Selasa, 04 November 2014

Netizen Minus Literasi di Ruang Publik

Netizen Minus Literasi di Ruang Publik  

Rahma Sugihartati  ;  Dosen Ilmu Informasi dan Perpustakaan FISIP Unair
JAWA POS, 03 Desember 2014
                                                
                                                                                                                       


PERKEMBANGAN masyarakat post-industrial yang ditandai dengan meluasnya pemakaian teknologi informasi, internet, dan media sosial ternyata tidak selalu diikuti kesiapan kultural, kemampuan literasi, dan moral warga masyarakat penggunanya. Dua kasus yang belakangan ini terjadi paling tidak membuktikan hal itu.

Pertama, kasus penghinaan via Facebook yang dilakukan seorang pemuda (24 tahun) yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sate, yang kemudian ditahan polisi karena mengunggah gambar cabul hasil rekayasa yang diedit dengan menampilkan wajah Presiden Joko Widodo dan mantan Presiden Megawati sedang berhubungan intim plus kata-kata jorok. Kedua, kasus penangkapan admin akun @TrioMacan2000 karena memeras pejabat PT Telkom dan sejumlah korban yang lain.

Di luar dua kasus tersebut, tidak tertutup kemungkinan masih banyak kasus penyalahgunaan akun media sosial untuk melakukan bullying, penghinaan, pemerasan, dan bahkan tindak kejahatan lain yang merugikan masyarakat. Terlepas apakah ada kepentingan politis di balik pemrosesan dua kasus di atas ke ranah hukum, yang memprihatinkan adalah mengapa di kalangan netizen masih ada gap yang lebar antara manfaat media sosial dan kesiapan moral serta kemampuan literasi para penggunanya.

Public Sphere

Menurut ketentuan yang berlaku, siapa pun dan dengan alasan apa pun, apabila seseorang melakukan penghinaan, pencemaran nama baik, dan memanfaatkan media sosial untuk melakukan tindakan tercela, itu sudah sepantasnya diproses melalui jalur hukum. Tetapi, kasus-kasus kecil penyalahgunaan media sosial yang muncul seperti di atas seyogianya tidak lantas menafikan peran positif kehadiran internet dan media sosial.

Manuel Castells (2000) menyatakan, dewasa ini masyarakat memang sedang memasuki zaman informasi bahwa berbagai kemajuan teknologi informasi digital telah menyediakan dasar bagi perkembangan bentuk jejaring dan hubungan sosial baru yang sangat terbuka. Masyarakat yang semula berinteraksi dalam ruang nyata dan bertatap muka itu, dengan hadirnya internet dan media sosial, kini bisa berinteraksi dengan siapa pun, tanpa dibatasi nilai dan norma. Tak pelak, kalangan warga masyarakat yang mengembangkan hubungan dalam jejaring komputer tersebut tumbuh dengan subkulturnya yang khas –yang berbeda dengan masyarakat konvensional. Internet sebagai satu bentuk jaringan komunikasi dan informasi global telah menawarkan bentuk-bentuk komunitas sendiri (virtual community), bentuk realitas sendiri (virtual reality), dan bentuk ruang sendiri (cyberspace).

Berbeda dengan kondisi pada 1970-an hingga 1980-an bahwa yang populer adalah media baru seperti televisi kabel dan satelit, perekam kaset video, telepon seluler, komputer PC, dan sistem musik digital, dewasa ini masyarakat benar-benar makin familier dengan gadget, internet, dan media sosial. Dengan begitu, yang muncul kemudian adalah ruang baru, sebuah ruang publik (public sphere) yang memungkinkan semua orang tanpa dibatasi kelas dan asal usul dapat mengemukakan aspirasi sosial politiknya secara bebas.

Dalam perkembangan masyarakat post-industrial, munculnya ruang publik di dunia maya sesungguhnya adalah media yang dibutuhkan untuk mendorong perkembangan masyarakat madani dan merupakan peluang baru untuk membuka ruang-ruang serta kanal-kanal komunikasi politik dengan memperhatikan pluralitas etnis, religius, dan politis. Dengan membangun ruang publik yang konstruktif dan produktif, sesungguhnya akan dapat didorong perkembangan demokrasi deliberatif yang menempatkan masyarakat sebagai subjek perubahan dan motor pembangunan.

Yang dimaksud public sphere atau ruang publik di sini adalah sebuah wilayah dalam kehidupan sosial yang memungkinkan setiap warga negara berbicara dan terlibat berbagai silang pendapat serta secara bersama-sama membentuk pendapat umum. Ruang publik atau disebut juga ranah khalayak pada dasarnya adalah ruang politik tempat berlangsungnya pembahasan, perdebatan, dan pengambilan keputusan bersama.

Bahwa di antara warga masyarakat yang menjadi anggota komunitas cyberspace adalah oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan media sosial untuk hak-hal yang negatif, tentu itu harus dipahami sebagai ekses dari bias kepentingan atau ekses dari ketidaktahuan mereka. Di kalangan masyarakat yang belum memiliki kemampuan literasi yang memadai dan juga moralitas yang cukup, mungkin mereka memanfaatkan media sosial untuk hal-hal yang keliru harus diakui sangat besar. Di dunia maya orang dengan mudah memalsu identitasnya. Orang juga dengan mudah memanfaatkan media sosial dan ruang maya sebagai instrumen untuk memeras dan lain sebagainya. Tetapi, sekali lagi, hal itu sebaiknya tidak digeneralisasi dan menjadi alasan untuk melakukan regulasi yang sifatnya kontraproduktif bagi proses membangun demokrasi dan keterbukaan.

Peran Positif Media Sosial

Terlepas dari berbagai kekurangan dan efek negatif yang ditimbulkan, kehadiran internet dan media sosial bagaimanapun telah melahirkan ruang publik baru yang setara di kalangan para netizen bahwa di dalamnya tidak ada satu pun pihak yang boleh dibiarkan melakukan manipulasi, pemaksanaan, dan dominasi. Christopher Mele (2005) dalam artikelnya yang berjudul Cyberspace and Disadvantaged Communities: the Internet as a Tool for Collective Action menunjukkan bagaimana kehadiran jejaring online sesungguhnya akan dapat digunakan sebagai alat untuk tindakan bersama sekaligus pemberdayaan.

Dalam studi kasus yang dilakukan di Robert S. Jervay Place, sebuah pengembang perumahan rakyat untuk mereka yang berpenghasilan rendah di WS Wilmington, North Carolina, Mele melaporkan bagaimana penduduk lokal mampu memanfaatkan internet untuk memperjuangkan keinginan dan menyalurkan aspirasi politik mereka. Mele menunjukkan bahwa berkat adanya internet, dan ketika penduduk setempat memanfaatkan internet sebagai media untuk mencari dukungan dan masukan dari berbagai pihak, yang terjadi kemudian adalah hal yang luar biasa.

Sebagian penduduk lokal Jervay Place yang akrab dengan komputer kemudian memanfaatkan internet untuk mencari masukan dan mengirimkan surat memohon bantuan kepada tiga kelompok diskusi untuk mencari masukan tentang desain pembangunan wilayah mereka. Dalam waktu dua minggu, para penghuni telah menerima respons dari 23 individu dan organisasi, termasuk para arsitek dan pengacara yang mengkhususkan diri pada perumahan untuk orang berpenghasilan rendah. Dengan didukung tiga perusahaan arsitektur, para penghuni akhirnya mampu mendesain komunitas perumahan sesuai dengan keinginan mereka.

Apa yang telah dipaparkan memperlihatkan kepada kita bahwa kehadiran internet dan media sosial terbukti telah melahirkan kekuatan dan jangkauan baru bagi komunitas yang termarginalkan secara tradisional. Selain mampu menjadi media untuk menggali dukungan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat yang termarginalkan, kehadiran jejaring online terbukti mampu menurunkan ongkos komunikasi dan organisasi. Pelajaran yang bisa dipetik dari kasus yang dipaparkan di atas bahwa kehadiran interaksi online telah terbukti menghasilkan bentuk baru dan cara-cara baru untuk membangun hubungan sosial, memformulasikan kehendak, dan memperjuangkan kepentingan dalam konteks yang lebih demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar