Makna
Pendekatan Jokowi ke KPK
Adnan Pandu Praja ; Komisioner KPK
|
KOMPAS,
15 November 2014
KETIKA Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan seseorang menteri
sebagai tersangka, pada umumnya mereka resisten dan mengatakan dirinya tidak merasa pernah
korupsi. Sayangnya, hal tersebut juga diamini oleh presidennya.
Fenomena tersebut menggambarkan elite pemerintahan lalu tidak punya
kemauan politik (political will)
serius dalam memberantas korupsi dan sangat bertolak belakang dengan janji
politiknya pada masa kampanye 2009. Ketiadaan political will serupa telah
terjadi sejak presiden pertama dengan dikebirinya cikal bakal KPK dengan nama
PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara) yang dipimpin AH Nasution.
Dalam perkembangannya, nasib lembaga pemberantas korupsi kembang kempis
berganti-ganti nama sampai saat ini. Sebagai masyarakat paternalistik,
sesungguhnya peranan pimpinan nasional sangat mujarab mencegah berkembangnya
korupsi. Kata orang bijak, ikan busuk mulai dari kepalanya.
Belajar dari kealpaan kampanye 2009 lalu yang hanya menjadikan KPK
sebagai komoditas kampanye belaka, para calon presiden pada Pemilu 2014
didaulat menandatangani tujuh komitmen pemberantasan korupsi di hadapan semua
media nasional yang sedang meliput
deklarasi harta kekayaan para calon presiden di Komisi Pemilihan Umum tanggal 30 Juni 2014.
Akibatnya, siapa pun yang akan terpilih sebagai presiden tak bisa
mengelak untuk menjalankan butir kelima komitmen pemberantasan korupsi ”mewujudkan adanya tes integritas dalam
perekrutan dan promosi di kementerian dan lembaga”.
Komitmen
Jokowi
Dalam rangka menjaga konsistensi antara janji politiknya yang akan
mendukung anggaran KPK 10 kali lipat dan mematuhi butir kelima komitmen
pemberantasan korupsi tersebut, Jokowi merasa perlu datang ke KPK mendengar
penjelasan KPK terkait dengan nama calon-calon pembantunya beberapa saat
sebelum dilantik sebagai presiden walaupun ditentang para pendukungnya. Itu
karena beliau sangat paham risiko yang akan ditanggung apabila mengabaikan
rekomendasi KPK, baik terhadap kinerja maupun citra kabinetnya.
Waktu pelacakan yang begitu singkat membuat sulit bagi KPK untuk
menjamin mereka tidak akan berurusan dengan KPK selama lima tahun ke depan.
Masih ada dua kriteria lagi yang harus dilalui para pembantu presiden; clear
dan hebat (”KPK dan Jokowi-JK”, Kompas,
26 Agustus 2014). Yang utama, mereka harus berani menolak intervensi
parlemen atau berkolusi dengan partai pengusungnya.
Ternyata hubungan kolutif bukan monopoli Indonesia yang menduduki
urutan ke-114 dengan Indeks Persepsi Korupsi 32. Hubungan kolutif terjadi
pula baru-baru ini di Negara Bagian New South Wales, Australia, yang
melibatkan dua menteri dari Partai Buruh dalam perizinan industri ekstraktif.
Padahal, Australia berada di urutan ke-9 dengan indeks 81.
Arti penting konsultasi Jokowi ke KPK malam terakhir sebelum dilantik
sebagai presiden memberi pesan kepada seluruh komponen bangsa. Pertama,
Presiden telah merekonstruksi batasan hak prerogatif Presiden dalam
menentukan para pembantunya tidak lagi bersifat absolut, rahasia, dan sakral.
Warna-warni KPK terhadap daftar calon menteri menjadi pertimbangan khusus.
Kedua, Presiden sangat paham posisi KPK sebagai tumpuan harapan rakyat.
Bermitra dengan KPK akan memperkuat legitimasi kabinet pro rakyat. Kinerja
KPK yang tidak kenal kompromi sangat dibutuhkan untuk membersihkan birokrasi
kumuh yang sudah sangat menggurita. Pilihan Presiden berdekat-dekatan dengan
KPK bukan tanpa risiko karena setiap saat juga bisa berurusan dengan KPK.
Berdasarkan pengalaman selama ini, mereka yang bermasalah cenderung menjaga
jarak dengan KPK.
Ketiga, integritas lebih penting daripada kompetensi. Beberapa calon
yang tereliminasi memiliki kompetensi yang sangat memadai, tetapi
integritasnya diragukan. Para penghuni tahanan KPK umumnya memiliki
kompetensi. Bahkan tiga orang bergelar guru besar. Saatnya mereka yang
berintegritas tampil memimpin, sebaliknya yang minim integritas akan
tergusur.
Jaksa
Agung dan Kapolri
Klimaks dari proses seleksi pembantu Presiden nanti pada pergantian
Jaksa Agung dan Kapolri khususnya. Untuk itu, kiranya Polri harus secara
proaktif membersihkan aparatnya yang berpotensi mencederai visi misi
Presiden. Musababnya, visi misi Jokowi-JK akan menempatkan Polri dalam
kementerian negara secara bertahap.
Konsekuensi turunan dari kebijakan Presiden, para menteri juga harus
memilih para eselon di bawahnya yang berintegritas mulia dengan melibatkan
KPK. Di antara eselon I, yang paling berperan signifikan mencegah korupsi
adalah inspektorat jenderal. Peranannya sebagai konsultan ataupun quality assurance sangat strategis
sebagai second line of defence sebelum ditangani BPK maupun KPK (”Saran Pengawasan kepada Capres”, Kompas,
24 Juli 2014).
Keempat, Presiden memberi contoh bagaimana menafsirkan pasal uji publik
pada pemilihan kepala daerah, yang diatur dalam UU Pilkada. Dalam waktu yang
memadai, tanpa biaya dan dilakukan oleh instansi yang memiliki kompetensi
serta independen, Presiden dapat memperoleh gambaran integritas para calon
pembantunya. Karena UU Pilkada tidak mengatur secara jelas, uji publik calon
kepala daerah akan multitafsir, makan waktu, berbiaya tinggi, dan rentan
pengondisian melalui kampanye media.
Kelima, Presiden dan KPK akan berkoordinasi secara berkala dalam rangka
pemberantasan korupsi. KPK diharapkan dapat mengisi jeda kewibawaan Presiden
di mata aparatnya ataupun di mata kepala daerah ekses otonomi daerah. Sebagai
contoh program KPK tentang koordinasi supervisi mineral dan batubara, ratusan
izin tambang telah secara sukarela dicabut para kepala daerah beberapa saat
setelah bertemu KPK dan pendapat negara dari royalti meningkat triliunan
rupiah. (”Tambang dan KPK”, Kompas, 13
Agustus 2014).
Presiden Jokowi sedang membangun tradisi baru dan membangun positioning bahwa Presiden memiliki
misi sama dengan KPK, berjuang untuk kepentingan rakyat. Namun, bangunan
tersebut akan luluh lantak manakala Presiden tidak segera melindungi KPK pada
saat kritis, kriminalisasi ataupun terhadap upaya yang akan mengebiri KPK
melalui berbagai produk legislasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar