Selasa, 04 November 2014

Perihal Memilih

Perihal Memilih  

AS Laksana  ;  Sastrawan, Pengarang, Wartawan
JAWA POS, 03 Desember 2014
                                                
                                                                                                                       


ADA petilan dialog menarik di Facebook yang sempat saya baca dan kemudian saya kopi dan lantas sedikit saya perbaiki cara penulisannya agar menjadi lebih enak dibaca. Dialog itu dimulai dari sebuah status yang bunyinya sebagai berikut:

’’Ada tip mudah buat yang mau melatih kesadaran agar terus berpikir tentang keberlimpahan dan keberkahan. Anggap setiap hari mendapat Rp 5 juta, dan harus dihabiskan hari itu juga. Ambil buku tulis dan bolpoin. Tulis daftar apa saja yang mau dibeli, disedekahkan, atau kebutuhan lainnya. Besok dan seterusnya hingga sebulan, buat daftar baru lagi. Syaratnya: jangan membeli apa yang sudah dibeli. Sekalian buat ngetest, siap apa tidak Anda mempunyai penghasilan Rp 150 juta per bulan. Coba sensasinya di pikiran Anda. Sukses buat Sampeyan semua.’’

Beberapa orang memberikan komentar. Ada yang hanya satu kata: ’’Mantappp!’’ Ada yang dua kata: ’’Cemungudh, Bro...’’ Dan, ada komentar panjang yang bunyinya seperti ini:

’’Waduh, terlalu tinggi buat orang desa seperti saya, Mas. Saya hanya berpikir ikhlas menerima segala rezeki yang saya terima, meskipun tiada uang, Allah Maha Pengasih dan Pemurah, ternyata saya tetap bisa makan. Karena Dia memberikan jalan-Nya lewat padi yang saya tanam. Walaupun sebuah roti kecil, saya berusaha mensyukuri apa yang ada. Dari rasa itu sudah cukup mewakili rasa lapar menjadi kenyang.’’

Si penulis status menanggapi, saya bayangkan dengan gaya menulis yang anggun, seanggun penampilan motivator di layar televisi:

’’Pada prinsipnya apa yang bisa dipilih orang lain di muka bumi bisa Anda pilih juga. Anda memiliki kebebasan mutlak untuk menetapkan pilihan Anda. Anda memilih apa pun yang bisa dijangkau oleh pikiran Anda. Dan ketika Anda sendiri tidak membatasinya, pikiran Anda sanggup menjangkau langit.’’

Saya tidak kenal secara pribadi dengan penulis status dan para pembuat komentar. Dan saya tidak tahu apakah orang yang menulis komentar panjang itu benar-benar petani dari desa atau orang yang memerankan diri menjadi petani dan apakah ia benar-benar ikhlas.

Namun, saya tertarik pada kosakata ikhlas, apa pun definisinya, dan ingin menyampaikan bahwa menurut Richard Wiseman dalam bukunya, The Luck Factor, salah satu faktor keberuntungan adalah tidak ikhlas. Tepatnya, salah satu faktor keberuntungan adalah ambisi –di samping faktor-faktor lain seperti: temannya selalu bertambah, mampu melihat hal baik dalam situasi seburuk apa pun, serta ringan hati dan cepat dalam membuat keputusan. Ia membuat kesimpulan itu setelah melakukan penelitian terhadap kelompok orang-orang beruntung dan kelompok orang-orang sial.

’’Para pemilik keberuntungan biasanya merasa nyaman-nyaman saja memiliki ambisi sebesar apa pun,’’ kata Wiseman. Saya sadar, banyak orang yang merasa risi dengan kata ambisi. Jika Anda termasuk yang begitu, Anda bisa mengganti kosakata ambisi itu dengan ’’cita-cita besar’’ atau ’’cita-cita setinggi langit’’.

Dialog di Facebook tersebut saya ikuti sampai beberapa waktu dan saya mencoba berempati kepada si pembuat status yang menyatakan bahwa pada prinsipnya setiap orang bisa memilih apa pun secara bebas (kecuali memilih orang tua, memilih dilahirkan di mana, dari rahim siapa, dan kita juga tidak bisa memilih saudara). Dengan demikian, Anda tidak perlu membatasi pilihan hanya karena Anda berasal dari desa atau karena sekarang ini Anda sedang dikerubuti kesulitan.

’’Tetapkanlah pilihan Anda. Bagaimanapun, Anda bertanggung jawab terhadap diri Anda sendiri dan hidup yang Anda jalani. Kita tidak pernah tahu apakah kita akan mengalami reinkarnasi atau hidup hanya sekali. Anggaplah kesempatan kita hidup di muka bumi ini hanya sekali, maka kita perlu membuat pilihan terbaik untuk menjalani hidup. Kalaupun Anda menyakini bahwa Anda akan mengalami kehidupan berikutnya setelah kehidupan hari ini, tetap saja Anda perlu memilih yang terbaik untuk kehidupan sekarang,’’ tulisnya pada status Facebook yang lain.

Saya menambahkan dalam hati: Itu jika Anda percaya bahwa memilih adalah hak istimewa manusia, yang tidak dimiliki burung unta, kasuari, maupun cerpelai. Binatang apa pun, Anda tahu, tidak memiliki hak memilih. Mereka hanya bisa bereaksi terhadap lingkungan. Singkatnya, Anda menggunakan pilihan untuk membedakan diri dari hewan-hewan.

Jika Anda tidak memilih apa pun, kata penulis status itu, Anda tidak akan tahu apa yang harus Anda lakukan untuk menjalani hidup. Jika Anda tidak menetapkan sesuatu, Anda tidak akan terdorong untuk hidup sesuai pilihan Anda. Jika Anda tidak memilih, orang lain yang akan memilihkannya untuk Anda. Dan Anda hanya akan menjalani hidup dengan merespons situasi Anda. Itu hidup di level instingtif seperti yang dijalani makhluk-makhluk dengan tingkat kecerdasan lebih rendah dibanding manusia.

Saya ingin menambahkan komentar: ’’Cemungudh, Bro!’’ Namun, saya menahan diri untuk menjadi penikmat dan ingin ikut-ikutan mendorong Anda. Jika Anda tidak berani memilih, ingatlah bahwa PSS Sleman dan PSIS Semarang pun berani memilih dan mereka memperlihatkan keberanian itu dalam pertandingan beberapa hari lalu.

Kita sungguh bersyukur ada pertandingan sepak bola seperti itu dan kita beruntung bahwa selalu ada hal menarik di muka bumi. Saya menonton di YouTube rekaman sekitar 12 menit terakhir yang menyajikan lima gol bunuh diri. Jika Anda belum menontonnya, saya akan memberi tahu bahwa itu pertandingan yang sangat menghibur sekaligus menjungkirbalikkan semua kutipan bagus dari orang-orang terkenal tentang sepak bola.

Albert Camus mengatakan, ’’Banyak hal tentang moralitas dan kewajiban hidup yang saya dapatkan dari sepak bola.’’ Ia keliru jika menonton pertandingan Semarang melawan Sleman.

Legenda total football Belanda Johan Cruyff mengatakan, ’’Hal tersulit untuk membuat pertandingan berjalan mudah adalah menjadikan lawanmu bermain kedodoran. Seorang pemain dikatakan buruk bukan karena ia punya kecenderungan menembakkan bola ke gawang sendiri. Ia buruk karena gampang mengamuk jika kau terus-menerus menekannya.’’

Ia juga keliru jika menyaksikan bagaimana Semarang bertanding melawan Sleman. Dalam pertandingan itu, hal tersulit dalam pertandingan adalah menjaga agar pemain lawan tidak menembakkan bola ke gawangnya sendiri. Karena itu, ketika para pemain Sleman menguasai bola dan memainkannya seperti sedang pemanasan, kita bisa melihat satu pemain Semarang menjaga gawang Sleman agar tidak sampai dibobol pemain Sleman sendiri.

Itu pilihan berani. Selama ini kita berpikir bahwa dalam setiap pertandingan sepak bola setiap tim berhasrat untuk memenangi pertandingan. Rupanya tidak. Kesebelasan Semarang maupun Sleman masing-masing memperagakan ambisi besar mereka untuk kalah. Mereka sungguh haus kekalahan. Semoga ada pihak yang berminat mendaftarkan pertandingan itu sebagai salah satu keajaiban dunia, melengkapi sejumlah keajaiban dunia yang sudah ada.

Dalam pertandingan itu, kedua kesebelasan sama-sama sudah memastikan lolos ke babak semifinal. Masalahnya, jika mereka menang dan menjadi juara grup, yang menjadi lawan mereka adalah kesebelasan terbaik di muka bumi, yang mungkin hanya bisa dikalahkan kesebelasan dari galaksi lain, yakni FC Borneo. Kesebelasan lain yang bertanding melawan kesebelasan itu memilih bertekuk lutut tanpa bertanding.

Untuk menghindari pertemuan mengerikan dengan kesebelasan terbaik di muka bumi tersebut, Semarang maupun Sleman memilih kalah saja dan masing-masing kesebelasan bertanding dengan hasrat yang tidak tertahankan untuk menjebol gawang sendiri.

’’Saya emosi ketika mereka memasukkan bola ke gawang sendiri,’’ kata Komaedi, pemain PSIS yang mencetak dua gol ke gawang sendiri dan merayakannya. ’’Jika saya mendapatkan sanksi, saya ikhlas.’’

Saya berdoa semoga ia selalu memiliki keberuntungan yang bagus. Saya melihat fotonya di internet, ia dalam pose menunduk. Saya juga berharap Komaedi mempunyai akun Facebook dan membaca petilan dialog yang saya kutip di atas.

Situasi pemain itu mungkin sedang semrawut sekarang. Mungkin PSSI memberikan hukuman tidak bisa bermain selamanya. Dalam keadaan seperti itu, ia memerlukan kata-kata pendorong yang disampaikan secara berkobar-kobar. Ia memerlukan orang yang bisa membuatnya berani berkhayal dan tidak sekadar menyatakan ikhlas.

Seandainya berasal dari desa, ia tidak perlu menjadikan desa sebagai kungkungan. Tidak perlu ia menjadikan desa sebagai alat penyangkal dan mengeluarkan pendapat seolah-olah ia tidak pernah membaca atau melihat atau mengetahui bahwa ada orang-orang desa yang bisa membuat pilihan setinggi langit dan menjalani hidup sesuai pilihannya. Apa yang membuat realitas geografis membatasi pikiran seseorang?

Keberhasilan, Anda tahu, tetap bisa dicapai oleh orang desa, juga oleh seorang pemain sepak bola yang membobol gawangnya sendiri dua kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar