Pancasilais
Gadungan
JE Sahetapy ; Guru Besar Emeritus
|
KOMPAS,
15 November 2014
Great
man are almost always bad man.
Lord
Acton
SUDAH lama saya bergumul dengan hati nurani saya, melihat dan menyimak
sepak terjang para pemimpin kita. Mereka, secara sadar atau tidak, bermuka
dua.
Mereka itu para politikus tengik dan para birokrat munafik yang
terlibat korupsi. Entah dengan sengaja atau tidak, karena desakan perut atau
karena ada kesempatan, mereka tak lain adalah para pejabat negara yang licik
dan licin bagaikan belut. Pada waktu upacara peringatan Proklamasi
Kemerdekaan, mereka bahkan tampak begitu serius dan seperti penuh tanggung
jawab.
Mereka itu semua sesungguhnya—meminjam ungkapan kolonial—bukan
”beroemd” (terkenal dalam arti baik), melainkan justru ”berucht” (kesohor
dalam arti jelek). Ironisnya, keterkenalan dalam arti jelek itu tanpa diikuti
rasa malu dan rasa bersalah.
Demikian pula secara mutatis
mutandis ”seorang politikus, bukan politisi”, yang tanpa rasa malu muncul
dengan gagasan licik bahwa Pancasila itu adalah pilar. Apa arti ”pilar”?
Maksud atau tujuannya apa?
Terlepas dari nafsu membusungkan dada (secara terselubung), dari mana
ia dapat ilham satanis untuk gembar-gembor bahwa Pancasila itu ”pilar”! Baik
dalam pidato-pidato Bung Karno, tulisan-tulisan Bung Karno yang dibukukan,
tulisan-tulisan Ruslan Abdulgani, seperti ”spreekbuis” (juru bicara) Bung
Karno, maupun komentar-komentar Bung Hatta sebagai wakil proklamator dan
seorang negarawan besar tanpa cacat-cela, terlepas dari tulisan Tempo dalam
edisi khusus Muhammad Yamin (18-24 Agustus 2014), apakah bisa ditemukan bahwa
Pancasila itu pilar?
Pancasila adalah ”staatsfundamenteelnorm” (Belanda) dan secara ”eo
ipso” adalah ”Weltanschauung” (Jerman) bangsa dan negara Republik Indonesia
yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Titik! Itulah sebabnya, kalau ada
gagasan amendemen UUD 1945, haram untuk menyentuh Preambul atau Mukadimah UUD
1945.
Dye dan Zeigler dalam The Irony
of Democracy (1970) menulis antara lain bahwa ”The underlying value of democracy is…. Individual dignity.… Another
vital aspect of classic democracy is a belief in the equality of all men”.
Jadi jelas, nilai yang mendasari demokrasi tak lain adalah martabat individu.
Dan, aspek penting lain dari demokrasi (klasik) adalah keyakinan dalam
kesetaraan untuk semua orang.
Suatu undang-undang yang dipersiapkan dengan cara-cara yang buruk,
dengan motivasi patgulipat secara terselubung dengan tujuan bombastis yang
tak etis, pasti akan hancur atau gagal dalam waktu dekat atau kurang dari
satu dekade. Dalam bahasa kolonial di sebut legislatieve misbaksel, keburukan
legislatif.
Hal itu terjadi di republik ini beberapa kali karena orang-orang yang
terlibat menganggap diri mereka orang-orang santun dan beragama. Suatu
pretensi yang memalukan, terutama pada era reformasi dengan sebutan gagah:
”politik pencitraan”. Di belakang itu semua ada power struggle, perebutan
kekuasaan, terselubung bermuka dua atau lebih: semacam dokter Jekyll dan Mr
Hyde. Dengan berbagai dalih, demi kekuasaan dan uang, yang tidak perlu
disebut, bagaimana mungkin mau disebut bahwa politik itu ”suci”. Amboi!
Tanpa basa basi (rencana) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) adalah salah
satu contoh yang transparan tentang legislatieve misbaksel. Apalagi kalau
disimak tentang ”naweeËn”-nya (akibat yang meresahkan) yang bertalian dengan
pemilu, pilpres, dan proses rebutan kursi, baik intern maupun antarpartai.
Menurut Kompas (27 Agustus 2014), ada sejumlah pihak yang tentu
berkepentingan secara politis, terlepas dari legal standing-nya, kini sedang mengajukan pengujian terhadap UU
No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Jadi, ada beberapa pihak yang
berkepentingan.
Selanjutnya, Kompas memberitakan bahwa Badan Akuntabilitas Keuangan
Negara (BAKN) dibubarkan, yang membuat Siswono Yudo Husodo sebagai Wakil
Ketua Badan Kehormatan DPR terkejut. Untuk itu, Anda jangan tanyakan mengapa
yang bersangkutan sampai terkejut. Demikian pula secara mutatis mutandis mengapa seolah-olah UU MD3 sebagai suatu
”entitas siluman”. Ini yang dalam bahasa Latin disebut sebagai ”sic vos non vobis”, yang dalam bahasa
kolonial berarti ”zoo (werkt) gij, maar
het is niet voor u”. Arti bebasnya: ”begitulah
Anda (bekerja), tetapi itu bukan untuk Anda”. Tra-la-la-la!
Dalam pada itu dinamakan dinamika sosial-politik, sosial-ekonomi, dan
campur tangan terselubung dari luar, permainan yang menyangkut hajat hidup
orang kecil dan masyarakat lapisan bawah, korupsi yang masih harus dibasmi
oleh KPK sampai ke akar-akarnya masih terus berfermentasi. Sementara itu,
proses pembusukan terus berlangsung dan kunci peti pandora tampak seperti
sudah ditemukan. Kita berharap agar apa yang semula tidak bisa dibawa ke
pengadilan semoga dapat dibongkar sampai bersih dalam waktu yang tidak
terlalu lama.
Namun, yang membuat saya heran, masih ada para akademisi dan beberapa
gelintir para cendekiawan yang masih memiliki animositas (kebencian) terhadap
KPK. Lalu, kapan negara dan bangsa ini akan sejahtera? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar