, renaisans Jepang dan beberapa negara Asia
lahir.
Peristiwa
kebyar adalah modernisasi ”budaya musik” Bali. Selain kebyar menandai
kelahiran seni pertunjukan Bali, kebyar juga sarat karakter kebarat-baratan
berkesenian, seperti lahirnya konsep ”komposer”/”koreografer” menentukan
hampir semua permainan musikal/koreografi.
Nyaris tiada tafsir pada kebyar. Dinamika (ngumbang isep), tempo,
urutan, dan sebagainya, ketepatan (preciseness), kecepatan (virtuosity),
kekompakan bermain di bawah pimpinan auditif dan visual oleh kendang/giying
adalah karakter kebyar.
Simbolik religius
Gending baru
makin banyak di-composed ”komposer” Bali (seperti Wayan Sinti, Ktut
Arnawa, Made Subandi, Nyoman Winda,
Dewa Putu Berata, Suweca, Wayan
Judana, Gusti Dewa Alit, Made Pande
Sukerta, dan Wayan Sadra) ataupun Barat (antara lain Colin McPhee, Michel Tenzer,
Wyne Vittali, Jose Evangelista, Ed Herbs, Andy McGraw, dan Andy Channing).
Mereka menekankan kebaruan pendekatan musikal: eksplorasi bunyi, kecanggihan
pola, dan teknik permainan ala Barat. Kecepatan dan ketepatan adalah
parameter dominan yang diterapkan dalam penciptaan, pertunjukan, atau
mebarung, lebih dari kelenturan, keterbukaan, toleransi, dan sebagainya.
Kebyar
pun makin kokoh sebagai seni pertunjukan hiburan lebih daripada seni suara
yang membisikkan pesan moral, sosial budaya, dan/atau ekspresi nilai
ke–Bali–an yang filosofis, simbolik,
dan religius. Komposer senior I Wayan Sadra (almarhum) dengan tegas
menyatakan kredonya bahwa bermusik semestinya tak (boleh) dibebani budaya.
Musik adalah peristiwa bunyi, bukan peristiwa budaya!
Dalam
diskusi di Bentara Budaya Denpasar, para pembicara menyampaikan ide serupa.
Perkembangan kebyar ditengarai oleh capaian musikal yang luar biasa: meter,
tekanan, dinamika, noise, soundscape, tingkat kesulitan pola dan teknik
kotekan, kompetitif, hingga ”mengeliminasi”
gamelan lain, seperti semar-pagulingan, pelegongan, gong gede, dan
bebarongan, yang dilebur menjadi gong kebyar. Tidak masalah karena hal ini
”sesuai” dengan teori perubahan (Kadek Suartaya, 9/11/2014).
Seabad
gong kebyar ”wajib” disyukuri dan diperingati. Sehabis pesta, adakah perlu renungan,
retrospeksi, kritik, dan redefinisi? Apakah prospek, reposisi, memberi
peranan, manfaat, dan kegunaan bagi masyarakat Bali? Perspektif baru? Atau
memang biarkan masa depan kebyar tetap menjadi misteri? (keynote Prof Rai).
Ataukah kita terus asyik dan bereuforia pada keindahan fisik, kecanggihan
teknik musikal, tanpa bicara tentang budayanya sendiri: untuk apa dan siapa
serta oleh siapa.
Selama
ini orang luar selalu bicara dan memuja Bali (alam, gadis, kuliner, seni, dan
sebagainya) yang begitu indah dan mengagumkan. Benarkah mereka kagum dan
cinta? Atau ”sebaliknya”, memanfaatkan, bahkan mengeksploitasinya (memerkosa
dan melacurkannya) untuk keuntungan mereka? Sementara orang Bali yang pemilik
hanya jadi pelaku? Sebagian besar seniman kebyar dan gamelannya tetap saja
diangkut dengan truk ke situs pemodal atau pengusaha (kebanyakan bukan orang
Bali) dengan honorarium rendah. Orang
Bali tetap tidak bicara (lewat seni dan tulisan) tentang mereka, musiknya,
kebudayaannya, kepariwisataannya, dan membiarkan orang asing (termasuk Jawa)
untuk membicarakannya, menulisnya, dan menjualnya (Michel Picard).
Konon seniman/sarjana Barat, seperti Colin McPhee, Walter Spies, Goris,
Zoete, Michel Tenzer, dan Cavarubias memang berjasa dan besar peranannya
dalam kelahiran dan kehidupan kebyar. Saya, orang Jawa pencinta dan pelaku
amatiran kebyar sejak 1965, mohon maaf
ikut latah berbicara: berharap dan berdoa semoga seabad kebyar jadi
momen renaisans kesenian Bali, ke depannya makin berkembang, bermakna dan
bermanfaat bagi dunia, terutama bagi Bali sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar